sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Balada surat dan kotak suara pada Pemilu 1955

Sejumlah perusahaan menawarkan pembuatan kotak suara pada Pemilu 1955.

Fandy Hutari
Fandy Hutari Senin, 31 Des 2018 15:10 WIB
Balada surat dan kotak suara pada Pemilu 1955

Beberapa waktu lalu, kotak suara berbahan kardus—karton kedap air, yang akan digunakan untuk menampung surat suara pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 mendatang, menjadi polemik. Sejumlah politikus angkat bicara.

Kubu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mengatakan, kotak suara kardus rentan masalah keamanan. Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah pun sempat melontarkan kritik pedas kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Dia mengatakan, KPU kurang inovatif. Menurutnya, Pemilu rawan kecurangan, seperti perusakan kotak suara dan pembongkaran kotak suara.

Sementara itu, KPU berdalih kotak suara berbahan kardus itu sudah melalui berbagai pertimbangan. Ketua KPU Arief Budiman menjelaskan, kotak suara berbahan kardus memiliki beberapa keuntungan, seperti biaya produksi lebih murah, kepraktisan dalam distribusi, dan proses penyimpanan yang mudah.

Kotak suara Pemilu memang harus aman dari kerusakan dan kecurangan. Sebelum berganti menjadi berbahan kardus, kotak suara punya cerita di setiap zamannya.

Tender kotak suara

Ilustrasi lokasi dan tata cara Pemilu 1955. (Mimbar Indonesia, 24 September 1955).

Pada 1955, Indonesia menggelar Pemilu untuk kali pertama. Waktu itu, Pemilu dihelat dua kali, yakni pemilihan anggota parlemen pada 29 September 1955 dan pemilihan anggota konstituante pada 15 Desember 1955.

Firman Lubis mengisahkan dalam bukunya Jakarta 1950-an: Kenangan Semasa Remaja, ratusan partai berdiri menjelang Pemilu, sebagai akibat dari maklumat pemerintah 3 November 1945, yang menganjurkan masyarakat mendirikan partai politik.

“Selain berdasarkan ideologi tertentu, seperti nasionalis, komunis, atau agama, ada juga yang namanya aneh-aneh, misalnya ada Partai Maung, Partai Semar, dan beberapa lainnya lagi,” tulis Firman dalam bukunya.

Firman menulis, waktu itu bentuk kampanye terbanyak berwujud coretan atau tempelan gambar partai di ruang publik, seperti di pohon, tiang listrik, tiang bambu, becak, opelet, dan tembok.

“Bentuknya cukup sederhana, banyak yang dibuat dengan tulisan atau gambaran tangan saja, di atas kertas, tripleks atau tampah seadanya saja,” tulis Firman.

Pada 4 April 1953, disahkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 atau Undang-Undang Pemilu. Pemerintah lalu membentuk Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), sekarang disebut KPU.

Menurut Faishal Hilmy Maulida dalam bukunya Di Balik Bilik Suara: Konstruksi Pemilu Pertama di Indonesia, 1953-1956, PPI dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 188 Tahun 1953 tertanggal 7 November 1953. Lalu, diputuskan S. Hadikusumo sebagai Ketua PPI.

Untuk melaksanakan Pemilu, tentu dibutuhkan logistik penunjang. Salah satunya kotak suara.

Maka, pada 28 Agustus 1954, surat lampiran perusahaan-perusahaan yang menawarkan pembuatan kotak suara diterima PPI. Selain dari Jakarta, perusahaan-perusahaan dari kota lain, seperti dari Solo, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya, ikut tender ini.

Surat penawaran itu tercantum dalam ANRI, Inventaris Arsip Sekneg KPM, No. Arsip: 1913. Ada 35 perusahaan yang mengajukan penawaran.

Mulai dari harga, durasi penyelesaian, hingga bahan yang digunakan, diajukan perusahaan-perusahaan untuk merayu PPI. Menariknya, ada pula perusahaan yang menawarkan pembuatan kotak suara, yang dikerjakan mantan pejuang perang.

Misalnya, Perseroan Dagang Indonesia di Jakarta, yang akan mengerjakan pembuatan kotak suara oleh 250 bekas pejuang, dengan harga satu kotak Rp70; dan Usaha Pejuang Republik Indonesia di Jakarta yang menawarkan pembuatan kotak oleh 80.000 orang bekas pejuang.

Bahan kotak suara macam-macam. Perusahaan industri dan dagang Phang Sing Kian di Jakarta menawarkan kotak berbahan seng, dengan harga Rp350, dan diproduksi 250 buah setiap hari. Ada pula yang menawarkan bahan balok, kayu (tanpa keterangan kayu jenis apa), dan kayu jati.

Bahan kayu jati, antara lain ditawarkan Tunggal Kharya Trading Coy di Jakarta sebanyak 100.000 kotak dalam waktu lima bulan. Pembuatannya dilakukan secara manual, satu buah dihargai Rp85 dan bisa disalurkan ke Jawa Barat, Jawa Tengah, serta Jawa Timur.

Lalu, perusahaan Gret Indonesia Corporation Ltd yang menawarkan peti dari kayu jati, bisa dikerjakan 14 hari dan sanggup memproduksi 3.000 buah sebulan.

Kemudian, ada Firma Kelana di Jakarta yang menawarkan peti berbahan kayu jati tua dengan produksi 2.000 buah sebulan. Terakhir ada NV Djati Agung Ltd di Jakarta, yang menawarkan pembuatan kotak suara dengan produksi 300 hingga 400 buah, harga per kotak Rp70 hingga Rp75.

Meski tak ada informasi perusahaan mana yang menang tender pembuatan kotak suara untuk Pemilu 1955, namun sejarah mencatat, kotak suara berbahan kayu jati yang dipilih untuk Pemilu 1955.

Pencurian dan dugaan korupsi

Di dalam bukunya Di Balik Bilik Suara: Konstruksi Pemilu Pertama di Indonesia, 1953-1956, Faishal menulis, jumlah surat suara yang disediakan saat itu 43.104.464, dengan pembagian 29.882.413 orang pemilih di Jawa dan 13.222.051 orang di luar Jawa.

Walau Pemilu 1955 secara umum dikatakan lancar, tapi ada beberapa kasus yang menyita perhatian. Kasus pertama, pencurian surat suara menjelang Pemilu.

Faishal mencatat, pencurian surat suara tercatat dalam laporan polisi Jakarta Raya yang dibuat Inspektur Polisi Dua Soetojo. Pelakunya bernama Djanawin bin Nali. Pada 27 Agustus 1955, dia ditangkap, karena hendak menjual surat suara Pemilu.

Presiden Sukarno melakukan pemungutan suara pada Pemilu 1955. (Mimbar Indonesia, 8 Oktober 1955).

Djanawin merupakan pegawai yang ditugaskan menjaga keamanan gedung Percetakan Negara, yang menjadi tempat mencetak surat suara. Pada 26 Agustus 1955, dia mencuri surat suara di garasi mobil kantor tersebut.

“Keesokan harinya, kertas itu dijual kepada seorang pedagang Tionghoa, Lauw It Tjoen (35 tahun). Menurut Lauw it Tjoen dalam keterangannya kepada polisi setempat, Djanawin datang kepadanya 27 Agustus 1955 siang, sekira pukul 11.30 dengan membawa setumpuk kertas untuk dijual kepadanya dan ketika ditimbang ternyata kertas itu sejumlah 2 kilogram,” tulis Faishal.

Lebih lanjut, Faishal menulis, meski melakukan pembelaan, Djanawin tetap dijerat hukum. Atas perbuatannya, pada 4 November 1955 Pengadilan Negeri Djakarta menjatuhkan hukuman bui 5 bulan dikurangi waktu selama dia berada dalam sel.

Satu lagi kasus menyoal surat suara yang menghebohkan adalah korupsi. Pada Agustus 1956, Wakil Direktur Percetakan Negara Lie Hok Thay dituding menggelapkan uang PPI sebesar Rp3 juta. Penggelapan itu dia peroleh dari ongkos cetak kartu suara Pemilu.

Menurut David T. Hill dalam buku Jurnalisme dan Politik Indonesia: Biografi Kritis Mochtar Lubis (1922-2004), pada 13 Agustus 1956 harian Indonesia Raya melaporkan Roeslan terlibat korupsi dengan menerima nikmat keuangan dari Hok Thay.

Pagi hari, 13 Agustus 1956, dua jam sebelum Roeslan terbang ke London, dia ditangkap atas perintah Panglima Divisi Siliwangi, Kolonel Alex Kawilarang. Namun, ada intervensi dari Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo, sehingga penangkapan itu dibatalkan, dan Roeslan berangkat ke London. Pemerintah pun membebaskan Roeslan dari tuduhan korupsi itu pada Agustus 1956.

Kembali ke persoalan kotak suara berbahan kardus, menurut mantan Komisioner KPU Ferry Kurnia Rizkiyansyah, bahan itu sudah digunakan dalam Pilkada 2015, 2017, dan 2018.

Usai Pemilu 1955, lembaga yang mengurus Pemilu 1971 dan seterusnya, tetap menggunakan kayu sebagai bahan kotak suara. Meski tak bisa dipastikan terbuat dari kayu jati atau kayu jenis lainnya. Bahan alumunium baru diperkenalkan pada Pemilu 2004.

Berita Lainnya
×
tekid