sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Upaya Kemendikbud merdekakan masyarakat dari buta aksara

Orang tua cenderung mendorong anaknya bisa, bukan suka membaca.

Ghalda Anisah
Ghalda Anisah Selasa, 08 Sep 2020 17:56 WIB
Upaya Kemendikbud merdekakan masyarakat dari buta aksara

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, mengklaim, pemerintah senantiasa mengupayakan seluruh masyarakat merdeka dari buta aksara. Dilakukan melalui berbagai strategi.

"Di antaranya memutakhirkan data buta aksara, memperluas layanan program pendidikan keaksaraan, mengembangkan sinergi dalam upaya penuntasan buta aksara, dan pemeliharaan kemampuan keberaksaraan warga masyarakat, serta yang terakhir, mengakselerasi inovasi layanan program pada daerah buta aksara," paparnya pada Puncak Hari Aksara Internasional, Selasa (8/9).

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), sambung dia, bergotong royong memperjuangkan pendidikan inklusif, termasuk di tengah pandemi coronavirus baru (Covid-19).

Director of Policies Lifelong Learning System UNESCO, Borhene Chakroun, menambahkan, lebih dari miliaran siswa terdampak langsung pandemi. Sehingga, kegiatan belajar mengajar (KBM) tatap muka kini dialihkan dengan alternatif yang diinisiasi pemerintah setempat.

Dirinya melanjutkan, masih banyak siswa buta aksara secara global. Sayangnya, proses edukasi belakangan mulai sukar dilakukan karena keterbatasan akses dan fasilitas.

Karenanya, UNESCO mendorong tenaga pendidik sebagai sentra pembelajaran mengubah paradigma, dari biasa memberikan penjelasan langsung ke secara virtual. Untuk itu, guru harus diberi kesempatan meningkatkan kompetensi dan kapasitas agar proses pembelajaran berjalan baik.

Sementara itu, Duta Baca Indonesia, Najwa Shihab, menilai, orang tua saat ini cenderung menekankan anak-anaknya bisa membaca. Semestinya yang ditekankan agar "buah hati" suka membaca.

"Bisa membaca dan suka membaca itu adalah dua hal yang berbeda. Dan kemudian, membaca hanya ditafsirkan sebatas anaknya bisa mengeja. Itu menurut saya, miskonsepsi yang kerap kita temui di lapangan," ungkapnya.

Sponsored

Nana, sapaannya, lantas membuktikannya dengan indeks global, di mana kemampuan membaca rerata siswa di Indonesia bagus. Namun, skornya lebih rendah untuk mengolah dan memahami informasi serta memaknai teks.

“Membaca banyak tulisan bukan berarti meningkat kemampuan. Namun, membuat seseorang menjadi ngantuk dikarenakan mereka banyak membaca, tapi mereka tidak membaca secara aktif," jelasnya.

"Artinya ketika kita mulai membaca halaman demi halaman, bagaimana kita memahami latar belakang penulis misalnya sebelum membaca, bagaimana kita menanyakan, bagaimana kita berargumen, bagaimana kita mengidentifikasi dengan karakter atau dengan isu yang kita baca, dan yang peling penting bagaimana kita mengaplikasikan apa yang kita baca dengan konteks yang kita jalanin di kehidupan sehari-hari," sambungnya.

Dirinya berpandangan, kemampuan yang dibutuhkan untuk beradaptasi perlu dikembangkan di tengah dunia yang berubah sedemikian cepat. Apalagi, teknologi mengubah banyak aspek kehidupan.

"Jadi, bukan sekadar baca tulis, bukan sekadar mengeja. Tapi, kemampuan kita untuk bisa belajar lagi dalam mengubah persepsi atau membongkar paradigma lama yang kita miliki dan bersama untuk terus belajar hal-hal baru," tutup Nana.

Berita Lainnya
×
tekid