sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

UU Ciptaker dinilai ancam identitas nelayan kecil

UU Cipta Kerja merevisi ketentuan mendasar pada nelayan kecil.

Fathor Rasi
Fathor Rasi Rabu, 14 Okt 2020 22:01 WIB
UU Ciptaker dinilai ancam identitas nelayan kecil

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menilai, disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) oleh DPR pada 5 Oktober lalu akan meningkatkan praktik perampasan ruang hidup nelayan, dan mengakselerasi penghancuran lingkungan, sumber daya alam di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

“Dengan meningkatnya praktik perampasan ruang melalui UU Cipta Kerja ini, hal ini juga berdampak pada semakin meningkatnya konflik agraria yang terjadi di tingkatan akar rumput serta praktik-praktik pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap nelayan, perempuan nelayan dan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil lainnya,” jelas Susan Herawati keterangannya, Rabu (14/10).

Ironisnya, sambung Susan, diskursus UU Cipta Kerja masih terfokus pada permasalahan pada sektor ketenagakerjaan saja.

"Padahal, undang-undang ini memiliki kecacatan yang lebih kompleks dan menyasar banyak sektor, khususnya sektor perikanan dan kelautan. Salah satu contohnya adalah penghilangan identitas politik nelayan tradisional," bebernya.

Melalui UU Cipta Kerja, jelas dia, pemerintah Indonesia seakan tidak lagi mengakui identitas politik dari nelayan tradisional dan menempatkan statusnya sama dengan pelaku usaha perikanan dalam skala yang lebih besar.

"Secara lebih jelasnya, UU Cipta Kerja merevisi ketentuan mendasar yang melekat pada nelayan kecil, sehingga tidak ada ketentuan yang jelas antara nelayan kecil dengan nelayan besar," ujar Susan.

Lebih Jauh Susan menjelaskan, di dalam revisi tersebut menyebutkan, nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang menggunakan kapal penangkap ikan maupun yang tidak menggunakan kapal penangkap ikan.

"Sedangkan di dalam UU No. 31 Tahun 2004 jo UU No. 45 Tahun 2009 (tentang Perikanan), Pasal 1 ayat (11) dengan jelas menyebutkan dan mengkategorikan nelayan kecil adalah yang menggunakan kapal penangkap ikan berukuran paling besar 5 GT," urainya.

Sponsored

Kriteria yang jelas terhadap nelayan kecil, kata Susan, sangat penting karena terkait perlakuan khusus untuk mereka, seperti berhak mendapat subsidi, modal, dan sebagainya dari pemerintah.

"Nelayan kecil juga tidak diwajibkan memiliki izin karena menggunakan alat tangkap tradisional yang ramah lingkungan. Dengan dihapusnya kriteria tersebut berpotensi menimbulkan konflik baru karena nelayan besar juga dapat menikmati perlakuan khusus yang selama ini hanya diberikan terhadap nelayan kecil," ungkapnya.

Privatisasi dan pencurian ikan

Selain itu, lanjut Susan, praktik privatisasi dan liberalisasi yang terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil akan semakin marak dengan adanya UU Cipta Kerja.

"Seperti yang tertera pada Pasal 18 angka 22 yang menyebutkan bahwa dalam rangka penanaman modal asing, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya harus memenuhi perizinan berusaha dari Pemerintah Pusat dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal," bebernya.

"Dalam pasal tersebut, UU Cipta Kerja menghapus kewajiban mengutamakan kepentingan nasional dalam pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitar, yang sebelumnya diatur pada Pasal 26A ayat (2) UU No.27 Tahun 2007 jo UU No.1 Tahun 2014," imbuhnya.

KIARA juga membaca proyeksi lain dampak buruk disahkannya UU Cipta Kerja dalam sektor perikanan, yaitu akan adanya peningkatan praktik IUU Fishing atau pencurian ikan di perairan Indonesia.

"Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan sanksi yang semakin lemah kepada kapal-kapal berbendera asing yang melakukan praktik IUU fishing dan mengeksploitasi sumber daya perikanan Indonesia. Di dalam UU No.31 Tahun 2004 (tentang Perikanan) Pasal 93 dengan tegas menyebutkan bahwa sanksi yang diberikan terhadap kapal berbendera asing yang melakukan pelanggaran dalam melaut dan/atau menangkap ikan adalah sanksi pidana dan sanksi denda," terangnya.

Sedangkan di UU Cipta Kerja, jelas Susan, sanksi yang diberikan hanya sekedar sanksi administratif saja.

“Apabila sanksi terhadap pelaku IUU fishing juga pelanggaran HAM di atas kapal penangkapan ikan hanya bersifat administrasial saja, maka para pelaku tersebut dapat dengan mudah untuk kembali ke dalam industri perikanan dengan nama yang berbeda. Namun praktek produksi yang eksploitatif terhadap sumber daya laut juga pada pekerjanya akan terus berlangsung,” ungkapnya.

Oleh karena itu, KIARA menilai sudah seharusnya seluruh lapisan masyarakat Indonesia dapat memahami isu UU Cipta Kerja ini dalam konteks yang lebih luas.

"Dan berjuang bersama untuk menolak disahkannya UU Cipta Kerja,” pungkas Susan.

Berita Lainnya
×
tekid