sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Ancaman golput dan silent voters dalam pemilu

Golput dan silent voters sama-sama menjadi ancaman terhadap kedua kubu dalam Pemilu 2019.

Nanda Aria Putra
Nanda Aria Putra Selasa, 16 Apr 2019 09:01 WIB
Ancaman golput dan silent voters dalam pemilu

Bersembunyi dalam kerumuman

Selain fenomena golput, dalam pemilu ada pemilih galau (swing voters) dan yang menyembunyikan pilihannya (silent voters). Di saat semua orang berlomba-lomba mengabarkan ia memilih Joko Widodo atau Prabowo Subianto di media sosial, silent voters justru diam seribu bahasa.

Biasanya mereka bekerja di institusi pemerintah. Salah seorang yang tak mau mengungkapkan pilihannya di media sosial adalah Yuli, bukan nama sebenarnya. Selain berprofesi sebagai penulis, kini Yuli bekerja sebagai petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS).

Kepada reporter Alinea.id, meski masih pesimis dengan dua pasangan calon, ia lebih cenderung memilih Jokowi. Ada alasan mengapa Yuli menyembunyikan pilihannya alias memposisikan diri sebagai silent voters.

“KPPS gue hampir 80% memilih kubu 02,” katanya saat dihubungi, Senin (15/4).

Yuli mengakui, masih banyak utang pemerintahan Jokowi, terutama menuntaskan kasus hak asasi manusia. Namun, aktivis 1998 ini tetap berat mendukung Jokowi lagi, ketimbang Prabowo.

“Indonesia butuh sosok untuk mengubah mindset, jadi motivator untuk anak-anak muda. Tidak harus jadi militer, anak pejabat, atau anak bekas presiden di masa lampau untuk bisa berkarier di politik,” ujarnya.

Rahma, bukan nama sebenarnya, yang berprofesi sebagai pegawai negeri sipil juga masih menyembunyikan pilihannya kepada orang lain. Selain alasan ada aturan pemerintah yang mewajibkan PNS netral dalam pemilu, ia juga tak ingin mengumbar pilihannya itu.

Sponsored

“Tapi namanya manusia pasti tetap saja bakalan memihak ke salah satu paslon,” ujar Rahma saat dihubungi, Senin (15/4).

Rahma mengaku, akan mencoblos pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno pada 17 April 2019 nanti. Ia mengatakan, agak takut mengumbar pilihannya itu secara terang-terangan.

“Kalaupun ada aspirasi politik yang ingin saya utarakan, biasanya saya berdiskusi dengan keluarga ataupun teman dekat, dengan intonasi dan tutur kata yang netral. Tidak sebagai pendukung garis keras,” katanya.

Hal senada diungkapkan Sukma, juga bukan nama sebenarnya. Salah seorang PNS di sebuah institusi pemerintah ini harus menutup rapat-rapat pilihannya. Justru dengan diam dan memantau, menurut Sukma, ia semakin tahu mana orang yang benar-benar bijaksana, paham politik, ataupun yang golput.

“Dari sini gue pribadi justru bisa jadi lebih rasional untuk enggak fanatik calon 01 dan enggak terlalu ngerendahin calon 02,” kata Sukma.

Sukma mengatakan, orang-orang terdekatnya mengetahui pilihan politiknya, yakni memilih Jokowi. Terkadang, meski berseberangan pilihan, kata dia, respons yang didapat lebih kepada gurauan daripada perdebatan.

“Kalau sedikit yang tahu itu, bahkan kalau berseberangan sama pilihan dengan dia, ya paling kita cengcengan (saling ledek) aja satu sama lain,” tuturnya.

Petugas mengangkat kotak suara untuk didistribusikan ke sejumlah Panitia Pemungutan Suara (PPS) di gudang logistik Komisi Pemilihan Umum (KPU) Solo, Jawa Tengah, Senin (15/4). Alinea.id/Antara Foto.

Menguntungkan oposisi?

Pengamat komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing mengatakan, silent voters bisa datang dari beragam profesi. Ia menuturkan, belum ada penelitian yang mengidentifikasi hal ini.

“Bisa saja dia profesor, tukang becak, atau petani,” kata Emrus saat dihubungi, Senin (15/4).

Silent voters, sebut Emrus, hanya persoalan budaya. Kata dia, ada tiga alasan seseorang tak mau diketahui pilihannya. Pertama, karena tak nyaman untuk menyatakan dukungan ke salah satu kubu. Kedua, karena memang merahasiakannya dari siapa pun. Ketiga, sebenarnya ia adalah pendukung militan salah satu pasangan, tetapi tak mau diketahui militansinya.

Sementara itu, pakar komunikasi politik dari Universitas Paramadina Hendri Satro mengatakan, fenomena silent voters secara jumlah belum bisa diketahui.

“Karena bisa banyak banget,” kata dia saat dihubungi, Senin (15/4).

Menurutnya, konstestasi pilpres saat ini suara perhitungan cepat belum bisa dijadikan acuan untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemenang. Hendri mengatakan, para silent voters itu belum ingin diketahui pilihan mereka dalam pemilu.

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Developing Counties Studies Center (DCSC) Zaenal Budiyono menuturkan, kekuatan silent voters tak bisa diketahui lantaran ketika disurvei mereka tak menjawab pilihannya.

“Alasanya beragam, mulai dari alasan personal, keamanan, hingga melihat tren di sosial media,” katanya saat dihubungi, Senin (15/4).

Menurut dia, silent voters punya kekuatan yang cukup besar untuk menentukan arah hasil pemilihan. Ia mencontohkan kasus Pilkada DKI Jakarta 2017, yang mempertemukan pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat dan Anies Baswedan-Sandiaga Salahuddin Uno. Hasil pertarungan tersebut, hasil akhir pemilihan mampu menjungkalkan hasil survei.

“Sejumlah lembaga survei mengakui ‘gangguan’ silent voters ini, sehingga membuat hasil surveinya jauh dari realitas,” ucapnya.

Lebih lanjut, dosen Universitas Al-Azhar Indonesia ini mengatakan, melihat kasus Pilkada DKI Jakarta 2017 itu, banyak silent voters digerakkan warga biasa, bukan elite politik. Ia menuturkan, sebelumnya petahana dianggap terlalu kuat dan tak tergoyahkan, tetapi akhirnya kalah.

“Artinya ada ‘agenda bersama’ yang tidak terbaca oleh pollster (lembaga survei), karena bukan agenda partai atau elite. Tapi ini agenda masyarakat biasa,” kata Zaenal.

Zaenal berpendapat, bila melihat tren yang ada di negara lain, silent voters cenderung menguntungkan pihak oposisi.

Kemunculan silent voters, katanya, juga dapat dipengaruhi menyempitnya ruang partisipasi politik yang dimiliki warga, dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 atau Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang telah banyak memakan korban.

“Banyak voters (pemilih) yang khawatir bila mereka menunjukkan pilihannya secara terbuka. Akhirnya, mereka menyembunyikan pilihannya. Termasuk ke lembaga survei,” ujar Zaenal.

Berita Lainnya
×
tekid