sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Debat kedua soal pangan agar bukan sekedar janji

Capres dan cawapres bersama timnya hendaknya mampu menggali dan mengidentifikasi akar masalah pangan.

Mona Tobing Eka Setiyaningsih
Mona Tobing | Eka Setiyaningsih Senin, 11 Feb 2019 17:38 WIB
Debat kedua soal pangan agar bukan sekedar janji

Dalam hitungan hari, debat kedua calon presiden (capres) akan berlangsung. Salah satu tema debat yang akan diselenggarakan pada Minggu (17/2) adalah pangan. 

Tema pangan menjadi hal yang penting karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Kedua capres bisa dibilang sama unggulnya, apabila berdiskusi terkait pangan, sebab keduanya punya latar belakang mumpuni terkait pangan. 

Sebagai petahana, Joko Widodo (Jokowi) akan lebih mudah (mungkin) untuk menjawab pertanyaan soal tantangan, rencana kerja di sektor pangan dan target produksi pangan. Berdasarkan pengalaman kerja lima tahun, Jokowi tentu punya rancangan kerja sektor pertanian ke depan. 

Sementara penantangnya, Prabowo Subianto yang pernah menjadi Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) pun diprediksi tidak akan sulit untuk menguraikan persoalan pertanian dan mengemukakan gagasan pertanian.

Apabila ditelisik berdasarkan visi misi calon presiden dan calon wakil presiden pada sektor pangan, kedua pasangan calon masih berkutat pada rencana mewujudkan ketersediaan pangan bagi seluruh masyarakat. Pencapaian swasembada pangan menjadi jualan umum yang disampaikan kedua paslon. 

Fokusnya masih bagaimana menghasilkan dan mengekspor komoditas pangan. Misalnya, pada calon pasangan nomor urut 02 Prabowo kerap menyebut rencananya untuk tidak akan melakukan impor seperti: beras, gula dan garam. 

Sedangkan calon pasangan nomor urut 01 kerap sesumbar menyebut swasembada pangan yakni beras telah tercapai, melalui ekspor beras premium. Selebihnya kedua paslon masih berkutat dengan saling menyerang soal impor, harga beras dan nasib petani. 

Janji calon presiden terkait bidang pangan./Alinea.id
 

Saling serang atas isu tersebut mencerminkan kalau kedua paslon belum memiliki konsep ketahanan pangan yang kuat. Pada tahap ini bisa dikategorikan kondisi berbahaya, sebab konsep swasembada pangan hanya terletak pada bagaimana fokus meningkatkan produksi untuk mencapai swasembada. 

Ketersediaan pangan pada tingkat nasional tidak secara langsung menjamin ketahanan pangan pada level individu dan rumah tangga. Rumah tangga yang dapat menikmati pangan harus memiliki sumberdaya ekonomi seperti: pendapatan yang cukup untuk dapat menikmati pangan. 

Permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia soal pangan juga soal distribusi pangan, keamanan dan pungutan liar. Hal yang biasa dianggap kalau ongkos mengirim barang mahal meskipun antar pulau, dibandingkan impor. 

Persoalan inilah yang dilemparkan Prabowo dalam debat pertama capres dan cawapres. Saat mantan Danjen Kopasus menyebut kalau di dunia ada 200 negara dimana 30 negara sangat berhasil. Menurut Prabowo ciri khas negara tidak berhasil adalah gagal dalam swasembada pangan. 

Menanggapi hal tersebut, Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah menilai pernyataan Prabowo tidaklah tepat. 

"Seharusnya belum berhasil. Kalau menggunakan kata tidak berhasil seakan-akan kita tidak punya harapan ke sana," kata Rusli.

Rusli menyarankan kalaupun swasembada pangan yang diprioritaskan, maka yang diprioritaskan adalah karbohidrat. Hal ini sejalan dengan pola konsumsi masyarakat yang masih didominasi oleh karbohidrat (sebagai negara berkembang). Sumber karbohidrat yang harus diperhatikan adalah beras dan gandum. 

Sementara Indonesia masih 'ngos-ngosan' memenuhi kebutuhan beras, gandum yang menjadi sumber karbohidrat kedua justru pemenuhannya dilakukan dengan cara impor. Padahal gandum bisa menjadi dewa penolong bagi masyarakat golongan bawah dalam menyediakan asupan karbohidrat. 

Ketika tidak bisa makan beras, gandum bisa menjadi bantalan memenuhi kebutuhan pangan bagi kelompok miskin. Sayangnya, produksi gandum belum dapat memenuhi kebutuhan nasional. Sehingga jalan keluarnya adalah impor dan dampaknya pada defisit neraca perdagangan Indonesia. 

Sementara sumber karbohidrat lain selain beras dan gandum semisal jagung, singkong, dan sagu. Menurut Rusli cara untuk Indonesia bisa kembali mencapai swasembada pangan dengan dua cara. 

Pertama, dari sisi suplai. Kedua, menyediakan lahan pertanian abadi, mekanisme pertanian, dan membuka lahan baru. Sementara dari sisi demand, diversifikasi konsumsi sumber pangan.
 

Lalu apa yang diharapkan masyarakat dalam debat kedua nanti? Pakar pertanian Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Totok Agung Dwi Haryanto menyarankan agar para calon presiden tidak lagi mengobral janji, namun obral program-program yang jelas, realistis, dan terukur dalam memecahkan akar masalah pangan.

Masyarakat sekarang dinilai sudah lebih cerdas dalam menilai mana janji yang benar dan mana janji yang tidak benar. 

"Ada baiknya capres dan cawapres banyak menggunakan kata 'Insya Allah', karena janji hanya akan bisa direalisasikan apabila ada izin dari Allah," katanya.

Capres dan cawapres bersama timnya hendaknya mampu menggali dan mengidentifikasi akar masalah pangan tersebut. Bukan hanya akar masalah yang berkaitan dengan produksi dan harga yang terjangkau tetapi akar masalah yang berhubungan dengan hak petani untuk menikmati kesejahteraan. 

Selain itu, kata Totok kandidat hendaknya mampu merumuskan kebijakan yang komprehensif, integral, holistik, dan dijabarkan dalam strategi serta program yang jelas, realistis dan terukur. 

"Siapa yang akan melakukan atau melaksanakan program tersebut, bagaimana caranya, dan kapan dilaksanakan," pungkas Totok. 
 

Berita Lainnya
×
tekid