sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

PR calon presiden di bidang agraria

Walhi mencatat pada tahun 2019, ada 555 konflik agraria yang kasusnya masih mangkrak.

Rakhmad Hidayatulloh Permana
Rakhmad Hidayatulloh Permana Selasa, 12 Feb 2019 16:32 WIB
PR calon presiden di bidang agraria

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), berharap pemerintah baru kelak bisa menyelesaikan masalah konflik agraria yang belakangan marak terjadi. Tidak peduli siapa pun yang menang, baik pasangan calon Prabowo Subianto-Sandiaga Uno atau Joko Widodo-Ma’ruf Amin.

Manager Kampanye Keadilan Iklim Eksekutif Walhi, Yuyun Harmono mengatakan, tercatat hingga tahun 2019, ada 555 konflik agraria yang kasusnya masih mangkrak.

“Sebagian besar yang terjadi di perkebunan. Jadi dari 555 itu ada 306 kasus, yang terjadi di perkebunan dan ini PR (Pekerjaan Rumah) besar yang harus diselesaikan untuk pemerintah selanjutnya,” kata Yuyun pada Selasa (12/2).

Dia mencontohkan, kasus konflik agraria terbaru tentang kriminalisasi yang dialami oleh para petani sawit di Kecamatan Pasangkayu, Sulawesi Tengah. Para petani dikriminalisasi oleh Astra Agro Lestari (AAL) yang menguasai lahan seluas 98.177 Ha.

Padahal, menurutnya, dalam hal ini para petani kecil ini dilibatkan dalam proses pemanfaatan lahan sawit tersebut. Selain itu, Walhi juga menuntut insentif atau subsidi yang biasanya diberikan pemerintah kepada korporasi sawit, ketika harga minyak sawit turun.

Idealnya, subsidi diperuntukkan bagi para petani sawit kecil.  

“Yang kedua, kami menggugat insentif yang diberikan pemerintah dalam korporasi, pertama insentif itu diberikan dalam bentuk peraturan Menkeu, nomor 105 tahun 2018 yang sudah diterbitkan pada tanggal 4 Desember kemarin, ini terkait dengan potongan pemungutan sawit,” terang Yuyun.

Menurutnya, gembar-gembor pemerintah menyoal industri sawit yang diklaim produktif tersebut, justru berbanding terbalik dengan kesejahteraan masyarakat di sekitar area lahan.

Sponsored

Apalagi, belakangan program pemerintah soal bagi-bagi sertifikat tanah tersebut, juga dikesankan sebagai pencitraan, karena ketimpangan penguasaan lahan antara korporasi dan masyarakat itu masih ada.

Berita Lainnya
×
tekid