sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kabar hoax yang meresahkan jelang Pemilu 1955

Hoax (berita bohong) muncul menjelang Pemilu 1955. Di antaranya hoaks peracunan di beberapa daerah di Jawa Tengah.

Fandy Hutari
Fandy Hutari Senin, 25 Mar 2019 14:26 WIB
Kabar hoax yang meresahkan jelang Pemilu 1955

Berita bohong atau hoaks seolah-olah menjadi salah satu musuh utama menjelang Pemilu 2019. Berulang kali, dalam beberapa kesempatan, Presiden Joko Widodo mengingatkan agar masyarakat melawan segala bentuk hoaks.

Bukan sesuatu aneh bila Jokowi kerap mengulang kalimatnya perihal hoaks. Sebab, mantan Gubernur DKI Jakarta ini acapkali disudutkan dengan hoaks.

Saat ini, hoaks tersebar secepat kilat melalui media sosial, dalam bentuk teks, video, atau gambar.

Dalam sebuah laporannya, Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebut, terdapat 771 konten hoaks selama Agustus 2018 hingga Februari 2019. Dari jumlah tersebut, 181 konten hoaks terkait isu politik, yang menyerang kedua pasangan calon presiden ataupun partai politik.

Masih segar dalam ingatan, salah satu berita bohong yang membuat resah adalah tentang tujuh kontainer berisi surat suara yang sudah tercoblos di Tanjung Priok, Jakarta. Hoaks ini menyebar pada 2 Januari 2019 di media sosial.

Selain itu, pada Februari 2019 lalu, beredar video hoaks tiga emak-emak di Karawang, Jawa Barat, yang menyebut akan ada larangan azan bila Jokowi terpilih lagi jadi presiden.

Klenik dan pembunuhan

Hoaks pun pernah menyebar menjelang Pemilu 1955, yang digelar pada 29 September 1955 (memilih anggota DPR) dan 15 Desember 1955 (memilih anggota Konstituante).

Indonesianis dan profesor ilmu politik kelahiran Austria Herbert Feith pernah mengunjungi Indonesia, untuk meriset dan melakukan pandangan mata saat Pemilu 1955. Hasil risetnya itu dipublikasikan menjadi buku berjudul Pemilihan Umum 1955 di Indonesia (1999).

Feith mengungkap, ada berita bohong yang menyebar di masyarakat desa menjelang pencoblosan 29 September 1955. Berita bohong ini dikaitkan dengan mitos dan klenik, tak masuk akal dan berlebihan.

Rapat umum ketetapan Panitia Pemilihan Indonesia pada 1 Maret 1956 di sebuah gedung olahraga di Jakarta. /Parluangan, 1956/Repro buku Di Balik Bilik Suara.

Misalnya, Feith mengatakan, menyebarnya berita bohong soal pendaratan kapal selam, orang-orang kulit putih yang turun dari gunung-gunung, hingga serangan bala tentara siluman berpakaian kuning.

“Dari beberapa daerah di Jawa, muncul cerita mengenai penjaja jimat yang menawarkan ramuan-ramuan kekebalan khusus untuk pemilu, pedagang yang menimbun barang, dan di beberapa tempat terpencil penduduk berebut ke rumah gadai,” tulis Feith dalam bukunya.

Sayang sekali, Feith tak menulis kelanjutan kisah ini. Mengenai siapa aktor yang menyebar kabar bohong itu, adakah pelaku yang ditangkap, dan apa pengaruhnya di masyarakat, tak ada informasi lebih jauh.

Selain itu, ada pula hoaks tentang pembunuhan banyak anggota partai di daerah Tasikmalaya, Jawa Barat. Laporan soal pembunuhan itu diterbitkan di dalam Harian Umum edisi 30 September 1955, sehari usai pencoblosan tahap pertama.

Harian Umum menulis laporan berdasarkan sumber-sumber tak resmi di daerah-daerah Cigalontang, Leuwisari, dan Singaparna.

“Minggu-minggu terakhir ini sudah ada banyak orang terutama para anggota Masyumi, GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia), PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), dan Nahdlatul Ulama yang tewas karena dibunuh,” tulis Harian Umum, 30 September 1955.

Desas-desus pembunuhan ini, menurut Harian Umum, membuat puluhan orang ketakutan dan mengungsi ke Bandung karena merasa tak aman di kampung halamannya. Harian Umum menulis, berdasarkan kabar yang diterima koran terbitan Surabaya ini, 34 orang sudah tewas.

Bisa jadi berita ini adalah hoaks. Sebab, Harian Umum hanya menerima laporan dari sumber-sumber tak resmi dan mengakui ragu dengan informasi ini. Disebutkan juga, Gubernur Jawa Barat Sanusi Hardjadinata dan Panglima Tentara Teritorium III/Siliwangi Alex Evert Kawilarang yang pernah datang langsung ke Tasikmalaya, tak menerima laporan apa pun perkara pembunuhan-pembunuhan itu.

Peracunan makanan dan minuman

Dari beberapa berita bohong yang menyebar dan dipercaya sejumlah orang, perkara peracunan makanan dan minuman yang paling menimbulkan kegaduhan sosial.

Surat kabar Harian Umum edisi 23 September 1955 melaporkan di Pemalang, Jawa Tengah, pada 18 September 1955 ketika penduduk tengah melakukan latihan pemungutan suara ada 19 orang menjadi korban keracunan, usai membeli makanan dan minuman. Sebanyak 17 orang dinyatakan meninggal dunia, dan 2 lainnya tertolong.

“Juga di daerah Brebes terjadi peracunan bahan makanan dan minuman semacam itu. Sehingga 23 orang menjadi korban, 2 orang yang dituduh melakukan peracunan ini, kini telah ditahan oleh yang berwajib,” tulis Harian Umum, 23 September 1955.

Menurut artikel pendek berjudul “Peratjunan Bahan Makanan dan Minuman” di Harian Umum edisi 23 September 1955, tidak jelas jenis makanan dan minuman apa yang diberi racun. Meski demikian, tulis Harian Umum, belum diketahui motif apa yang melatarbelakangi aksi peracunan makanan itu.

“Namun mengingat bahwa hal itu terjadi ketika penduduk sedang melakukan latihan pemungutan suara, orang mudah menghubung-hubungkan kejadian itu dengan pemilihan umum dan mungkin pula kejadian itu dianggap sebagai intimidasi,” tulis Harian Umum, 23 September 1955.

Partai Komunis Indonesia (PKI) melalui surat kabar yang terafiliasi mereka, Harian Rakjat, menurunkan berita peracunan makanan ini pada 28 September 1955. Judulnya, yakni “Kaum Reaksi Main Ratjun untuk Mengatjau” terkesan menyudutkan kelompok tertentu.

“Sekarang ini banyak dilakukan usaha peracunan secara luas, dengan maksud-maksud yang jelas untuk mengacaukan pemilu,” tulis Harian Rakjat, 28 September 1955.

Menurut Harian Rakjat, peracunan itu terjadi di beberapa wilayah Jawa Tengah, seperti Brebes, Tegal, Pemalang, Comal, Pekalongan , Batang, dan Bumiayu.

Lebih bombastis dari media cetak lainnya, Harian Rakjat menulis penduduk Comal sudah 300 orang yang harus mendapatkan perawatan di rumah sakit, dan 16 orang lainnya meninggal dunia. Racun itu, sebut Harian Rakjat, bukan saja ditabur di makanan-makanan yang dijual di pasar, tetapi juga ke dalam sumur-sumur warga.

Media corong PKI ini bahkan menyimpulkan tiga tujuan para pelaku peracunan. “Pertama, secara langsung mengurangi jumlah pemilih dari pihak lawan-lawan mereka,” tulis artikel di dalam Harian Rakjat, 28 September 1955.

Kedua, menurut Harian Rakjat, secara tak langsung mengintimidasi dan menakut-nakuti rakyat kalau sumur mereka ditinggal untuk mencoblos, mungkin akan diracun orang. Ketiga, untuk mengacaukan pemilu.

Harian Rakjat secara tak langsung menuduh lawan politiknya, Masyumi, merupakan dalang peracunan-peracunan ini. Mereka mendasarkan arah tuduhan itu dari keterangan pihak kepolisian Pemalang, yang pernah memergoki tiga orang yang menumpang bus Tegal-Pemalang.

Kemudian, di dalam bus, tiga orang ini membagi-bagi pekerjaan tentang siapa yang akan meracuni tempe siapa yang akan meracuni daging, dan sebagainya.

Antrean rakyat melakukan pencoblosan. /Repro buku Di Balik Bilik Suara.

“Sudah mengaku bahwa dia disuruh oleh Kiai Mahfud yang tinggal di Kauman, Brebes. Sekarang sedang diselidiki apakah Kiai Mahfud itu dari sesuatu partai politik, terutama Masyumi,” tulis Harian Rakjat.

Tuduhan Harian Rakjat yang notabene media corong PKI ini, disinggung oleh Herbert Feith. Menurutnya, sejumlah partai dituding meracuni makanan tersebut. Lalu, dituduh menebar desas-desus tidak benar itu.

Desas-desus menyoal peracunan makanan terlanjur menyebar nyaris ke seluruh Jawa. Feith menulis, ketakutan tersebut membuat sejumlah penjaja makanan di berbagai daerah di Jawa dipukuli. Kabinet pun membahas masalah ini panjang-lebar.

Sampai-sampai Lembaga Bakteriologi Eijckman di rumah sakit umum pusat di Jakarta (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo), selama empat hari menerima 600 contoh makanan yang dianggap diracun.

“Tapi ternyata tidak satupun yang mengandung racun,” tulis Feith.

Menurut Feith, penyebab utamanya desas-desus peracunan ialah ketegangan yang ditimbulkan keadaan sosial.

Datang ke TPS karena takut

Pada Pemilu 1955, tingkat partisipasi politik pemilih saat pemilihan anggota parlemen mencapai 91,4%, dengan angka golput hanya 8,6%. Untuk sebuah negara yang baru pertama kali melaksanakan pemilu, tentu angka partisipasi ini sangat tinggi.

Namun, Feith melihat gejala khas yang terjadi saat itu. Menurut dia, ada rasa takut para pemilih, terutama di desa.

“Penduduk desa di berbagai wilayah percaya memberikan suara itu wajib, dan orang yang tidak memberikan surat akan mendapat hukuman berat,” tulis Feith dalam bukunya.

Di tempat-tempat lain, pemilih takut dimarahi pejabat desa, bila tak berangkat ke tempat pemungutan suara (TPS). Mereka pun ada yang takut dimarahi pemimpin-pemimpin partai, yang sudah susah-payah menyambangi mereka untuk minta suara.

Beragam hoaks menjelang Pemilu 1955 beredar di masyarakat.

“Tapi, yang mungkin lebih penting daripada rasa takut seperti ini ialah kuatnya perasaan di kalangan penduduk desa bahwa ikut pemilu adalah kewajiban sosial,” ujar Feith. Mereka takut dikucilkan atau mendapat kecaman sosial jika tak ikut mencoblos.

Feith menyaksikan hal tak biasa saat hari pencoblosan. Sejak pukul 7 pagi, sudah banyak orang berkumpul di setiap TPS. Menurut Feith, semua keluarga datang, termasuk orang-orang tua yang sakit dan anak-anak, perempuan yang hamil tua, bahkan ada yang melahirkan di TPS.

Lucunya, masih banyak pemilih yang bingung ketika pencoblosan. Saking bingungnya, mereka bukan melubangi surat suara, tapi mencoblos tanda gambar pada daftar calon yang ditempel di dinding bilik pemungutan.

Berita Lainnya
×
tekid