sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Hantu golput dan kampanye politik superfisial 

Di Pilpres 2019, kelompok jomblo politik alias golput juga menghantui.

Robi Ardianto Ayu mumpuni Christian D Simbolon
Robi ArdiantoAyu mumpuni | Christian D Simbolon Kamis, 24 Jan 2019 15:24 WIB
Hantu golput dan kampanye politik superfisial 

Sejak Joko Widodo (Jokowi) menginjakkan kaki di kancah politik Ibu Kota pada awal 2012, Putra Aditya sudah langsung jatuh hati pada mantan Walikota Solo itu. Meskipun hanya sesekali bertemu via layar kaca, Adit hakul yakin Jokowi orang yang tepat memimpin DKI Jakarta. 

Terlebih, ketika itu Jokowi menggandeng Basuki Tjahaja Purnama (BTP) untuk maju di Pilgub DKI 2012. Menurut Adit, pasangan Jokowi-Ahok tampak relatif bersih dari dosa politik masa lalu ketimbang pasangan-pasangan lainnya.  

"Gue bahkan sempet kampanye kecil-kecilan ngajakin keluarga sama temen-temen milih mereka," kata Adit saat berbincang dengan Alinea via sambungan telepon, Kamis (24/1)

Pada perhelatan Pilpres 2014, Jokowi memutuskan mencalonkan diri sebagai presiden menggandeng Jusuf Kalla sebagai pendampingnya. Meskipun pencalonan Jokowi-JK terkesan berbau pragmatisme politik, Adit mengaku masih bersama Jokowi. "Gue masih nyoblos Jokowi juga waktu itu," ujar pemilik KTP berdomisili di Jakarta Timur itu.  

Namun, Adit memilih untuk masuk golongan putih (golput) di Pilpres 2019. Keputusan Jokowi memilih mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma'ruf Amin di menit-menit akhir pendaftaran pasangan calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres) disebut Adit sebagai penyebabnya. 

"Banyak sih alasannya, tapi yang terakhir itu bikin enggak sreg aja. Kesannya dipaksain banget. Jokowinya juga jadinya kayak enggak punya pendirian gitu. Udah ke Mahfud, terus tiba-tiba berubah. Itu terlepas dari persoalan-persoalan lainnya ya," ujar dia. 

Pencalonan pasangan Jokowi-Ma'ruf memang menuai polemik. Pasalnya, Jokowi sempat dikabarkan 99% bakal meminang mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD sebagai pendamping. Kabar itu pun sudah diamini oleh Mahfud. 

Pada hari pencalonan, Mahfud bahkan sudah menyiapkan CV dan seragam yang akan digunakan bersama Jokowi saat mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tragisnya, pencalonan Mahfud kandas setelah Jokowi malah mengumumkan Ma'ruf sebagai pendamping. Belakangan, Mahfud mengungkap pencalonannya gagal karena manuver politik kubu Ma'ruf. 
  
Jika Adit sudah mantap masuk barisan golput, aktivis lingkungan asal Bali Wayan Gendo Suardana mengaku masih gamang. Pilihannya dua: antara memilih Jokowi-Ma'ruf atau golput. Pasangan Prabowo-Sandi sama sekali tidak ia lirik. 

Sponsored

"Kalau Prabowo kan rekam jejaknya sudah jelas ya. Susah mencari kelebihan dia di atas semua kekurangannya," ujar Gendo saat dihubungi Alinea.id. 

Gendo merupakan satu dari sekian banyak aktivis lingkungan yang menolak reklamasi Teluk Benoa, Bali. Reklamasi itu buah dari dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 51 Tahun 2014 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di akhir masa jabatannya. Seperti pada Pilpres 2014, SBY kini juga berada di barisan pengusung Prabowo.

Di sisi lain, menurut Gendo, Jokowi sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan proyek reklamasi Teluk Benoa saat maju di Pilpres 2014.  "Nah, titik penyelesaian kasus Teluk Benoa ada di Perpres Nomor 51 Tahun 2014. Artinya aktor pencabutnya adalah presiden. Itulah kenapa gerakan Bali tolak reklamasi saat (Pilpres 2014) itu menjatuhkan pilihan pada Jokowi," jelas Koordinator ForBali itu.  

Namun demikian, menjelang akhir kekuasaannya pada periode pertama, Jokowi belum juga menunjukkan sikap terkait reklamasi Teluk Benoa. Gendo mengaku, ia dan rekan-rekannya masih menunggu Jokowi mengambil langkah politik dan hukum terkait nasib Telok Benoa hingga hari-H pencoblosan. 

"Rasanya masih ada waktu yang cukup untuk Pak Jokowi meyakinkan bandul pilihan politik saya dan kawan-kawan bergeser mendekati beliau. Saya yakin banyak warga negara yang posisi politiknya seperti saya. Tidak lagi berpikir memilih Prabowo, tetapi berpikir memilih Jokowi atau tidak sama sekali," ujarnya. 

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana mengatakan, apa pun alasannya golput bukan tindak pidana dan tidak dilarang. Golput, kata Arif, merupakan perwujudan ekspresi politik dari publik yang merasa tak terwakili dalam kontestasi politik para elite. 

"Kedaulatan setiap warga negara untuk menentukan sikap dan ekspresi politiknya. Dan memilih tidak berarti harus memilih satu atau dua. Memilih itu bisa dengan opsi lain. Dan saya pikir opsi untuk tidak memilih adalah pilihan," cetusnya. 

Potensi golput 

Fenomena golput kembali mengemuka setelah sejumlah mahasiswa mendeklarasikan pembentukan kelompok Saya Milenial Golput (SMG), pertengahan Januari lalu. Koordinator SMG Bagas Deny Saputra mengatakan, SMG bentuk kekecewaan terhadap kampanye politik tak sehat yang kerap dipertontokan kedua kubu, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. 

"Kami sekumpulan anak muda yang masih bingung, yang resah. 'Nanti gua pilpres pilih siapa ya? Tapi kok kampanyenya kayak gini semua ya?' Enggak ada tuh yang nonjolin dia bakal ngapain, yang lain bakal ngapain," ujar Bagas. 

Jumlah pemilih milenial dalam Pemilu 2019 diperkirakan mencapai sekitar 40% dari total nama yang ada di daftar pemilih tetap (DPT) yang dirilis KPU. Jika jumlah DPT sebesar 185.732.093, maka jumlah pemilih milenial sekitar 74 juta orang. 

Golput memang bukan fenomena baru. Pada gelaran Pilpres 2014, tercatat sebanyak 30,42% pemegang hak pilih golput karena beragam alasan. Angka itu naik dari jumlah golput pada Pilpres 2009 yang mencapai 27,43%. 

Golput juga menghantui Pilpres 2019. Dalam survei yang dirilis awal Januari lalu, Indikator Politik Indonesia (IPI) mencatat jumlah golput mencapai 1,1% atau naik tipis dari survei serupa yang digelar pada Oktober 2018. Ketika itu, angka golput hanya 0,9%. 

Namun demikian, menurut Direktur Eksekutif IPI Burhanuddin Muhtadi, jumlah golput bisa mencapai 20%. Pasalnya, angka swing voters dan undecided voters masih cukup tinggi, yakni 14% dan 9,2%. Golongan pemilih yang masih ragu itu diprediksi bakal turut menyumbang angka golput. 

Dampak elektoral 

Pengamat politik CSIS Arya Fernandez mengatakan, hantu golput harus diwaspadai oleh kedua kubu jelang pencoblosan. Pasalnya, golput bisa menggerus basis politik para kandidat. Di sisi lain, penyelenggaraan pemilu pun menjadi kurang berkualitas jika jumlah golput tinggi. 

"Golput bisa terjadi karena pemilih tidak melihat ada inovasi politik capres atau tidak suka terhadap kebijakan capres. Yang perlu diperhatikan kedua kubu, pemilu itu adalah ruang bagi pemilih untuk memberikan reward atau punishment kepada petahana terkait kinerja petahana," ujarnya. 

Senada, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin mengatakan, kedua kubu punya tugas berat untuk meyakinkan kelompok pemilih yang masih ragu untuk tidak bergabung di barisan golput. 

"Harus mampu meyakinkan mereka. Bahwa politik itu akan berdampak pada nasib mereka untuk lima tahun mereka. Berikan program-program yang realistis yang dapat membuat mereka menikmati program-program tersebut suatu saat nanti," ujar dia. 

Lebih jauh, Ujang meminta agar api gerakan golput 'dipadamkan' sebelum membesar. Menurut dia, golput bukan gerakan politik yang positif dan minim muatan edukasi.   

"Golput memang hak individu, tapi jangan ditularkan ke orang lain. Sayang jika suara yang dimiliki masyarakat tidak digunakan karena sejatinya tidak ada kebijakan di negeri ini bahkan di dunia ini yang tidak melalui proses politik," tutur dia. 

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil mengatakan sudah saatnya para kandidat menyudahi kampanye superfisial dan fokus menyajikan agenda kerja dan program yang konkret. 

"Kandidat harus menunjukkan pengetahuannya dan pemahaman soal problem masyarakat dan bangsa ke depannya," imbuh Fadli. 

Di sisi lain, Fadli mengatakan, penyelenggara pemilu pun punya tanggung jawab menjaga agar api golput tak menyebar ke mana-mana.  Terlebih, KPU menargetkan partisipasi pemilih sekitar 77,5% dari total DPT pada Pilpres 2019.  

Namun demikian, ditegaskan Fadli, hak untuk golput pun tetap harus diakomodasi. "Karena memilih itu hak, tetaplah semua berpulang pada pemilih itu sendiri sebagai pemilik kedaulatan," tandasnya. 


 

Berita Lainnya
×
tekid