sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Mengungkap gaya kepemimpinan Jokowi dan Prabowo

Kandidat yang dapat mengendalikan emosi dan menguasai materi dianggap berhasil menguasai panggung debat.

Eka Setiyaningsih
Eka Setiyaningsih Minggu, 31 Mar 2019 04:35 WIB
Mengungkap gaya kepemimpinan Jokowi dan Prabowo

Debat keempat pemilihan presiden atau Pilpres 2019 yang mempertemukan calon presiden nomor urut 01, Joko Widodo dan calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto baru saja usai. Namun dari debat itu, terungkap gaya kepemimpinan dari masing-masing kandidat capres. 

Pakar bahasa tubuh berbasis sains, Monica Kumalasari, mengatakan debat capres merupakan panggung mengatur kecerdasan emosi. Artinya, kandidat yang dapat mengendalikan emosi dan menguasai materi dianggap berhasil menguasai panggung debat.

Calon presiden Prabowo Subianto dinilai Monica kurang menguasai materi. Selain itu, mantan Danjen Kopassus itu juga kurang bisa mengendalikan emosinya. Ini terlihat dari nada bicaranya yang cukup tinggi. Ditambah dengan gestur tubuhnya yang menggambarkan perasaannya yang meluap-luap.

“Gerakan spontanitas dari beliau seperti tangan menunjuk-nunjuk, tangan di pinggang, dan pernyataan ‘jangan ketawa’ layaknya orang sedang marah. Kalau di lihat dari gesturnya, Prabowo lebih banyak menujukkan luapan emosinya,” kata Monica saat dihubungi Alinea.id di Jakarta pada Minggu, (31/3).

Menurut Monica, orang awam pun bisa merasakan dan melihat bahwa Prabowo sering meluapkan emosinya. Seperti ucapan Prabowo dalam debat keempat pada Sabtu malam (30/3) yang menganggap kekuatan pertahanan Indonesia sangat rapuh dan lemah. Pernyataan Prabowo itu sontak disambut gelak tawa oleh pendukung capres Jokowi.

"Jangan ketawa. Kenapa kalian ketawa? Pertahanan Indonesia rapuh kok kalian ketawa. Lucu ya? Kok lucu," kata Prabwowo menanggapi gelak tawa para pendukung capres 01 itu.

Monica mengatakan, kemarahan Prabowo tersebut jika dianalogikan dalam proses pembelajaran pengasuhan interaksi antara orang tua dengan anak, Prabowo merupakan sosok pemimpin yang menggambarkan tipe leadership fatherhood. Ini merupakan tipe kepemimpinan yang sudah usang atau zaman dulu. 

"Kalau parenting dulu kan kalau anak salah dimarahi, dipukuli tidak apa-apa. Kalau anak-anak saat ini tidak bisa dikerasin. Artinya, Prabowo menggunakan gaya kepemimpinan otoriter yang dulu," kata Monica.

Sponsored

Hal ini diperkuat dengan pemilihan kata yang digunakan Prabowo semisal, ‘Jika Prabowo-Sandi berkuasa'. Kemudian didukung dengan gestur tangannya yang menunjuk-nunjuk seperti memberikan sebuah instruksi. 

"Saya ingat dulu waktu kecil, dimarahi dan dipukul pakai penggaris saat tidak mengerjakan tugas. Beda dengan sekarang," ucap Monica.

Berbeda dengan calon presiden nomor 01, Joko Widodo dinilai lebih bisa menguasai emosinya. Jokowi juga menunjukkan kepemimpinan dengan tipe leadership fatherhood yang kekinian. Jokowi menganggap bahwa anaknya sebagai teman, karena itu mendidiknya tidak bisa dengan cara kekerasan.

Artinya, lanjut Monica, Jokowi menilai bahwa rakyatnya merupakan mitra. Hal ini tercermin saat debat keempat ketika Jokowi menggunakan kata ‘saudara-saudara’.

"Ilmu parenting berkembang dan gaya kepemimpinan juga berkembang. Artinya, capres harus melihat perkembangan zaman juga," kata Monica.

Pengalaman vs diksi

Lebih lanjut, kata Monica, dalam memberikan pemaparan Prabowo lebih mengutamakan me theory.  Artinya, Prabowo sering menggunakan pengalaman terdahulu untuk melengkapi pernyataannya. Sementara, capres nomor urut 01 menggunakan pengalamannya saat ini dengan modal data dan fakta di lapangan. Pernyataan Jokowi pun dilengkapi dengan data-data.

"Jadi di segmen ini, Pak Prabowo banyak menggunakan me theory. Pengalaman beliau dipakai untuk kondisi yang seharusnya terjadi, dia juga memberikan gestur manipulatif, serta tidak menjawab pertanyaan Pak Jokowi," ujar Monica.

apres nomor urut 01 Joko Widodo dan capres nomor urut 02 Prabowo Subianto usai mengikuti debat capres putaran keempat di Hotel Shangri La, Jakarta.

Pengalaman terdahulu yang digunakan Prabowo, kata Monica, sama seperti yang dilakukan calon wakil presiden nomor urut 02, Sandiaga Uno, saat debat ketiga pilpres pada Minggu (17/3). 

“Orang bisa seperti itu karena tidak riset banyak. Bahkan, Prabowo sendiri mengakui sendiri bahwa blusukannya lebih sedikit dibandingkan Sandi. Karena sumbernya tidak banyak, jadi Prabowo kasih contohnya dari pengalamannya sendiri," ucap Monica.

Selanjutnya, menurut Monica, ada yang menarik dari pemakaian me theory yang dipilih Prabowo. Monica menitikberatkan pada pernyataan-pernyataan yang dilontarkan Prabowo yang dinilai ada rasa traumatik, sehingga mengeneralisir keadaan dahulu dengan zaman sekarang.

Itu terlihat ketika Prabowo menyoroti anggaran untuk pertahanan dan keamanan Indonesia yang dianggapnya sangat kecil dibandingkan negara lain. Juga pernyataan Prabowo yang menyayangkan laporan yang diterima Jokowi bahwa dalam 20 tahun yang akan datang tidak terjadi perang terbuka.

"Nah, di situ Prabowo menggunakan lagi me theory dengan menjelaskan saat dirinya menjadi letda yang mendapat pengarahan dari jenderal-jenderalnya dalam 20 tahun tidak ada perang, ternyata setahun setelah pengarahan itu atau 1975 perang di Timtim meletus,” kata Monica.

Artinya, pengalaman tersebut menjadi kekhawatiran Prabowo bahwa perang terbukan tak menutup kemungkinan akan kembali terjadi. 

"Jadi gini, dibilang 20 tahun tidak ada perang. Ternyata ada suatu hal terjadi di luar dugaan. Nah itulah yang dikhawatirkan Prabowo,” ujar Monica.

Sementara kandidat lain, Monica menilai unsur emblem kembali diperlihatkan oleh Jokowi. Emblem yang dimaksud merupakan sebuah lambang atau gaya bahasa yang dimaksudkan sengaja dilontarkan untuk menciptakan kesan kepada lawan atau penonton yang menyaksikan debat keempat tersebut.

Menurut Monica, diksi Dilan atau Digital Melayani yang disampaikan Jokowi sangat menarik. Terlebih Dilan yang juga mengacu pada sebuah film itu saat ini amat digandrungi oleh remaja. Monica menilai, cara Jokowi menyampaikan diksi Dilan merupakan upaya kampanye untuk menggaet suara milenial.

Artinya, kata Monica, Jokowi berusaha menanggalkan kesan zaman dulu dan beralih ke zaman sekarang agar mudah diingat oleh masyarakat, terutama kalangan milenial. Monica menambahkan, cara Jokowi memainkan diksi ini sama seperti yang digunakan calon wakil presiden KH Ma’ruf Amin pada debat ketiga pilpres. 

“Calon wakil presiden Ma’ruf Amin menggunakan emblem verbal dengan diksi 10 years challenge. Secara spesifik diucapkan untuk merayu kalangan milenial. Karena kita lihat di medsos muncul tagar 10 years challenge," ujar Monica.  

Berita Lainnya
×
tekid