sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Prabowo dan halusinasi kuasa

Prabowo mengklaim kemenangan berdasarkan real count internal.

Nanda Aria Putra
Nanda Aria Putra Kamis, 18 Apr 2019 20:53 WIB
 Prabowo dan halusinasi kuasa

Data internal

Mencermati deklarasi kemenangan Prabowo dan hasil perhitungan cepat yang berbeda, pakar komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing mengatakan, klaim itu sah-sah saja dilakukan pihak mana pun yang tengah berkompetisi.

Bagi Emrus, pidato yang disampaikan Prabowo lebih kepada pernyataan politik yang ditujukan untuk pendukungnya, dengan mengeluarkan data yang dimiliki internal kubunya. Ia mengatakan, masing-masing kubu memiliki data sendiri, yang menjadi acuan.

“Hanya saja yang harus kita perhatikan adalah bagaimana data itu diproses, dan jika berdasarkan riset, bagaimana metodologinya,” katanya saat dihubungi, Kamis (18/4).

Ia menuturkan, dalam kompetisi politik, hitung cepat bisa dilihat dari dua sisi, yakni akademis dan kepentingan politik. Bila survei itu dilihat dari sisi akademis, kata dia, maka harus jelas antara hasil dan metode risetnya.

“Tapi kalau dari sisi politik yang penting adalah hasilnya,” ujarnya.

Emrus mengatakan, dalam konteks pidato Prabowo, hasil survei harus dilihat dari sisi politis. Ia melanjutkan, seringkali yang menjadi perbincangan di tengah masyarakat menyoal hasil dari survei tersebut, hanya berupa angka-angka. Padahal, menurutnya, metode penelitian lebih penting.

“Kalau metodologi risetnya disampaikan dan dilakukan dengan benar, pasti hasilnya baik. Tapi, kalau hasilnya saja yang disampaikan tanpa menyebutkan metode penelitian yang digunakan atau sebaliknya, itu bisa kita pertanyakan secara akademis,” katanya.

Sponsored

Lebih lanjut, Emrus menghimbau masyarakat kritis dan cerdas dalam melihat hasil riset yang dikeluarkan lembaga survei. Dengan mengetahui metode riset yang digunakan lembaga survei, kata dia, publik bisa mengukur wajar atau tidaknya hasil yang diperoleh dari riset itu.

Survei kredibel

Founder & CEO Alvara Research Center Hasanuddin Ali menyampaikan paparan saat rilis elektabilitas Capres dan Cawapres di Jakarta, Jumat (12/4). /Antara Foto.

Emrus mengatakan, dari beberapa lembaga survei yang ia perhatikan, meski ada perbedaan, tetapi tak terlalu signifikan. Menurutnya, masih dalam taraf margin of error, dan dapat dibenarkan.

Sementara itu, staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Reni Suwarso mengatakan, lembaga riset yang kredibel bisa dilihat dari apakah lembaga itu terdaftar di KPU atau tidak. Selain terdaftar di KPU, menurut Reni, lembaga survei juga harus menyebutkan secara transparan nama lembaga, pendiri, pemodal, dan pemegang saham.

“Karena lembaga survei itu bisa independen dan dimodali, bisa melakukan survei juga dengan dimodali partai,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (18/4).

Ia melanjutkan, kredibel atau tidaknya sebuah lembaga survei juga harus dilihat dari metode riset yang sering digunakan, seperti metode wawancara mendalam, observasi, atau pengambilan sampling.

“Untuk itu harus dipahami, kalau kita ambil samplenya di kantong-kantong 02, ya dia yang menang. Kalau di kantong-kantong 01, dia yang menang. Jadi enggak boleh sembarangan,” katanya.

Reni menjelaskan, bila kubu Prabowo-Sandi tak menyebutkan nama lembaga dan metode survei yang digunakan, hasilnya tak bisa dipercaya. “Tidak usah didengarkan karena tidak dapat dipercaya, tidak mengikuti aturan,” ujarnya.

Di sisi lain, Reni mengatakan, hasil hitung cepat hanya bisa dijadikan acuan atau prediksi semata. Hitungan manual yang dikeluarkan KPU, kata Reni, menjadi satu-satunya yang bisa jadi patokan untuk melihat hasil pasti kompetisi politik lima tahunan ini.

Delusif?

Warga menunjukkan jarinya yang telah dicelupkan tinta usai memberikan hak suaranya dengan latar poster Calon Presiden petahana nomor urut 01 Joko Widodo di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (17/4). /Antara Foto.

Psikolog Yayasan Pulih, Ahastari Nataliza atau akrab disapa Liza angkat bicara mengenai pidato kemenangan Prabowo. Menurutnya, ada penyangkalan dari Prabowo terhadap hal-hal yang ia yakini benar. Hal ini, kata Liza, wajar dan bisa terjadi pada semua orang.

“Hampir semua orang pasti sulit nerima kenyataan yang beda dengan yang diyakininya,” katanya saat dihubungi, Kamis (18/4).

Namun, ia mengatakan, dalam jangka waktu tertentu seseorang akan dapat menerima kembali realitas yang sesungguhnya terjadi. Liza melanjutkan, penyangkalan dapat terjadi karena pada dasarnya manusia memiliki keinginan agar sesuatu terjadi sesuai cita-citanya.

“Butuh kematangan emosional dan kedewasaan untuk bisa nerima proses ini,” ucapnya.

Dihubungi terpisah, psikolog Sandi Kartasasmita mengatakan, kondisi saat seseorang meyakini sesuatu, padahal orang lain mengatakan salah, dan individu tersebut tidak mau berubah pikirannya, gejala ini disebut delusif.

Hanya saja, kata dia, bila seseorang memperkuat keyakinannya dengan data-data, meski berbeda dengan data yang lain, ada unsur sosial yang memperkuat keyakinan yang keliru itu.

“Dalam hal ini, artinya bukan delusional. Bahasa gampangnya, dibohongi,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (18/4).

Namun, ia mengatakan, seseorang benar-benar mengalami delusi atau tidak, harus dicek secara berkala. Sandi menuturkan, setiap individu punya kondisi yang berbeda-beda. “Apa yang menjadi penyebabnya? Ini yang perlu dicaritahu oleh yang bersangkutan langsung,” ujar Sandi.

Hal senada disampaikan Liza. Ia menjelaskan, dalam ilmu psikologi, seseorang harus melakukan pemeriksaan secara khusus untuk mengetahui mengalami gejala delusi atau tidak. Bisa jadi, ia hanya salah berpikir atau bias informasi.

Liza mendefinisikan bias informasi sebagai kecenderungan bagi orang-orang untuk mencari bukti-bukti yang mendukung pendapat atau kepercayaannya, serta mengabaikan bukti-bukti yang menyatakan sebaliknya.

“Kesalahan pemikiran ini menyebabkan penarikan kesimpulan yang salah dan merintangi pembelajaran yang efektif,” ucapnya.

Ia mengatakan, sebutan yang tepat untuk konteks ini adalah denial atau penyangkalan. Menurut Liza, denial sering terjadi pada seseorang yang baru kehilangan anggota keluarganya yang baru meninggal. Mereka menganggap anggota keluarga bukan meninggal, tetapi hanya pergi jauh.

“Namun lambat laun biasanya seseorang akan dapat menerima kondisi yang sebenarnya. Kalau yang (Pemilu) 2014, walaupun awalnya sulit menerima, tapi pada akhirnya bisa menerima,” katanya.

Liza menyimpulkan, mungkin saja Prabowo adalah tipikal individu yang reaktif dalam menyikapi berbagai momen. “Mungkin memang tipikalnya demikian. Responnya reaktif saja,” ujarnya.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid