sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Upaya tekan golput dengan jerat pidana

Pemerintah berencana memidanakan pihak-pihak yang mengajak golput.

Ayu mumpuni Armidis
Ayu mumpuni | Armidis Rabu, 27 Mar 2019 12:11 WIB
Upaya tekan golput dengan jerat pidana

Khawatir tingkat golput tinggi pada Pemilu April mendatang, pemerintah berencana memidanakan pihak-pihak yang mengajak golput. Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto mengatakan seseorang yang terbukti mengajak golput dapat dipidanakan. 

Alasan pidana disebut Wiranto berdasarkan Undang-Undang. Ajakan untuk golput adalah tindakan yang membuat tidak tertibnya pesta demokrasi, sebab golput dianggap sebagai kegiatan mengancam kewajiban dan hak orang lain.

"Ada UU mengenai ancaman itu. Apabila tidak bisa dijerat dengan UU terorisme, lewat UU lain bisa. Ada UU ITE atau KUHP juga bisa," kata Wiranto di Grand Paragon Hotel, Rabu (27/3) dalam Rakornas Bidang Kewaspadaan Nasional Dalam Rangka Penyelenggaraan Pemilu 2019.

Wiranto menilai seseorang yang mengajak golput disebut telah berupaya mengacaukan jalannya pemilu serentak. Maka, segala upaya pengacauan terhadap pesta demokrasi harus dikenakan sanksi.

Meski begitu, dalam upaya menekan angka golput, pemerintah terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. Wiranto mengingatkan agar masyarakat tidak menyia-nyiakan hak politiknya dalam memilih pemimpin yang berkualitas, kompeten dan memiliki integritas.

Fatwa bukan solusi

Sementara itu, fatwa soal golput yang haram dinilai Sekrataris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta bukanlah solusi. Menurut Kaka, tingginya angka golput lantaran sistem dan administrasi pemilu tidak memadai untuk menjamin hak pilih masyarat. 

Kaka bilang, apabila menggunakan perspektif demokrasi, maka pilihan untuk tidak memilih merupakan hak yang mesti dihargai.

Sponsored

"Soal golput tidak bisa dilihat hanya dari satu sisi. Karena dalam survei justru hambatan lebih banyak terjadi karena soal administratif dan sosialisasi," ujar Kaka kepada Alinea.id

Sebaliknya yang perlu didorong adalah kinerja penyelenggara pemilu soal administrasi yang memudahkan pemilih serta sosialisasi yang masif dari penyelenggara pemilu. Masalah dominan paling krusial membuat masyarakat tidak dapat menggunakan hak suaranya, misalnya pemilik KTP-el justru tidak ada dalam DPT. Kasus tersebut masih banyak terjadi. 

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menegaskan golput haram merupakan hasil dari ijtima ulama di Padang Panjang, Sumatera Barat tahun 2009. Langkah itu diambil MUI untuk meningkatkan partisipasi publik menggunakan hak pilihnya.

Anggota Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional (BPN) Fadli Zon, khawatir akan menimbulkan kontroversi baru yang meresahkan publik. Saran Fadli, persoalan golput mesti ditangani dengan langkah persuasif agar masyarakat menggunakan hak pilih. Sebab, fatwa MUI juga berpotensi tidak diikuti.

"Saya kira golput itu harus diimbau, kalau dibilang haram nanti jadi kontroversi baru. Jangan membuat fatwa yang orang tidak ikuti," kata Fadli. 

Keikutsertaan masyarakat dengan menggunakan hak pilih, kata Fadli, bukan kewajiban. Terminologi yang dipakai dalam Undang-Undang adalah memilih itu hak personal.

Di negara lain, konstitusi memang mengatur menggunakan kalau hak pilih adalah kewajiban. Dengan begitu, ada konsekuensi bagi yang tidak menunaikan kewajibannya, sedangkan di Indonesia malah sebaliknya.

Berbeda dengan Australia, di mana UU mewajibkan setiap warga negara untuk datang ke TPS. Kalau tidak datang, maka akan didenda, sementara dalam UU Indonesia tidak tercantum. 

Berita Lainnya
×
tekid