sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Unit PPA Polri: Urgen dibutuhkan, acap dinomorduakan

Selama pandemi Covid-19, angka kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat.

Ayu mumpuni Kudus Purnomo Wahidin
Ayu mumpuni | Kudus Purnomo Wahidin Sabtu, 05 Sep 2020 16:50 WIB
Unit PPA Polri: Urgen dibutuhkan, acap dinomorduakan

Bagi Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Jakarta Timur Iptu Sri Yatmini, menggarap kasus-kasus kriminalitas yang melibatkan perempuan dan anak-anak bukan sekadar urusan profesional. Dalam sejumlah kasus, Sri kerap terlibat secara emosional.

Situasi seperti itu, misalnya, sempat terjadi saat unit yang diampu Sri menangani kasus pelecehan seksual terhadap seorang anak berkebutuhan khusus yang tinggal di sebuah permukiman padat di Jakarta Timur. Anak itu dilecehkan teman ibunya. 

Sang ibu, kata Sri, tak bisa berbuat apa-apa karena sedang sakit. Sang ayah dan kakak anak itu tak peduli. Alih-alih diberi dukungan moral, sang korban malah dirisak oleh warga dan para tetangga setelah kasusnya terungkap. 

"Saya akhirnya menghubungi Kemensos (Kementerian Sosial) agar dia (korban) dirawat. Sekarang dia (korban) sudah bisa sekolah," ucap Sri saat berbincang dengan Alinea.id di Polres Jakarta Timur, Kamis (3/9).

Unit PPA Polres Jaktim merupakan salah satu unit dengan fasilitas terbaik di Indonesia. Tak hanya ruang pemeriksaan, unit ini juga punya area bermain anak, ruang laktasi, ruang gelar perkara, ruang tahanan sementara, ruang kaca untuk diversi, dan ruang counselling.

Sri belum lama mengampu unit PPA. Ia sebelumnya bertugas di Satuan Reserse Narkoba Polres Jaktim itu. Meskipun bekerja di unit dengan fasilitas mumpuni, Sri mengaku kewalahan. Pasalnya, ia hanya punya delapan penyidik. Dua di antaranya merupakan penyidik baru pindahan dari Polda Metro Jaya. 

Dijelaskan Sri, menjadi penyidik di unit PPA berbeda dengan unit reserse lainnya. Ia mencontohkan sulitnya mendapatkan keterangan dari korban yang masih anak-anak. 

Penyidik, kata dia, harus ikut bermain dulu bersama korban hingga dia mau terbuka. Padahal, masih banyak pekerjaan lain yang harus dituntaskan. "Ada (penyidik) yang sampai (baru) datang (bekerja), marah-marah melihat (ruang) pelayanan sudah ramai," tutur Sri.

Sponsored

Ilustrasi kekerasan terhadap perempuan. /Foto Antara

Jakarta Timur gudangnya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sejak satu dekade lalu, beragam kasus keji terekam terjadi kawasan itu, mulai dari pemerkosaan terhadap bayi hingga pencabulan terhadap nenek-nenek. 

Selama pandemi, sebagaimana angka nasional, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak juga meningkat di Jakarta Timur. Menurut Sri, setidaknya ada 60 kasus yang dilaporkan ke unitnya setiap bulan. 

"Kasus yang paling banyak masuk pencabulan. Pasca-PSBB (pembatasan sosial berskala besar), kasus KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) juga banyak masuk," ujar Sri.

Beratnya beban kerja tak hanya dirasakan para penyidik. Sebagai bos mereka, Sri juga harus mengorbankan waktunya bersama keluarga untuk menuntaskan pekerjaan di kantor. "Sampai trauma anak saya karena ibunya harus ke kantor pas jam makan malam," terang dia. 

Naiknya jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak selama pandemi juga dirasakan unit PPA Polres Jakarta Pusat. Per bulan, ada sekitar 15-20 laporan kasus kekerasan yang masuk ke unit di bawah pimpinan AKP Ayu Tri Utami itu. 

"Saya tidak tahu ini salah satu alasannya apa karena pandemi atau bukan. Akan tetapi, memang KDRT paling banyak dilaporkan dalam kurun tiga bulan terakhir," ujar Ayu saat dihubungi Alinea.id, Kamis (3/9) lalu.

Unit PPA Polres Jakpus fasilitasnya tak selengkap unit PPA Polres Jaktim. Namun, ada 11 penyidik di unit tersebut. Untuk mengurangi beban kerja, Komnas Anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan sejumlah instansi terkait digandeng. 

Unit PPA Polres Jakarta Pusat juga lebih mengandalkan psikolog dan dokter untuk membantu penanganan perkara. Korban anak yang mengalami trauma, misalnya, dialihkan ke dokter atau psikolog terlebih dahulu sebelum dimintai keterangan oleh penyidik. 

"Supaya tidak adanya tekanan (kerja) berlebih bagi para penyidik. Apabila korban anak sudah dapat dimintai keterangan, pemeriksaan pun baru dilakukan," kata dia. 

Selain yang terkait proses penyidikan, semisal kurangnya alat bukti dan visum, Ayu mengatakan, anggaran juga kerap jadi kendala. Ia mengatakan anggaran dari Polri baru cair jika perkara sudah masuk ruang sidang. 

Ilustrasi personel unit perlindungan perempuan dan anak (PPA) Polri. /Foto Alinea.id

Potret nasional unit PPA

Ruang-ruang pemeriksaan khusus (RPK) seperti yang dimiliki unit PPA Jakpus dan PPA Jaktim memang terbilang langka. Direncanakan sejak 2008, saat ini baru ada 10 ruang pemeriksaan khusus yang dibangun Polri. Itu pun baru dikebut pembangunannya pada 2018. 

Kepada Alinea.id, Kepala Unit PPA Bareskrim Polri Kompol Ema Rahmawati mengatakan, minimnya RPK kerap menjadi kendala dalam menuntaskan kasus-kasus kekerasan yang korbannya anak-anak atau perempuan. 

"Untuk pengungkapan kasus yang korbannya anak yang masih balita, masih 3 tahun, 4 tahun dan 5 tahun, misalnya, proses pemeriksaannya tidak seperti orang dewasa. Bisa berhadap-hadapan langsung tanya-jawab. Tapi, kita ajak sambil bermain," ujarnya saat dihubungi, Kamis (3/9).

Kendala lainnya ialah minimnya ruang pengamanan khusus bagi pelaku anak. Sesuai aturan, para pelaku yang masih bocah hanya bisa ditahan selama 1X24 jam sebelum diserahkan ke Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (LPKS) dan Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS).

"Mau enggak mau, terkadang kami tahan di Polres. Tapi, tidak disatukan dengan tahanan lain. Sebetulnya tidak boleh ditahan di ruang tahanan. Tapi, karena fasilitas LPKS dan LPAS yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ternyata tidak terpenuhi," ujarnya.

Diakui Ema, kejahatan terhadap perempuan dan anak jumlahnya masih tinggi. Menurut catatan Bareskrim Polri, laporan kasus paling banyak masuk ke Polda Sumatera Utara, Polda Sulawesi Selatan, Polda Jatim, Polda Jawa Barat dan Polda Metro Jaya. 

"Angkanya fluktuatif, tapi yang pasti jumlahnya di atas enam ribu sampai tujuh ribu kasus tiap tahunnya. Persetubuhan dan pencabulan terhadap anak itu jenis kasus yang paling tinggi. Untuk yang dewasa atau perempuan itu, KDRT yang paling dominan," terangnya. 

Diakui Ema, besarnya jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak itu tak sepadan dengan jumlah personel di unit-unit PPA kepolisian. Meskipun sejak 2014 Polri rajin merekrut polwan, alokasi ke unit PPA tergolong minim. 

Tiap tahun, lanjut Ema, hanya ada sekitar 50-100 orang personel polisi yang ditempatkan unit PPA setelah lolos pendidikan khusus. Di polres-polres, para penyidik di unit PPA juga kerap ditugaskan untuk menggarap kasus-kasus lain. 

"Karena saking banyaknya kasus yang ditangani oleh polres. Jadinya, kami keteteran juga untuk menyelesaikan kasus," kata perempuan yang sudah 23 tahun menjadi polisi itu. 

Selain fasilitas dan personel, anggaran juga kerap jadi persoalan. Ema mengungkapkan penyidik sering nombok dalam penanganan kasus lantaran harus menalangi biaya visum korban. Biasanya, biaya visum di kisaran  Rp300-600 ribu.  

"Mana tega (minta sama korban). Jadi kadang-kadang pakai uang pribadi penyidik. Padahal, dalam penanganan perkara perempuan dan anak ada tanggung jawab instansi lain. Dalam hal ini, Kemenkes dan pemerintah daerah untuk membantu masalah visum," jelas dia. 

Hal lain yang mengganjal penanganan perkara ialah minimnya jumlah pekerja sosial (peksos) dan pembimbing kemasyarakatan (PK) Balai Pemasyarakatan (Bapas). Di tempat-tempat terpencil, kata Ema, bahkan kerap hanya ada 1 peksos dan PK Bapas.

Padahal, pelaku dan korban yang masih anak-anak wajib didampingi peksos dan PK Bapas. Untuk pelaku yang berusia 12 tahun, misalnya, rekomendasi mereka pun dibutuhkan dalam proses menetapkan hukuman. "Apakah dikembalikan ke orangtua atau dibina selama enam bulan," jelas Ema. 

Ganjalan-ganjalan lainnya ialah keterbatasan psikolog dan rendahnya kompetensi penyidik. Untuk yang terakhir, Ema mengatakan, pihaknya sudah mengadakan pelatihan secara berkala. "Ya, tapi memang jumlahnya tidak terlalu banyak," ungkap dia.

Ia berharap pemerintah tidak tutup mata melihat realitas kekerasan terhadap perempuan dan anak. Menurut dia, pencegahan dari hulu harus diutamakan. "Bukan di hilir. Artinya, stakeholder lain komitmennya harus kuat," cetusnya. 

Ilustrasi polisi wanita. /Foto Antara

Peran unit PPA tak boleh dikesampingkan

Komisioner Kompolnas Poengky Indarti mengatakan Polri harus bergerak cepat meningkatkan kualitas dan kuantitas unit-unit PPA. Menurut dia, keberadaan unit-unit PPA bakal kian dibutuhkan masyarakat seiring meningkatnya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak pada era pandemi. 

"Wabah Covid-19 yang berdampak pada turunnya perekonomian keluarga potensial meningkatkan KDRT. Profesionalisme unit ini bakal jadi acuan masyarakat untuk menilai kinerja Polri," ujar Poengky saat dihubungi Alinea.id, Kamis (3/9).

Poengky mengatakan unit PPA juga harus terus beradaptasi merespons perubahan bentuk-bentuk kekerasan yang menimpa perempuan dan anak. Salah satu tren yang harus disoroti semisal kejahatan siber yang berujung pada perdagangan perempuan dan anak. 

"Oleh karena itu, saya menekankan pentingnya peningkatan kualitas SDM dan tersedianya fasilitas yang baik di PPA. PPA juga harus dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat," kata dia.

Infografik Alinea.id/Dwi Setiawan

Senada, Koordinator Sekertariat Nasional Forum Pengada Layanan LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Veni Siregar menilai Polri harus fokus mendongkrak jumlah dan kualitas penyidik di unit-unit PPA. Demi efektivitas, komposisi penyidik di unit tersebut juga harus diatur sedemikian rupa. 

"Pelatihan di Polri untuk pelayanan perempuan dan anak belum terlalu optimal dan menyeluruh. Buktinya masih banyak polisi laki-laki yang mengawaki di unit PPA. Lalu Polwan juga sensitivitas gendernya belum terlalu terasah," ucap Veni.

Sebagai solusi beragam kendala yang dihadapi unit PPA, Veni menyarankan agar unit PPA ditingkatkan menjadi badan yang lebih besar. Menurut dia, kejahatan terhadap anak dan perempuan yang jumlahnya masif harus ditangani lembaga yang kuat, baik dari segi infrastruktur, personel, dan anggaran. 

"Karena dia di bawah Bareskrim dan belum punya power untuk menentukan anggaran, maka rekrutmen juga jadinya enggak terlalu fokus. Padahal, kerjanya unit ini luar biasa sulit," jelas Veni. 
 

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid