sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Vaksin Covid-19 masih lama, ancaman ekonomi kian nyata

Mengatasi pandemi dan ekonomi harus berjalan seimbang

Fadli Mubarok
Fadli Mubarok Sabtu, 16 Mei 2020 22:13 WIB
Vaksin Covid-19 masih lama, ancaman ekonomi kian nyata

Vaksin Covid-19 kemungkinan tercipta paling cepat 12 bulan, merujuk pada historis pembuatan vaksin untuk virus sebelumnya, termasuk data-data Organisasi Kesehatan Dunia WHO.

Terkait hal itu, Lembaga Survei Indonesian (LSI) Denny JA menyimpulkan bahwa pengobatan 100% atas virus ini masih terlampau lama untuk diharapkan. Sementara imbas pada ekonomi global begitu cepat.

"Vaksin butuh waktu paling cepat 12 bulan. Ini kalau kita hitung bisa baru muncul Februari, atau bahkan sampai Juni 2021. Artinya, semakin lama vaksin belum ditemukan, maka pengobatan 100% semakin lama," terang peneliti LSI Denny JA, Ikrama Masloman saat konferensi pers virtual, Sabtu (16/5).

Menurut dia, hingga kini para peneliti di berbagai belahan dunia masih terus berlomba-lomba menemukan vaksin Covid-19. Yang paling mutakhir adalah lembaga yang disponsori pentolan Microsoft, Bill Gates.

Perusahaan itu pun menyebutkan, proses penemuan vaksin masih dalam tahap pengupayaan. Artinya belum dapat dipastikan vaksin ini bisa dihadirkan secepat mungkin.

"Catatan lainnya, bahwa ketika vaskin itu ditemukan, butuh proses juga untuk produksi sejumlah kebutuhan masyarakat di dunia, yaitu sekitar 8 M harus diproduksi vaksinya, dan itu membutuhkan waktu. Begitu juga distribusikannya membutuhkan waktu panjang," ujar dia.

Oleh sebab itu, LSI Denny JA merekomendasikan agar pemerintah mulai bisa memulai pelonggaran aktivitas masyarakat atau relaksasi pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Semua dilakukan, lantaran perkembangan ekonomi global terus berjalan kendati vaksin belum ditemukan.

Jika tidak, ia khawatir perkonomian Tanah Air akan berdampak buruk. Pasalnya, tidak dapat dipungkiri pandemi ini berimplikasi ke banyak sektor, termasuk keadaan ekonomi negara.

Sponsored

"Butuh keseimbangan, kalau karena kalau fokus pada pandemi saja tanpa memikirkan ekonomi domestik warga, saya pikir ini akan berefek terhadap apa yang disebut the hungry man become the angry man, jadi publik yang lapar akan cenderung menjadi publik yang marah, kalo marah bisa saja cheos, delegitimasi pemerintahan, distrust, tentunya memperparah kondisi," tegas dia.

Dijelaskan Ikrama, dalam hal ini butuh pemahaman bersama. Bukan hanya pemerintan, masyarakat dianjurkan untuk dapat menerapkan gaya kehidupan baru atau new normal dengan aturan kesehatan yang ketat.

LSI juga mengingatkan, di tengah kehidupan new normal dunia juga harus waspada akan hadirnya gelombang kedua pandemi Covid-19 ini.

Pasalnya, dalam kasus pandemi, biasanya gelombang kedua lebih berbahaya dampaknya bagi kesehatan umat manusia. Hal itu merujuk pada persitiwa bersejarah Flus Spanyol 1918.

Berita Lainnya
×
tekid