sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Hak politik warga binaan penyandang disabilitas mental

Penyandang disabilitas mental juga memiliki hak politik untuk memilih calon pemimpin negara lima tahun ke depan.

Robertus Rony Setiawan
Robertus Rony Setiawan Rabu, 17 Apr 2019 19:19 WIB
Hak politik warga binaan penyandang disabilitas mental

Simulasi dan sosialisasi

Ditemui di Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 3, Daan Mogot, Jakarta Barat, Kepala Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 3, Sarimah menuturkan, pihaknya menjamin agar setiap warga binaan dapat ikut memberikan hak pilihnya. Hal ini terkait dengan kesamaan hak warga negara dalam pemilu.

“Sama seperti warga normal lainnya, pemilihan umum ini menjadi hak untuk warga binaan sosial ini,” ujarnya saat ditemui di Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 3, Daan Mogot, Jakarta Barat, Rabu (17/4).

Pembagian daftar calon pemilih di setiap TPS di panti ini diatur berdasarkan urutan abjad nama depan warga binaan. Sebelumnya, kata Sarimah, nama-nama itu dirangkum sesuai data daftar pemilih tetap dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Jakarta Barat.

Satuan Pelaksana Pembinaan Sosial Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 3, Budiman mengatakan, setiap warga binaan yang akan mencoblos mengenakan kaus dengan warna khusus yang dibedakan untuk masing-masing TPS.

Warga binaan yang akan menggunakan hak pilihnya di TPS 022, menggunakan kaus berwarna ungu. Sementara itu, warga binaan di TPS 126 mengenakan kaus jingga, kaus hijau untuk di TPS 128, dan merah muda di TPS 127.

Pembedaan itu, kata Budiman, untuk memudahkan warga binaan dalam mencoblos. Cara itu juga untuk melengkapi sosialisasi yang sudah dilakukan pihak KPU Kota Jakarta Barat dan KPU Provinsi DKI Jakarta sejak beberapa bulan lalu.

Sejumlah warga binaan penyandang disabilitas mental menuju ke TPS. Alinea.id/Robertus Rony Setiawan.

Sponsored

“Kami dari panti memberikan simulasi kepada warga binaan. Kami arahkan di mana saja titik-titik lokasi TPS-nya. Jadi kami pastikan, pemilih itu tidak salah masuk TPS,” ujar Budiman, ditemui di lokasi yang sama.

Simulasi dan sosialisasi juga dilakukan di Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 2 di Cipayung, Jakarta Timur. Di sini, pihak panti sudah menggelarnya sebanyak tiga kali bekerja sama dengan lembaga lain.

Pada 29 Januari 2019, sosialisasi kepada para warga binaan dilakukan petugas KPU Kota Jakarta Timur. Lalu, KPU Provinsi DKI Jakarta juga memberikan penjelasan tata cara pencoblosan pada 5 Maret 2019. Terakhir, pada 11 April 2019 pihak panti bekerja sama dengan relawan disabilitas dan petugas KPU Kota Jakarta Timur, dilakukan sosialisasi dan pendidikan pemilih bagi penyandang disabilitas.

Kepala Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 2, Tuti Sulistyaningsih mengatakan, warga binaan yang menggunakan hak pilihnya berdasarkan data pemilih tetap, yang dihimpun petugas KPPS Kelurahan Cipayung.

“Kami memberikan data nama warga binaan sosial kepada KPPS Cipayung. Ini termasuk mereka yang tambahan dari luar panti dan formulir A5,” kata Tuti saat ditemui di Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 2 Cipayung, Jakarta Timur, Rabu (17/4).

Menurut Tuti, pihaknya juga memberikan formulir A5 untuk digunakan warga binaan sosial dari panti lainnya, seperti Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 1 dan 3. Formulir A5 merupakan salah satu syarat untuk pemilih yang akan nyoblos di TPS berbeda dari TPS asal sesuai dengan alamat e-KTP atau tempat terdaftar sebagai pemilih.

Tuti melanjutkan, formulir A5 menjadi perhatian khusus pihaknya, lantaran sebagian besar penghuni Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa berasal dari luar wilayah Jakarta.

Perlu penanganan khusus

Seorang warga binaan penyandang disabilitas mental dibantu petugas tengah memasukan surat suara. Alinea.id/Robertus Rony Setiawan.

Dihubungi terpisah, Kepala Pusat Kajian Pembangunan Sosial Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Hempri Suyatna mengatakan, fasilitasi dan pemenuhan hak memilih bagi masyarakat penyandang disabilitas mental menunjukkan sebuah pengakuan negara terhadap keberadaan mereka.

Hal ini, menurutnya, positif karena tidak terjadi perlakuan diskriminatif. Namun, Hempri mengingatkan, soal kemungkinan mobilisasi suara untuk kepentingan kelompok politik tertentu.

“Soal memilih itu kan soal rasionalitas. Artinya, ketika masyarakat dengan gangguan jiwa dikhawatirkan akan hanya sekadar ngikut arahan,” kata Hempri saat dihubungi, Rabu (17/4).

Penulis buku Relasi Kekuasaan: Telaah Pemikiran Antonio Gramsci dalam Konteks Politik Indonesia Kontemporer (2006) ini mengatakan, perlu sosialisasi secara intensif, dan dilakukan pendekatan berbeda.

“Sehingga mereka benar-benar tahu siapa yang mau dipilih,” katanya.

Hempri menyebut, metode ceramah kurang efektif dalam menyampaikan informasi kepada penyandang disabilitas mental. Pola sosialisasi dengan simulasi atau permainan, kata dia, akan jauh lebih cocok dan mengena.

“Yang melakukan sosialisasi pun harus punya kapasitas menyelami mereka yang punya gangguan jiwa,” tuturnya.

Sementara itu, psikolog klinis Sherly Saragih Turnip mengatakan, tidak semua penyandang disabilitas mental memiliki keterhambatan kemampuan, sehingga berkesempatan untuk memberikan suara dalam pemilu. Beberapa kondisi yang baik itu, misalnya, saat penyandang disabilitas mental tak sedang mengalami gejolak jiwa atau kambuh.

Untuk mencegah penyalahgunaan suara mereka, Sherly memandang, pentingnya dilakukan pemeriksaan kesehatan sebelum seorang penyandang disabilitas mental dinyatakan siap memilih.

“Kapasitas dan kemampuan mereka untuk memilih harus dinilai dengan tepat oleh pihak yang kompeten, dan memiliki pengetahuan mengenai gangguan yang dialami,” ujarnya.

Berita Lainnya
×
tekid