sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Gatot Nurmantyo berpeluang dongkrak suara partai

Mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo diproyeksi dapat mendongkrak suara partai jika dicalonkan sebagai presiden 2019.

Robi Ardianto
Robi Ardianto Selasa, 08 Mei 2018 20:07 WIB
Gatot Nurmantyo berpeluang dongkrak suara partai

Mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo diproyeksi dapat mendongkrak suara partai jika dicalonkan sebagai presiden 2019.

Hal itu terungkap dalam rilis penelitian terbaru Lingkaran Survei Indonesia (LSI) versi Denny JA. LSI mencatat setidaknya terdapat sejumlah jurus jitu bagi partai untuk mengerek elektabilitas. Terutama pada sisa waktu kurang dari setahun menjelang Pemilu 2019.

Peneliti LSI Denny JA, Ardian Sopa, menjelaskan cara pertama adalah dengan terasosiasi kuat dengan Capres yang memiliki elektabilitas tinggi. Kedua, memiliki program yang populer dan dikenal luas. Ketiga, tidak terkait skandal dan keempat public expose isu positif partai secara massif dan terstruktur.

Berdasarkan survei yang dilakukan LSI Denny JA, tercatat ada tiga tokoh yang memiliki elektabilitas tertinggi. Di antaranya, Joko Widodo, Prabowo Subianto, dan Gatot Nurmantyo.

Akan tetapi untuk saat ini, nama Gatot merupakan calon potensi yang belum terasosiasi dengan partai politik manapun. LSI mencoba melakukan sejumlah simulasi.

Misalnya saja, dengan Partai Demokrat diproyeksi bakal mengerek elektabilitas partai besutan Susilo Bambang Yudhoyono itu hingga 16,5%. Kemudian, dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) diperkirakan bisa mendongkrak elektabilitas partai hingga 15,8%, bahkan, Partai Gerindra juga diproyeksi bakal terkerek menjadi 19,8%.

"Jika terasosiasi dengan Gerindra ini juga menjadi angka 19,8%," katanya, Selasa (8/5).

Ardian menjelaskan, simulasi itu menjadi peluang bagi partai apabila belum memiliki Capres yang mempunyai elektabilitas tinggi. Bagi Demokrat dan PKB, menggandeng Gatot dinilai dapat membuat kedua partai itu melompat ke divisi utama.

Sponsored

"Akan tetapi, Jika tidak memiliki Capres yang kuat, dicari program unggulannya," tuturnya.

Terlebih lagi, pada Pemilu 2019 mendatang, Indonesia akan mencatat sejarah, pertama kali Pemilu serentak dilaksanakan antara Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden secara bersamaan.

"Kalau kemarin-kemarin Pileg dulu, baru Pilpres. Kalau sekarang, Pileg dan Pilpres bersamaan. Sehingga, masyarakat akan lebih mudah untuk mengidentifikasinya. Sehingga, ketika misalnya masyarakat mengidentifikasi bahwa calon A diusung atau dicalonkan oleh partai A atau partai B, sehingga akan lebih mudah untuk masyarakat langsung memilih partai yang memang mengusung sesuai dengan presiden yang dia usung," paparnya.

Ardian menegaskan, PKB dan Demokrat memiliki peluang yang sama, karena sejauh ini PKB belum memiliki Capres. Padahal, PKB berada dalam pemerintahan. 

Begitu pula dengan Demokrat yang belum memiliki Capres kuat. Sehingga, kedua partai tersebut memiliki peluang yang sama untuk mencalonkan Gatot Nurmantyo.

Dia menilai, dengan menggandeng Gatot Nurmantyo, diprediksi bisa membantu Parpol dalam meningkatkan elektabilitas partainya. Terutama jika dibandingkan dengan dua sosok Capres lain yang telah terasosiasi dengan partai.

Nasib Partai "Nol Koma"

Berdasarkan hasil survei LSI Denny JA, Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) merupakan salah satu partai lama yang saat ini memiliki kursi di DPR RI, akan tetapi dengan adanya perpecahan ditubuh partainya, tak terdengar program bahkan tak terasosiasi dengan tokoh Capres yang kuat, membuat partai besutan Wiranto tersebut akan kehilangan kursi di DPR RI pada 2019-2024 mendatang. 

Adapula, Partai Bulan Bintang (PBB) besutan Yusril Ihza Mahendra. Partai tersebut juga terancam akan kembali tidak memiliki kursi di DPR RI lantaran tidak cukupnya publikasi untuk menarik pemilih muslim yang menjadi basisnya. 

Sementara itu, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) meskipun banyak melakukan publisitas, akan tetapi partai tersebut kerap melakukan hal blunder yaitu dengan kasus yang menyangkut Sunny Tanuwijaya. Sehingga, PSI ditinggal pemilih anti korupsi.

"Karena tawaran dia (PSI) awalnya partai antikorupsi, kan berbeda dengan partai yang ada, yang sudah terkenal dengan korupsinya. Lalu PSI muncul dengan jargon antikorupsinya, tetapi ternyata dewan pembinanya pernah menjadi saksi dalam kasus korupsi. Lah, kok ini memperjuangkan korupsi tapi di internalnya enggak beres, sehingga itu yang membuat kenaikan PSI terhambat," jelas Ardian.

Adapun, partai lain seperti PKPI, Partai Garuda, dan Partai Berkarya, tak terdengar kiprahnya. 
 

Berita Lainnya
×
tekid