sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Qatar dan boikot-boikot Piala Dunia di masa lalu 

Di masa lalu, Piala Dunia rutin diboikot karena beragam alasan yang terkesan 'konyol'.

Christian D Simbolon
Christian D Simbolon Rabu, 23 Nov 2022 17:24 WIB
Qatar dan boikot-boikot Piala Dunia di masa lalu 

Spanduk-spanduk itu mulai terlihat bertebaran di stadion-stadion klub sepak bola Jerman sejak Maret lalu. Saat laga-laga di liga domestik tengah berlangsung, spanduk-spanduk itu kerap kedapatan tengah dibentangkan di tribun penggemar. Isi spanduk relatif seragam: Boycott Qatar 2022. 

Dari Jerman, fenomena itu menyebar ke negara-negara Eropa lainnya. Laga-laga domestik di Prancis, Italia, dan Spanyol kerap disemarakkan kehadiran spanduk bertema boikot itu. Secara gamblang, spanduk-spanduk itu menunjukkan bahwa fans sepak bola di Eropa terang-terangan menolak penyelenggaraan Piala Dunia di Qatar. 

"Semakin dekat ke gelaran Piala Dunia, semakin intens pesan-pesan itu disuarakan. Kami punya kesan bahwa sejak dua atau tiga bulan lalu, momentumnya menguat," kata Stefan Schirmer, salah satu inisiator kampanye Boycott Qatar di Eropa, seperti dikutip dari Reuters, pekan lalu. 

Di jagat selebritas, kampanye serupa juga bergulir. Sejak awal tahun lalu, sejumlah selebritas menyuarakan protes terhadap rencana digelarnya pesta sepak bola terbesar itu di Qatar. Dua Lipa, jadi salah satu yang paling vokal. 

Belum lama ini, penyanyi dan penulis lagu asal Inggris itu mengumumkan bahwa ia tidak akan manggung di Piala Dunia. "Saya akan mendukung Inggris dari jauh," kata Lipa dalam salah satu unggahan di akun Instagramnya. 

Ada beragam alasan yang mendorong fans, klub, dan selebritas memboikot Piala Dunia di Qatar. Salah satu alasan utama ialah buruknya kondisi hak asasi manusia (HAM) di negeri kaya minyak itu. Di antara lainnya, yang paling banyak memicu protes ialah larangan terhadap praktik-praktik homoseksualitas dan kekerasan aparat terhadap kelompok LBGT (lesbian, bisexsual, gay, and transgender) di negara itu. 

"Hak asasi manusia harusnya berperan penting dalam menentukan tuan rumah turnamen. Jika sebuah negara yang performanya buruk di area itu dianugerahi status sebagai tuan rumah, maka kita harus berpikir mengenai kriteria-kriteria yang menjadi dasar-dasar penganugerahan status itu," kata pesepak bola legendaris Jerman, Philiph Lahm. 

Lahm pernah menyandang ban kapten Jerman saat Tim Panser memenangi Piala Dunia di Brasil, delapan tahun lalu. Pada Piala Dunia kali ini, Lahm menyatakan tak akan mendukung langsung Jerman di stadion, baik sebagai offisial maupun fan. 

Sponsored

Selain ihwal nasib komunitas LBGT, kondisi buruh migran juga jadi sorotan publik internasional. Sejak Qatar dianugerahi status tuan rumah Piala Dunia pada 2010, tercatat ada 6.500 buruh migran mati di negara itu. Amnesti Internasional melaporkan banyak buruh migran mati saat bekerja di proyek-proyek pembangunan stadion. Pemerintah Qatar mengklaim hanya 37 buruh migran yang mati terkait Piala Dunia. 

Kontroversi terpilihnya Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia tak berhenti di persoalan HAM saja. April lalu, Departemen Kehakiman Amerika Serikat (AS) merilis laporan dugaan kongkalikong antara perwakilan Qatar dan petinggi FIFA. Qatar dituding menyuap petinggi FIFA supaya bisa jadi tuan rumah Piala Dunia. 

Meski telah dibantah Qatar, kasus dugaan suap-menyuap itu kini tengah disidangkan di pengadilan AS. Dalam sebuah pernyataan, FIFA menyatakan telah "menghukum" nama-nama yang disebut AS diduga terlibat dalam kasus tersebut. 

"Jika kejahatan dilakukan pejabat di dunia sepak bola terbukti, maka individu yang terlibat harus dihukum seberat-beratnya. Kami tidak bisa berkomentar lebih lanjut karena kasusnya kini tengah dalam proses persidangan," tulis FIFA. 

Alasan lain memboikot Qatar "diumumkan" pada tingkat negara. Juli lalu, enam negara tetangga Qatar melayangkan protes terhadap penyelenggaraan Piala Dunia via sebuah surat resmi kepada FIFA. Enam negara itu--Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Yaman, Mesir, Bahrain, dan Mauritania--ingin FIFA mencabut status Qatar sebagai tuan rumah karena menganggap negara kaya minyak itu sebagai sarang terorisme. 

Meski dipenuhi kontroversi dan diadang beragam kampanye negatif, gelaran Piala Dunia jalan terus. Laga perdana yang mempertemukan Qatar dan Ekuador digelar di Stadion Al Bayt, Kota Al Khor, Qatar Minggu (20/10) lalu. Sang tuan rumah dipecundangi Ekuador 2-0. 

Di Eropa, boikot pun terus bergulir. Tak bisa menghentikan gelaran Piala Dunia, kini banyak penggemar sepak bola di Benua Biru itu memboikot dengan menolak menonton laga di televisi. Tak seperti Piala Dunia sebelumnya, sejumlah bar dan kelab malam di Eropa juga memutuskan tak menggelar ajang nonton bareng.

Laga final antara timnas Inggris dan Jerman Barat pada Piala Dunia 1966. /Foto dok. FIFA

Emosional hingga politis

Kampanye pemboikotan Qatar bisa dibilang yang paling panjang dan kotroversial. Namun, itu bukan kali pertama Piala Dunia diboikot. Di masa lalu, ajang sepak bola paling bergengsi itu juga rutin diboikot. khususnya oleh para pesertanya sendiri. Alasannya beragam, mulai dari yang sifatnya politis hingga yang sekadar emosional. 

Sejarah mencatat boikot terhadap gelaran Piala Dunia kali pertama dijalankan oleh Uruguay pada Piala Dunia 1934 di Italia. Ketika itu, Uruguay berstatus sebagai pemenang Piala Dunia perdana yang digelar empat tahun sebelumnya di negara mereka sendiri. 

Namun, Uruguay menolak terbang ke Italia untuk mempertahankan gelar mereka. Alasannya terbilang konyol. Uruguay "membalas dendam" lantaran pada Piala Dunia sebelumnya tak banyak negara Eropa yang mau terbang ke negara mereka. 

Saat itu, Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlandia juga menolak ikut serta di Piala Dunia. Charles Sutcliffe, salah satu petinggi Football Association (FA), menyebut turnamen sepak bola yang digelar FIFA sebagai lelucon karena direncanakan secara serampangan. 

"Asosiasi sepakbola nasional Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlandia sibuk dengan turnamen internasionalnya sendiri yang, menurut saya, jauh lebih baik ketimbang kejuaraan dunia yang diselenggarakan di Roma," ujar Sutcliffe. 

Pada Piala Dunia 1938, Uruguay memutuskan tetap memboikot. Kali itu, Argentina juga ikut menolak jadi peserta. Argentina ngambek lantaran Piala Dunia digelar di Prancis. La Albiceleste, julukan Argentina, mengira Piala Dunia bakal digelar bergantian di Eropa dan Amerika Latin dan sempat berharap bakal jadi tuan rumah. 

Alasan boikot yang tak kalah "receh" terungkap pada Piala 1950. Ketika itu, India memutuskan tak ikut Piala Dunia di Brasil lantaran menganggap ajang itu tak sebegitu penting. Padahal, India otomatis lolos ke babak knock out setelah Indonesia, Myanmar, dan Filipina menarik diri. 

Sempat beredar rumor India memboikot Piala Dunia lantaran dilarang bermain tanpa sepatu di Piala Dunia. Dua tahun sebelumnya, timnas India tampil cukup memukau saat menjadi peserta Olimpiade di Inggris. Kala itu, para pemain India bermain bertelanjang kaki. 

"Kami tidak tahu banyak tentang Piala Dunia ketika itu. Seandainya kami terinformasi lebih baik, kami tentunya akan mengambil inisiatif. Bagi kami, Olimpiade adalah segalanya. Tak ada yang lebih besar," kata Sailen Manna, kapten timnas India kala itu, seperti dikutip dari LA Times. 

Timnas Ghana jelang Piala Dunia 1966. /Foto Wikimedia Commons

Pada 1958, kepentingan politis jadi dalih sejumlah negara memboikot Piala Dunia. Ketika itu, timnas Israel lolos ke babak kualifikasi tanpa sekali pun menendang si kulit bundar. Musuh-musuh mereka--Turki, Indonesia, Mesir, dan Sudan--menolak merumput bersama Israel lantaran bersimpati terhadap nasib bangsa Palestina. 

Terkecuali para penyandang gelar sebelumnya, FIFA tak membolehkan sebuah tim lolos ke putaran final tanpa bertanding sekali pun. FIFA pun memaksa Israel bertemu dengan Wales, tim terbaik Eropa yang tak lolos kualifikasi. Ironisnya, Israel kalah. Di Piala Dunia kali itu, Wales melaju hingga final. 

Boikot "berjamaah" kembali terekam pada Piala Dunia 1966. Ketika itu, semua tim Afrika menolak berpartisipasi di Piala Dunia yang digelar di Inggris. Confederation of African Football (CAF) memutuskan menarik semua tim lantaran tak setuju dengan pembagian jatah kualifikasi bagi tim Afrika.

Kala itu, ada 15 tim di Afrika. Pada Januari 1964, FIFA memutuskan susunan bagi 16 timnas yang berhak berlaga di putaran final: 10 dari Eropa, 4 dari Amerika Latin, serta 1 dari kawasan Amerika Tengah dan Karibia. Sisa satu jatah peserta lainnya harus diperebutkan semua tim dari kawasan Afrika, Asia, dan Oseania. 

Keputusan itu sempat diprotes Direktur Olahraga Ghana Ohene Djan, juga berstatus sebagai salah satu pejabat FIFA. Dalam sebuah telegram, Djan meminta agar FIFA menimbang ulang jatah kuota per kawasan. Menurut dia, Afrika setidaknya berhak mendapat jatah satu tim di babak kualifikasi. 

"Negara-negara Afrika dan Asia berjuang melewati serangkaian proses kualifikasi yang mahal dan melelahkan hanya untuk jatah perwakilan satu finalis ialah situasi yang menyedihkan dan sama sekali terasa tidak benar," tulis Djan seperti dikutip dari BBC. 

FIFA ogah mengalah. 

Keputusan kolektif itu terutama paling menyakitkan bagi Ghana. Ketika itu, timnas Ghana sedang dihuni banyak pemain bintang. Salah satunya ialah Osei Kofi. Penyerang klub Asante Kotoko itu dijuluki "Wizard Dribbler" lantaran kemahirannya menggiring bola. 

Gordon Banks, kiper legendaris Inggris, sempat menyetarakan Kofi dengan George Best. Best ialah pesepakbola asal Irlandia Utara yang menghabiskan sebagian besar kariernya sebagai winger di Manchester United. Pada 1968, Best menyandang gelar sebagai pesepak bola terbaik di Eropa.

Kofi Pare, salah satu pemain langganan timnas Ghana pada dekade 1960-an, mengatakan langkah Ghana memboikot Piala Dunia 1966 disesalkan para pemain. Setelah menyaksikan berjalannya laga-laga di Piala Dunia, Pare merasa Ghana bakal bisa berbicara banyak jika lolos ke babak kualifikasi. Apalagi, tim berjuluk Bintang Hitam itu baru memenangi dua Piala Afrika secara beruntun. 

"Saya kira kami adalah salah satu tim terbaik ketika itu. Jika kami ikut serta dalam Piala Dunia, kami bisa saja sampai ke laga final atau bahkan memenangkannya," ujar Pare. 

Ilustrasi penonton Piala Dunia 2018 di Rusia. /Foto Reuters

Senjata politik

Boikot jadi senjata politik jelang Piala Dunia 1974 di Jerman. Pada November 1973, timnas Uni Soviet menolak hadir di laga kedua melawan timnas Cile yang direncanakan digelar di Estadio National. Pada laga perdana sekitar dua bulan sebelumnya Uni Soviet ditahan imbang 0-0 di Moskow.

Keputusan Soviet memboikot Piala Dunia dipengaruhi situasi politik di Cile. Ketika itu, Pinochet yang didukung AS baru berkuasa setelah mengkudeta pemerintahan Salvatore Allende. Tak lama setelah kudeta, Soviet memutus hubungan diplomatik dengan Cile.

Soviet berdalih menolak hadir di Estadio Nasional karena stadion itu dijadikan salah satu lokasi penahanan tawanan politik di Chile. Kawat-kawat intelijen melaporkan tahahan politik di stadion itu disiksa secara brutal.

Meski tanpa kehadiran pemain Uni Soviet, timnas Cile hadir di Estadio Nacional di Kota Santiago. Wasit meniup peluit dan laga dimulai. Setelah menjebol gawang yang kosong, pertandingan pun berakhir.

"Tim itu melakukan hal yang paling konyol. Laga itu bikin malu Cile di dunia internasional," kenang Carlos Caszely, salah satu pemain Cile yang hadir dalam laga dagelan itu.

Meskipun beda jenis kompetisi, taktik serupa dijalankan AS pada 1980. AS memboikot Olimpiade Musim Panas di Moskow sebagai protes terhadap invasi Afghanistan oleh pasukan Soviet setahun sebelumnya. 

Langkah AS diikuti 65 negara lainnya. Total hanya ada 80 negara yang mengirimkan atletnya untuk berpartisipasi di Olimpiade Moskow. 

Ketika itu, AS menuntut Soviet menarik pasukannya dari Afghanistan. Selain boikot, AS mengancam memberlakukan sanksi ekonomi dan militer jika tuntutan itu tak dipenuhi.

Soviet menolak tunduk. Perang Soviet-Afghanistan pun berlangsung hingga lebih dari satu dekade. 
Pada 1984, Soviet membalas dendam. Partai Komunis Soviet memerintahkan semua republik di bawah Soviet memboikot Olimpiade Musim Panas yang digelar di Los Angeles, AS.

Ilya Somin, profesor di bidang hukum dari George Mason University di Virginia, AS, mengatakan kampanye boikot rutin terjadi di negara-negara penggelar ajang-ajang olahraga bertaraf global yang punya catatan merah terkait HAM. Boikot diharapkan mampu mendorong negara-negara "bermasalah" itu berbenah. 

Boikot, lanjut Somin, juga kerap digelar lantaran event-event olahraga berskala besar kerap digunakan rezim di suatu negara untuk ajang propaganda.

"Sebagai alat bagi pemerintah yang jadi tuan rumah, sebagaimana terjadi pada propaganda Nazi Jerman pada 1936, Uni Soviet pada 1980, dan rezim Vladimir Putin pada (Olimpiade Musim Dingin) 2014," jelas Somin seperti dikutip dari The Week.

David Golblatt, jurnalis olahraga kawakan, menilai boikot jarang efektif. Ia menyebut satu-satunya kampanye boikot yang efektif ialah terhadap rezim apartheid di Afrika Selatan pada dekade 1960-an.

"Kesuksesan itu butuh banyak hal, di antaranya aliansi global para aktor, tuntutan politik dan olahraga yang terperinci, dan dukungan dari para penentang politik apartheid di Afrika Selatan," tulis Golblatt.

Berita Lainnya
×
tekid