sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Solusi persoalan HAM tak sekadar ganti Jaksa Agung

Kubu Prabowo menilai kasus-kasus pelanggaran HAM berat tak juga masuk ke meja hijau karena kepentingan politis.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Rabu, 20 Feb 2019 20:03 WIB
Solusi persoalan HAM tak sekadar ganti Jaksa Agung

Komitmen penegakan hak asasi manusia (HAM) para kandidat yang berlaga di Pilpres 2019 lemah. Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KomnasHAM) Hairansyah mengatakan, kedua kubu tampak tak ingin menjadikan HAM sebagai prioritas dan tak punya strategi untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. 

"Kita melihat dari dua kubu ini tidak ada bentuk penyelesaian yang konkret yang ingin dilakukan. Misalkan apakah itu menjadi isu prioritas, dan strateginya seperti apa, itu yang tidak terlihat," ujar Hairansyah dalam diskusi 'Membedah Visi Misi HAM Pasangan Nomor Urut 02' di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Rabu (20/2).

Selain Hairansyah, hadir dalam diskusi tersebut politikus Gerindra Habiburokhman dan Direktur Eksekutif Amnesti Internasional Usman Hamid. Menanggapi pernyataan Hairansyah, Habiburokhman berkilah kubunya sudah punya sejumlah langkah untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. 

Salah satunya ialah memastikan Jaksa Agung bukan berasal dari kalangan politikus. "Jadi, menurut saya, penting penunjukan Jaksa Agung bukan kader partai politik dan tidak berlatar belakang dekat dengan kelompok politik tertentu," ujarnya. 

Hairansyah membalas argumentasi Habiburokhman. Menurut dia, menyelesaikan persoalan-persoalan HAM yang rumit tak bisa diringkus dengan solusi yang hanya sekadar mengganti Jaksa Agung. "Bahasa dan rencananya masih relatif (sederhana) sekali," cetus dia. 

Hal senada diungkapkan Usman Hamid. Meskipun mengakui performa Jaksa Agung HM Prasetyo dalam penegakan HAM buruk, Usman menilai Habiburokhman menyederhanakan persoalan. Pasalnya, tak semua Jaksa Agung dari kalangan politikus kinerjanya buruk. 

Usman mencontohkan Jaksa Agung yang performanya ciamik di masa lalu meskipun berasal dari kalangan politikus semisal Marzuki Darusman dari Golkar dan Baharuddin Lopa yang punya afiliasi dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Keduanya, menurut Usman, sukses membawa kasus-kasus pelanggaran HAM berat hingga ke pengadilan. 

"Nah, pada saat yang sama kita juga pernah punya Jaksa Agung yang bukan dari partai politik. Misalnya Pak MA Rachman di masa Megawati yang terjadi justru kemunduran penanganan kasus pelanggaran HAM berat. Ada beberapa nama yang seharusnya ditetapkan sebagai tersangka untuk dibawa ke pengadilan, itu justru dihilangkan," ujar dia.

Sponsored

Jika berkaca ke belakang, menurut Usman, justru Jaksa Agung yang berlatar belakang politikus-lah yang paling berkomitmen menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. "Mereka ingin memilih Jaksa Agung yang bukan dari partai politik. Sekilas jawaban itu benar, tetapi kalau kita periksa ke belakang, jawaban itu tidak cukup meyakinkan," cetus Usman. 

Lebih jauh, Usman menyarankan sejumlah solusi untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Pertama, menyelesaikan perbedaan pendapat di tubuh Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Kedua, membentuk tim gabungan antara Kejaksaan dan Komnas HAM atau membuat tim independen di luar kedua lembaga itu. 

"Terdiri dari para ahli atau para mantan Jaksa Agung untuk menyelidiki para pelaku pelanggaran HAM berat. Tim ini nantinya yang akan menyelidiki, baik memeriksa, menggeledah, menyita barang bukti dan menyidik. Sebab apa? Selama ini kasus tak selesai karena penyelesaian berkas tak pernah tuntas antara KomnasHAM dan Jaksa Agung," jelasnya. 

Januari lalu, Kejaksaan Agung mengembalikan berkas-berkas tujuh kasus pelanggaran HAM berat ke KomnasHAM. Kejaksaan beralasan berkas-berkas tersebut tidak memenuhi syarat formal dan material untuk dimajukan ke meja hijau. Di sisi lain, KomnasHAM mengklaim telah memenuhi persyaratan yang diminta Kejaksaan Agung. 

Berita Lainnya
×
tekid