sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

"Virus itu ikut maunya kita, bukan kita ikut maunya virus..."

Pemerintah dinilai tak paham konsep PSBB karena tak melarang warga pulang kampung.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Kamis, 16 Apr 2020 07:07 WIB

Meskipun telah resmi memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di DKI Jakarta dan sejumlah daerah lainnya, pemerintah hingga kini belum melarang warga biasa untuk pulang kampung menjelang Idul Fitri. 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkukuh pemerintah hanya bisa menganjurkan warga untuk tidak mudik. Larangan mudik hanya berlaku untuk aparatur sipil negara (ASN), pegawai BUMN serta anggota TNI dan Polri.

Menurut Jokowi, setidaknya ada dua kelompok masyarakat yang tidak bisa dilarang pulang kampung di tengah pandemi Covid-19. Pertama, warga yang kehilangan pekerjaan atau penghasilannya berkurang drastis karena PSBB. 

Kedua, warga yang memang berniat merayakan Lebaran di kampung halaman. "Warga yang mudik karena tradisi puluhan tahun kita miliki di negara kita Indonesia," ujar Jokowi dalam telekonferensi di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (9/4).

Dalam wawancara khusus dengan Alinea.id, anggota tim pakar Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono menilai sikap pemerintah yang tak mau melarang mudik potensial mendatangkan bencana. 

Menurut Pandu, bukan tidak mungkin rombongan pemudik yang mengidap Covid-19 tapi tanpa gejala menjadi agen penyebar virus di kampung halaman. Apalagi, kemampuan pemerintah daerah untuk mengetes gejala Covid-19 masih sangat terbatas. 

"Kalau dibiarkan pulang, walaupun dibatasi dan sebagainya, sebagian membawa virus dan menularkan kepada keluarga, sanak keluarga di kampung halaman," kata Pandu. 

Pandu menilai, pejabat-pejabat yang merumuskan PSBB tidak mengerti substansi PSBB. Seharusnya, kata dia, PSBB berlaku secara nasional dan disertai larangan mudik. 

Sponsored

"Kalau pembatasan sosial berskala besar itu kan sama artinya lockdown. Kalau di Indonesia bilang pembatasan 100%, ya, total. Nah, PSBB itu tidak mengenal wilayah. Seharusnya berlaku secara nasional kalau mau berskala besar," kata dia. 

Berikut petikan wawancara Alinea.id dengan Pandu lewat sambungan telepon di Jakarta, akhir pekan lalu. 

Meski sudah menerapkan PSBB, pemerintah masih memperbolehkan warga mudik ke kampung halaman. Apa pendapat Anda? 

Ya, karena pakai pembatasan sosial sebenarnya manusia dilarang atau dicegah supaya tidak berpergian jauh, kecuali penting sekali. Nah, kalau mudik kan biasanya ramai-ramai pada hari-hari tertentu. Makanya, seharusnya kan bisa dilarang. Tetapi, karena pemerintah suka malu menarik ucapannya sendiri, ya, dipersulit saja sekarang. Boleh mudik, asalkan, misalnya, diperiksa kesehatannya tidak membawa virus dan sebagainya, selama perjalanannya (diatur) seperti apa, atau kita (pemerintah) naikkan harga transportasinya. Jadi, dipersulit aja kalau enggak mau dilarang 100%. Karena udah enggak mungkin kan kalau mau dilarang sekarang? 

Pada umumnya, memang ketika pemerintah menetapkan pembatasan sosial berskala besar itu tidak seorang pun yang paham, termasuk Menteri Kesehatannya, termasuk pejabat-pejabat yang merumuskannya. Itu karena konsep ini enggak pernah diberlakukan di Indonesia. Itu kan konsep yang diterjemahkan dari social distancing. Iya, kan? Kalau pembatasan sosial berskala besar itu kan sama artinya dengan lockdown. Kalau di Indonesia bilang pembatasan 100%, ya, total.

Nah, PSBB itu tidak mengenal wilayah. Seharusnya berlaku secara nasional kalau mau berskala besar. Kalau berskala lokal, ya, Jakarta namanya. Tapi, bukan berskala besar. Kan pilihannya berskala besar, masif, agresif, dan benar-benar ada regulasinya sehingga semua itu tidak melanggar hukum dan tidak melanggar HAM.

Warga yang kembali ke kampung halaman langsung masuk dalam kategori orang dalam pemantauan (ODP) Covid-19 dan harus menjalani isolasi diri. Di berapa daerah juga sudah disiapkan tempat karantina. Itu efektif?

Ya, enggak mungkinlah. Kalau pulang kampung, masak mau ketemu sanak famili disuruh isolasi diri di berbagai tempat? Itu kan sama saja bohong. Jadi, janganlah membohongi masyarakat atau nakut-nakutin. Tugas kita adalah bersama mengedukasi masyarakat, kenapa dilarang mudik, kenapa sebaiknya tidak mudik, dan sebagainya. Terus aja (sosialisasikan secara) masif, transfer terus-menerus (edukasinya). Jadi, kalau nanti sampai beli tiket, dimahalkan. Terus bikin surat pernyataan kalau sakit atau meninggal langsung dimakamkan. Tidak perlu keluarganya menengok dan sebagainya karena dianggap orang dengan suspect Covid-19. Dengan demikian, orang bakal mikir.

Kalau mudik diatur dengan pembatasan jarak antara kursi penumpang dan sebagainya. Apakah itu efektif mencegah penularan? 

Enggak bisa. Jangan. Begini, kenapa sih dilarang orang ke kampung halaman? Karena sekarang dalam situasi di mana kita tidak tahu lagi orang-orang yang membawa virus dengan orang yang tidak membawa virus. Kecuali tes dengan PCR (polymerase chain reaction). Nah, itu kemampuan tes kita di Indonesia masih sangat terbatas. Kalau dibiarkan pulang, walaupun dibatasi dan sebagainya, sebagian membawa virus dan menularkan kepada keluarga dan sanak keluarga di kampung halaman. Kalau di kampung halaman banyak yang terkena, karena sebagian mereka berusia tua dan sebagainya, itu butuh perawatan. Kapasitas kesehatan kita di daerah itu masih sangat-sangat terbatas sehingga mereka akan meninggal. Kalau meninggal, kan angka kematian tinggi. 

Jadi, kita harus bisa mencegah supaya jangan ada lagi orang lain yang tertular, terutama orang-orang berisiko karena tingkat kematiannya tinggi. Kita harus bisa mencegah karena kematian itu enggak perlu terjadi. Apakah kita mau membiarkan mati kalau kita tahu caranya? Dan, cara yang paling murah dan paling gampang adalah tidak diizinkan mudik atau dipersulit mudik. Kan kita larang untuk pergi kan? Kalau sampai daerah, ada aparat, ada tempat isolasi, dan sebagainya, itu kan mahal. Siapa yang membiayai?

Artinya PSBB ini sebenarnya tidak efektif karena masih membolehkan mudik?

Kalau PSBB hanya di Jakarta (saja), tidak efektif. Kalau masih diizinkan mudik, tidak efektif. Kalau kita benar-benar serius, ingin menekan risiko penularan, perlu respek sosiallah. Karena itu, ini jangan berlama-lama. Rakyat sudah menderita sekali, ekonomi hancur, enggak bisa cari makan. Kalau kita tahan aja, dua minggu atau tiga minggu untuk tidak bergerak, jumlah kasusnya akan menurun drastis. Kita bisa mencegah separuhnya. Lalu, kita cegah seminggunya, turun lagi. Kita ingin seperti itu. Pertanyaan orang kan gini, 'Sampai kapan pandemi ini?' Tergantung kita semua. Kita mau cepat atau kita mau lama-lama. Karena virus itu mengikuti maunya kita, bukan kita ikut maunya virus.

Di tengah pemberlakuan PSBB, pejabat pemerintah kerap tak satu suara melarang mudik...

Iya, karena tidak jelas PSBB-nya. Karena tidak jelas, akhirnya (seharusnya) sekarang kampanye. Langsung dibuat langkah-langkah untuk mempersulit untuk mudik. Itu karena pemerintah malu mencabut ucapan yang salah. Sebenarnya enggak apa-apa nyabut (kebijakan boleh mudik). Orang akan apresiasi kok. Enggak usah malu lagi.

Di beberapa daerah, jumlah orang dalam risiko (ODR) Covid-19 makin membeludak karena arus mudik...

Iya, makin besar risikonya. Kita tidak bisa menahan di Jakarta atau sekitarnya. Sekarang udah menyebar ke seluruh Indonesia. Maka, PSBB harus berlaku nasional supaya tidak ada perpindahan antarprovinsi lagi dan kita tunggu sampai virusnya reda. Kalau kita diam, virusnya enggak ke mana-mana. Kalau kita ketemu orang, ada pesta, ada rapat, terus ada orang yang kena (positif Covid-19), ya, dia (virus) pindah. Apalagi, dalam ruangan ber-AC. Ruangan ber-AC kan ruangan tertutup. Tidak ada sirkulasi. Kalau ada orang batuk, itu virusnya di situ aja

Makanya, setiap orang pakai masker sekarang karena setiap orang Indonesia itu ODP (orang dalam pemantauan). Dari segi epidemiologi itu, setiap orang ODP. Karena itu, kita tidak bisa lagi (tidak) membatasi kepergian orang dalam sebulan-dua bulan ini. Orang bilang, 'Oh, masker cuma efektif 60% untuk menahan virus.' Ya, enggak apa-apa. Wajib hukumnya. Kalau perlu, diatur. Kalau ada yang enggak pakai, disuruh pakai atau disuruh beli.

Bisa disimpulkan pemerintah memang terkesan kurang serius menangani Covid-19?

Ya, bukan enggak serius. Mereka enggak ngerti apa itu PSBB. Bagaimana mau serius? Jadi, PSBB diinterpretasikan berbeda-beda, tidak ditulis secara detail operasionalnya seperti apa. Ini masalahnya adalah dari PP (peraturan pemerintah) udah salah. PMK (Permenkes) kayak gitu lagi. Aduh, masa PSBB harus minta izin Menkes dengan syarat yang njlimet? Itu kan bodoh sekali. Menterinya bodoh yang tanda tangani itu. Jadi, bagaimana mengatasi virus kalau virus itu lebih cepat, tidak punya batas geografis, dan administratif? 

Kalau kita hanya main-main di regulasi, regulasi (sekarang) kan (justru) menghambat. Dulu pemerintah kita, Pak Jokowi, bilang kan bisnis harus ditingkatkan, pangkas birokrasi, eseleon IV dihapus. Eh, ini bikin birokrasi lagi. Padahal, semangatnya kan semangat tidak ada birokrasi, semua dimudahkan. Jadi, antara ucapan dan perilaku enggak nyambung.

Perlu Menkes Terawan mundur?

Iya, saya bilang dia mundur. Dia kesalahannya luar biasa (karena) sudah membiarkan orang Indonesia mati.

Kita bisa belajar dari penanganan pandemi flu burung? 

Enggak juga. Memang waktu itu virusnya masih gampang diatasi. Karena virus waktu itu kan sebagian besar masih di unggas, bukan di manusia. Kalau ini kan di manusia. Ini kan virus besar. Makanya, nama virusnya SARS-CoV-2. Jadi, sama dengan yang dulu, yang 2003 itu hijrah juga. SARS itu singkatan dari severe acute respiratory syndrome. Virusnya sama, tapi waktu itu orang yang kena bisa menularkan kalau bergejala, dia demam, dia batuk. Kalau sekarang ini, karena sudah bermutasi, hampir 90% tidak bergejala, tapi menularkan.

Itu yang orang enggak paham bahwa penular-penular, penyebar virus itu seperti orang sehat pada umumnya. Bukan yang sakit. Yang sakit dan masuk rumah sakit itu cuma 4%. Maka, konsepnya lockdown. Karena kita enggak punya vaksin. Kalau ada vaksin, maka dengan cepat penduduknya bisa divaksin. Bisa diatasi. Jadi, satu-satunya cara agar virus itu tidak berpindah, ya, orang enggak boleh pergi. Itu aja. Karantina wilayah Indonesia.

Kenapa orang Indonesia masih sering kedapatan keluar rumah dan melanggar aturan PSBB meskipun sudah ada banyak korban?

Karena dia enggak ngerti. Disangkanya, 'Oh, orang itu yang kena.' Karena itu, disangkanya bukan masalah kita. Kalau keluarga kita kena, istri kita kena, suami kita kena, ibu kena, baru sadar.

Alasan itu juga membuat orang masih ngotot mudik?

Iya. Dan, kelalaian pemerintah itu tidak melakukan edukasi dengan bahasa-bahasa yang mudah dimengerti masyarakat. Masyarakat diajari social distancing. Apa itu social distancing? Pakai Bahasa Indonesia: pembatasan sosial berskala besar. Apa itu pembatasan sosial?  Seharusnya gampang aja. Kenapa sih kamu enggak boleh keluar, enggak boleh pergi? Karena kamu akan kena virus. Nah, orang akan mudah ngerti. Enggak usah pakai bahasa-bahasa yang sulitlah. Orang pintar tuh suka arogan sih.

Pelanggar aturan PSBB hingga kini masih banyak. Apakah itu karena sanksi juga enggak tegas? 

Karena PSBB itu hanya copy paste dari peraturan-peraturan sebelumnya. Mereka enggak memikirkan item-item apa saja yang dilakukan di dalam PP dan PMK ini. Sehingga, menurut saya, sih enggak (perlu) ada lagi PMK. PMK itu begini, ini berlawanan dengan UU Otonomi (Daerah). Otonomi itu penanggung jawabnya rakyat dan wilayah itu adalah gubernur, bupati dan wali kota. Tugas menteri itu hanya pembinaan, bimbingan teknis, dan membuat regulasi. Kalau ada kepala daerah meminta izin dan izinnya itu rumit, aneh kan? Jadi, ini udah salah kaprah. Menurut saya PP-nya diperbaiki, Permenkesnya dicabut. Ganti menteri.

Maksudnya copy paste dari UU Kekarantinaan Kesehatan?

Itu UU Karantina lagi dibuat kan (PP-nya). Udah ada draf PP UU Karantina. Begitu ada PP untuk pembatasan sosial berskala besar ini, PP itu cuma diganti judul. Enggak bikin yang baru yang sesuai konsep dengan PSBB. PSBB itu gimana dan apa maksudnya... Harusnya bikin yang detail, yang spesifik untuk mengatasi pandemi Covid-19 ini. Kalau UU Karantina itu hanya UU yang berlaku untuk semua penyakit menular, tidak spesifik untuk Covid-19. Kan UU Karantina dibuat 2018. Ini orang-orang di pemerintah itu malas mikir. Udah dibayar mahal. Gaji menteri kan gajinya gede, dikasih mobil bagus, tapi enggak mikirin rakyat. Ketawa-ketawa aja. Saya sedihnya itu karena mereka tidak punya tanggung jawab publik. Mereka harus bertanggung jawab atas kematian yang terjadi selama ini. Apa Menteri Kesehatan pernah menengok dokter-dokter yang sakit dan mati? Enggak ada. Enggak perduli dia.

Artinya, karena aturan UU Karantina tidak spesifik untuk atasi Covid-19, bakal ada kesulitan di lapangan? 

Iya, itu berlaku umum. Generik. Harus ada PP-nya untuk Corona, khusus. Kalau ada PSBB, itu kan percepatan penanganan Corona. Harus dibuatkan PP.

Kan sudah ada PP untuk PSBB ini?

Dalam UU Karantina, Presiden itu yang harus menetapkan kegawatdaruratan kesehatan masyarakat. Jadi, memang kalau ada penyakit menular, wabah seperti pandemi Corona, yang bertanggungjawab dan yang memimpin itu Pak Presiden. Kepala negara. Bukan diserahkan kepada BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana). BNPB kan bingung, kasihan. Kalau BNPB kan kebanyakan mitigasi bencana. Udah biasa dia. Ini kan masalahnya bukan hanya mitigasi, tapi mencegah penyakit. Ada aturan-aturan yang mereka bingung. 

Kalau di luar negeri itu, untuk pandemi ini, kepalanya presiden dan staf-stafnya itu orang yang ngerti kesehatan masyarakat. Epidemologi. Jadi, setiap langkahnya itu sesuai dengan anjuran-anjuran yang dikeluarkan WHO. Ini aturan di WHO diikutin, tapi enggak dimengerti oleh orang-orang yang bukan (ahli) kesehatan.

Saat PSBB ini disusun, apakah para epidemiolog itu diundang membahasnya? 

Enggak pernah. Kementerian Kesehatan juga enggak pernah (mengundang). Makanya, salah terus dia. Mereka merasa paling ahli. 

Berita Lainnya
×
tekid