sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Putusan OSO ujian integritas Bawaslu 

Bawaslu bakal memutuskan gugatan sengketa administratif yang diajukan OSO, Rabu (9/1) besok.

Robi Ardianto
Robi Ardianto Selasa, 08 Jan 2019 14:47 WIB
Putusan OSO ujian integritas Bawaslu 

Sengketa pencalonan Ketua Umum Partai Hanura Osman Sapta Odang (OSO) sebagai anggota DPD RI menuju babak akhir. Jika tidak ada aral melintang, Bawaslu RI bakal memutus gugatan dugaan pelanggaran administrasi yang diajukan OSO, Rabu (9/1) besok. 

Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Donal Fariz menilai putusan atas sengketa yang diajukan OSO bakal menjadi batu ujian bagi integritas Bawaslu. Ia berharap Bawaslu bisa melepaskan diri dari tekanan dan konsisten melahirkan keputusan yang adil. 

"Saat memutuskan mantan napi korupsi masih punya hak politik, Bawaslu berpegang pada putusan MK. Pertanyaan dan pertaruhannya, apakah argumentasi yang sama akan dipakai oleh Bawaslu RI dalam perkara (OSO) tersebut," ujar Donal dalam sebuah diskusi di Media Center Bawaslu, Selasa (8/1)

Dalam sejumlah putusannya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengizinkan mantan napi kasus korupsi mendaftar sebagai calon anggota legislatif (caleg). Asalkan, mereka mendeklarasikan diri sebagai mantan napi kasus korupsi saat mendaftar ke KPU.

Berbasis putusan MK dan aturan dalam UU Pemilu, Bawaslu meloloskan 40 caleg eks napi koruptor di Pemilu 2019. Sebelumnya, KPU merilis PKPU 20/2018 yang isinya melarang mantan napi kasus korupsi nyaleg. Bawaslu beralasan PKPU itu bertentangan dengan UU Pemilu dan lebih rendah tingkatannya. 

"Jangan sampai saat memutuskan perkara mantan narapidana korupsi yang menjadi acuan adalah keputusan MK. Namun, terhadap kasus pencalonan OSO justru menutup mata atas putusan MK," cetus Donal. 

Sengketa administratif yang diajukan OSO bermula dari surat bernomor 1492 yang dikirimkan KPU kepada OSO pada 8 Desember 2018. Dalam surat tersebut, KPU memberikan waktu hingga Jumat (21/12) kepada OSO untuk mundur dari jabatannya sebagai pengurus Hanura jika ingin namanya masuk ke dalam DCT anggota DPD Pemilu 2019. 

Surat KPU dianggap OSO bertentangan dengan putusan MA bernomor 65/P/U/2018 tanggal 25 Oktober 2018 yang menyatakan putusan MK baru berlaku pada Pemilu 2024. Putusan MA itu diperkuat putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Nomor 242/G/SPPU/2018/PTUN-Jakarta tanggal 14 November 2018.

Sponsored

Senada, pengamat pemilu Fadli Ramadhanil mengatakan, Bawaslu seharusnya tidak perlu bingung mengeluarkan putusan atas sengketa yang diajukan OSO. Pasalnya, kasus serupa sudah pernah ditangani Bawaslu sebelumnya. 

"Secara jelas MK menetapkan anggota DPD tidak boleh berasal dari partai politik. Aturan MK itu harus secara konsisten dilaksanakan," ujar peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) itu. 

Menurut Fadli, tidak ada pelanggaran hak administrasi yang terjadi ketika OSO dicoret dari DCT angggota DPD RI untuk Pemilu 2019. "Pak OSO tidak bisa masuk ke dalam DCT bukanlah keinginan dari penyelenggara pemilu, tapi pilihan politik Pak OSO yang tak mau mundur sebagai pengurus parpol," tandasnya. 

Berita Lainnya
×
tekid