sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Benarkah Indonesia krisis BBM dan air bersih pada 2025?

Prabowo mengungkapkan segala permasalahan bangsa. Salah satu yang disinggung adalah masalah ketahanan energi dan air bersih.

Robi Ardianto Laila Ramdhini
Robi Ardianto | Laila Ramdhini Rabu, 02 Jan 2019 22:06 WIB
Benarkah Indonesia krisis BBM dan air bersih pada 2025?

Krisis air bersih?

Wakil Ketua TKN Joko Widodo-Ma’ruf Amin, Abdul Kadir Karding memberikan tanggapan menyoal krisis air bersih yang disinggung Prabowo. Menurutnya, data yang disampaikan Prabowo salah, lemah, dan menyesatkan.

Karding mengatakan, di era pemerintahan Joko Widodo, hutan sebagai penyangga air reboisasinya semakin baik. Selain itu, pembakaran hutan berhenti total, dan populasi hutan yang dimiliki perusahaan semakin berkurang.

“Kemudian air-air yang ada, misalnya bendungan, sudah termanfaatkan dan dikelola secara baik. Jadi, sudahlah kita tidak usah percaya lagi (omongan Prabowo). Karena track record-nya sejak awal soal data pasti keliru,” kata Karding, ketika dihubungi, Rabu (2/1).

Embung Pandanduri di Nusa Tenggara Barat. (www.facebook.com/KemenPUPR).

Sementara itu, menurut Direktur Indonesia Water Institute Firdaus Ali, sebenarnya krisis air bersih memang sudah terjadi saat ini di hampir seluruh daerah di Indonesia. Hal itu terlihat dari aksesibilitas air bersih bagi masyarakat yang sangat minim. Sedangkan pembangunan bendungan dan embung pun sangat lamban dilakukan.

Firdaus mengatakan, kendala saat ini adalah kapasitas fiskal pemerintah sangat terbatas, baik pusat maupun daerah, untuk menyediakan sistem penyediaan air minum. Dalam empat tahun terakhir, baru terbangun empat bendungan di seluruh Indonesia.

Sponsored

“Kita lambat membangun infrastruktur. Contohnya di Jakarta ada 13 sungai, tapi tidak ada satupun yang layak untuk air minum,” kata Firdaus, saat dihubungi, Rabu (2/1).

Selain itu, kata Firdaus, pemerintah daerah juga tidak menjadikan penyediaan air bersih sebagai prioritas. Akibatnya, tidak ada upaya terintegrasi antara pusat dan daerah, untuk memproduksi sekaligus mendistribusikan air bersih.

“Bahkan 60% perusahaan daerah air minum (PDAM) sebagai pengelola air juga dalam kondisi tidak sehat,” katanya.

Di sisi lain, pada September 2018, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengklaim, selama lima tahun terakhir peningkatan akses air minum sekitar 4,5% per tahun. Hingga 2017, menurutnya, capaian layanan air minum baru sekitar 72% atau hanya naik sedikit dari 2014.

Basuki memprediksi, untuk mencapai 100% akses aman air minum diperlukan biaya yang sangat besar, sekitar Rp253,8 triliun, dengan komposisi 20% dari APBN dan 80% non-APBN. Mengingat keterbatasan dana APBN, maka skema kerja sama pendanaan dari BUMN dan BUMD sangat diperlukan untuk meningkatkan akses layanan air minum bagi masyarakat.

Basuki mengatakan, untuk penyediaan air bersih ini, Kementerian PUPR sudah memiliki program untuk membangun beberapa sistem penyedian air minum (SPAM), yaitu SPAM regional, SPAM kawasan perkotaan, SPAM kawasan khusus, SPAM kawasan rawan air, dan SPAM berbasis masyarakat.

Sementara, Kepala Sub Direktorat Air Minum dan Limbah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Eko Wiji Purwanto dalam laman Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (Pamsimas) mengatakan, Indonesia menargetkan akses 100% air bersih pada 2019.

Eko mengatakan, Bappenas selaku perumus kebijakan ini sudah mendapat masukan dari Kementerian PUPR, yang memiliki program 100-0-100 atau 100% akses air minum, 0% kumuh, dan 100% akses sanitasi.

Eko menambahkan, pengertian 100% yaitu pemenuhan aksesibilitas air bersih sebesar 85% bagi masyarakat, dengan angka 60 liter per hari. Sisanya, 15% untuk standar minimal, yaitu 15 liter per orang per hari.

Selain itu, dalam 100% ini juga diturunkan lagi menjadi dua, yaitu 60% jaringan perpipaan dan 40% nonperpipaan. Perpipaan ini juga tidak semuanya PDAM, ada SPAM perdesaan dan SPAM khusus.

“Jadi 100% itu tidak seolah-olah semua dapat yang sama. Minimal punya air bersih untuk makan dan minum. 100-0-100 itu gampangnya tidak ada orang yang mati karena air,” kata Eko, dikutip dari laman Pamsimas.

Eko mengatakan, target ini sudah disimulasikan oleh Bappenas. Dari hasil simulasi tersebut, pada 2019 tidak lebih dari 12 provinsi yang bisa mencapai komposisi 85-15, dari target 100% tersebut. Provinsi di Kalimantan atau Sulawesi akan sulit untuk mencapainya.

Sehingga, menurut Eko, program 100-0-100 merupakan sasaran antara Indonesia menuju the sustainable development goals (SDG) 2030, yaitu berupa akses aman dan layak air minum 100%.

Menanggapi hal itu, Firdaus Ali mengatakan, program 100-0-100 itu sebetulnya dicanangkan pemerintah sebelum era Joko Widodo. Kemudian, pemerintah Jokowi mengadopsinya, tanpa melakukan evaluasi.

“Sekarang biarkan target sudah terlanjur tinggi, yang penting harus bisa dicapai. Tapi kenyataannya, layanan air bersih memang sangat rendah sekali. Penambahannya tidak sampai 2% per tahun,” kata dia.

Lebih lanjut, Firdaus mengatakan, solusi yang bisa dilakukan pemerintah dalam tatanan kebijakan adalah segera merampungkan Revisi Undang-Undang Sumber Daya Alam. Dia mengatakan, kebijakan ini akan menjadi payung hukum yang penting bagi pengelolaan dan penyediaan air bersih, dari pusat sampai daerah.

“Saat ini masih ada 164 daftar inventaris masalah yang harus disepakati dalam RUU SDA tersebut. Setelah UU ini jadi, harapannya penyediaan air bersih bisa melibatkan swasta, karena terkait modal dan sumber daya manusia,” ujar Firman.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid