sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

YLBHI nilai Polri akeselerator pembungkaman suara kritis

Polri dinilai turut memberangus hak atas kebebasan berpendapat terkait kritik terhadap RUU Omnibus Law Cipta Kerja

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Rabu, 01 Jul 2020 11:49 WIB
YLBHI nilai Polri akeselerator pembungkaman suara kritis

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyebut Polri diduga telah menjadi bagian dari otoritarianisme pemerintah. Pasalnya, Polri dinilai turut memberangus hak atas kebebasan berpendapat terkait kritik terhadap RUU Omnibus Law Cipta Kerja hingga penanganan pandemi Covid-19.

“Kepolisian justru menjadi akselerator pembungkaman dengan model laporan oleh internal kepolisian. Misalnya, dalam upaya kriminalisasi terhadap Dandhy Dwi Laksono dan Ravio Patra. Di sisi lain, terjadi tebang pilih kasus, saat banyak peretasan terhadap warga negara yang kritis dan menjadi permasalahan publik, pelaporan tersebut tidak dilakukan (ditindaklanjuti),” ujar Direktur YLBH Asfinawati dalam keterangan tertulis, Selasa (1/7)

Berdasarkan pemantauan YLBHI pada 2019, terdapat 78 kasus pelanggaran yang diduga melibatkan Polri dengan korban mencapai 6.128 orang. Bahkan, 51 orang di antaranya meninggal dunia dan 324 terbilang masih anak-anak. Dari 78 kasus tersebut, sebanyak 67 kasus tercatat dilakukan aparat kepolisian pada level kepolisian sektor (Polsek), resort (Polres), level daerah (Polda), hingga Mabes Polri.

Satuan dari internal kepolisian yang diduga melakukan pelanggaran juga beragam. Dari satuan Intelkam, Sabhara, Brimob, hingga Satlantas. Jenis pelanggaran pun beragam, dari penghalangan dan/atau pembatasan aksi, menyasar alat/data pribadi, pembubaran secara tidak sah, tindakan kekerasan, perburuan dan penculikan, kriminalisasi, hingga penghalangan pendampingan hukum.

Menurut Asfinawati, hal itu diduga telah terjadi pergeseran cara pandang pemerintah dan Polri tentang demonstrasi. Dari mengawal hak yang dilindungi konstitusi dan UU menjadi tindakan yang perlu diwaspadai. Bahkan, dianggap sebuah kejahatan.

“Hal ini ditandai dengan munculnya kebijakan yang membatasi hak menyampaikan pendapat di muka umum. Penghalang-halangan, perburuan hingga penangkapan tidak beralasan setelah aksi. Menunjukkan aparat menganggap sifat dasar demonstrasi adalah melanggar hukum,” ucapnya.

Ia pun mengkritik penggunaan Pasal Makar (104 KUHP) secara sembarangan untuk mengkriminalisasi aksi unjuk rasa Papua dan memberangus suara kritis. Selain itu, juga menyayangkan upaya melawan pususan MK dengan mengkriminalisasi ‘penghina’ presiden.

Dalam surat telegram Kapolri bernomor ST/1100/IV/HUK.7.1/2020 tertanggal 4 April 2020 turut memerintahkan tindakan pemberi efek jera kepada penghina Presiden dan pejabat pemerintah. Padahal, Putusan MK putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 telah membatalkan Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP. Pertimbangan putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006 juga mengubah Pasal 207 KUHP menjadi delik aduan. Sehingga korban penghinaan harus melakukan pengaduan terlebih dahulu.

Sponsored

“Artinya tanpa laporan Presiden, tidak boleh ada kasus penghinaan Presiden yang dijalankan kepolisian,” tutur Asfinawati.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid