sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Hukuman mati koruptor dianggap basi dan keliru

Alih-alih mewacanakan hukuman mati bagi koruptor, Presiden Jokowi diminta membenahi sistem hukum kriminal di Indonesia.

Achmad Al Fiqri Akbar Ridwan Marselinus Gual
Achmad Al FiqriAkbar Ridwan | Marselinus Gual Selasa, 10 Des 2019 19:57 WIB
Hukuman mati koruptor dianggap basi dan keliru

Alih-alih mewacanakan hukuman mati bagi koruptor, Presiden Joko Widodo (Jokowi) diminta membenahi sistem hukum kriminal di Indonesia. Menurut Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani, kasus-kasus korupsi dan narkoba kerap marak karena sistem hukum di Indonesia tak menimbulkan efek jera. 

"Kuncinya adalah kesungguhan. Kalau memang sungguh-sungguh mau berantas (korupsi dan narkoba), saya yakin negara dan aparat bisa (melakukan) tanpa hukuman mati," ujar Ismail kepada wartawan di Jakarta, Selasa (10/12). 

Ismail memaparkan sejumlah persoalan yang membuat sistem hukum kriminal miskin efek jera, di antaranya buruknya manajemen lapas dan pemberian remisi terhadap koruptor. "Ini soal cara penegakan hukum. Kita bisa periksa bagaimana manajemen lapas kita. Lapas kita amat buruk manajemennya," kata Ismail. 

Wacana hukuman mati bagi koruptor muncul saat Presiden Jokowi menghadiri peringatan Hari Antikorupsi Sedunia di SMKN 57 Ragunan, Jakarta Selatan, (9/12). Saat itu, siswa kelas XII jurusan Tata Boga SMK 57 Harli Hermansyah bertanya kepada Jokowi kenapa koruptor tak dihukum mati. 

Menurut Jokowi, hukuman mati bagi koruptor kebanyakan tidak dimungkinkan oleh undang-undang. "Kalau korupsi bencana alam dimungkinan. Kalau enggak, tidak. Misalnya, ada gempa (dan) tsunami di Aceh atau di NTB (dan) kita ada anggaran untuk penanggulangan bencana. Duit itu dikorupsi. Bisa (kena hukuman mati)," ujar Jokowi. 

Penerapan hukuman mati yang dimaksud Jokowi tertulis pada Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999. Dijelaskan pada pasal itu, hukuman mati bisa diterapkan jika korupsi dilakukan pada anggaran penanggulangan bencana, pengulangan korupsi, atau saat negara tengah mengalami krisis ekonomi. 

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan hukuman mati bagi para koruptor merupakan wacana usang yang kerap menyembul ke permukaan. "Sebenarnya itu kan, apa namanya...Ya, cerita lama yang selalu ada di pasal 2 (UU Tipikor). Jadi, biar aja tuh jadi wacana. Kalau mau diubah (UU Tipikor). Kalau kita mau melakukan penindakan lebih tegas, itu lebih baik," tutur Saut. 

Jika mau serius memberantas korupsi, Saut menyarakankan agar pemerintah dan DPR menyepakati revisi UU Tipikor dan menyesuaikannya dengan perkembangan zaman. Pasalnya, masih banyak aspek-aspek pada pidana korupsi yang belum diatur secara rinci. 

Sponsored

"Ya, makanya Undang-Undang Tipikor ganti. Sebenarnya, korupsi itu bukan soal besar atau kecil (uang yang di korupsi), soal bunuh membunuh atau hukuman mati. Enggak. Tetapi, gimana kita bisa membawa setiap orang yang bertanggung jawab besar atau kecil ke depan pengadilan," tuturnya.

Ketimbang menerapkan hukuman mati, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan, masih ada cara lain untuk memberikan efek jera pada pelaku korupsi. "Misalnya memiskinkan koruptor, memberikan vonis penjara maksimal, pencabutan hak politik, dan lain-lain," ujar dia di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (10/12). 

Namun demikian, Kurnia mengatakan, vonis hakim terhadap kasus-kasus korupsi kerap minim efek jera. Pada 2018 misalnya, Pengadilan Tipikor rata-rata mengeluarkan vonis hukuman 2 tahun 5 bulan penjara bagi koruptor. "Pencabutan hak politik pun sama. Masih banyak jaksa atau hakim yang tidak memanfaatkan aturan ini secara maksimal," terangnya. 

Kurnia mengatakan, tidak tepat jika pemerintah menggulirkan wacana hukuman mati bagi koruptor. Seharusnya, kata dia, Jokowi menjamin masa depan pemberantasan korupsi dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) KPK. 

"Kami meyakini bahwa hal ini hanya bisa tercapai jika Presiden Joko Widodo menerbitkan Perppu UU KPK. Sebab, bagaimana mungkin pemberantasan korupsi akan berjalan dengan lancar jika lembaga yang selama ini menjadi leading sector sudah mati suri sejak UU KPK baru berlaku?" katanya.

Vonis proporsional

Wakil Ketua MPR Arsul Sani mengatakan, vonis terberat koruptor yang pernah diputuskan hakim ialah penjara seumur hidup. Hingga kini, tercatat baru tiga orang yang koruptor yang menerima vonis tersebut, yakni mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, pengusaha Adrian Waworuntu, dan Brigadir Jenderal Teddy Hernayadi.

Ke depan, menurut Arsul, DPR dan pemerintah memang harus fokus memperberat hukuman bagi para koruptor. Namun demikian, hakim juga harus proporsional dalam memberikan hukuman kepada mereka yang terlibat dalam kasus korupsi. 

"Sebab dia masuk kasus korupsi, banyak yang enggak tahu apa-apa. Contoh, dia ajudan kepala daerah. Dia disuruh mengantarkan uang suap untuk DPRD, dia enggak tahu deal-nya apa. Tetapi, begitu kena OTT (operasi tangkap tangan) kan dia kena juga. Dalam hukum, namanya turut serta atau enggak minimal membantu melakukan," ujar politikus PPP itu. 

Lebih jauh, Arsul mengatakan, PPP sepakat jika UU Tipikor direvisi. "Karena banyak hal yang merupakan perbuatan korupsi paling tidak hal-hal yang belum diatur itu kemudian belum ada dalam UU Tipikor kita," jelas dia. 

Berita Lainnya
×
tekid