sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Dapatkah kaum perempuan berharap pada Puan Maharani?

Masih harus ditunggu apakah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU PPRT disahkan di bawah kepemimpinan Puan.

Fadli Mubarok
Fadli Mubarok Rabu, 02 Okt 2019 07:53 WIB
Dapatkah kaum perempuan berharap pada Puan Maharani?

Puan Maharani resmi dilantik menjadi Ketua DPR RI periode 2019-2024 bersama empat pimpinan baru DPR lainnya, yakni Aziz Syamsuddin dari Fraksi Partai Golkar, Sufmi Dasco Ahmad dari Fraksi Partai Gerindra, Rachmat Gobel dari Fraksi Partai Nasdem, dan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dari Fraksi PKB.

Puan, sebagaimana sejarah mencatat, adalah perempuan pertama yang menjadi ketua DPR RI selama 74 tahun Indonesia merdeka. Menjadi ketua DPR perempuan pertama, Puan berharap dapat menjadi inspirasi bagi kaum perempuan lainnya. 

"Saya katakan ini sebagai kabar baik bagi perpolitikan Tanah Air dan bagi kaum wanita. Karena kalau memang saya jadi berarti pecah telur, perdana perempuan menjadi ketua DPR RI. Dan saya berharap ini akan menjadi inspirasi kaum perempuan," kata Puan sebelum dilantik sebagai Ketua DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Selasa (1/10).

Putri Presiden kelima Megawati Soekarnoputri ini menilai, politik Indonesia telah membuktikan tidak memandang gender dan mengikis dominasi pria dalam dunia politik. Puan berjanji bakal memberdayakan perempuan dan menciptakan kesetaraan gender di parlemen, baik dalam konteks kebijakan maupun keterwakilan.

"Insya Allah ini juga akan saya jadikan prioritas untuk dikedepankan. Saat ini kan kita punya kuota 30% perempuan, tapi belum terpenuhi. Pasti ada hal yang memang harus kita dorong, sehingga memang kesetaraan gender itu akan bisa lebih baik daripada sebelumnya," tegas Puan.

Berdasarkan data KPU, pada Pemilu 2019 ini keterwakilan perempuan hanya 20,5%, pada Pemilu 2014 yakni 14,3%, dan pada Pemilu 2009 sebanyak 18%.

Pesimistis 

Didaulat sebagai Ketua DPR, selama ini Puan justru dinilai minim berupaya memajukan kaum perempuan. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan, selama lima tahun menjadi Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan tidak ada upaya Puan mendorong kebijakan-kebijakan yang berpihak terhadap perempuan. 

Bagi Asfinawati, wacana Puan memberdayakan perempuan di legislatif bukan hanya persoalan ada perempuan yang menjadi pimpinan DPR. 

"Harus dibuktikan kalau memang dia (Puan) seperti itu. Karena politik perempuan seharusnya tidak maskulin, dalam arti berdasar pada empati, bukan adu kuat kekuasaan," cetus Asfinawati.

Puan, kata Asfinawati, perlu membuktikan ucapannya mengenai salah satu agenda prioritas ihwal perempuan. Asfinawati pun menantang Puan untuk mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), atau setidaknya memasukannya ke dalam program legislasi nasional prioritas DPR 2019-2024.

"Urusan kekerasan seksual ini penting untuk kaum perempuan. Banyak kasus, bahkan kita mendengar beberapa laporan kasus kekerasan seksual yang melibatkan anggota DPR di masa lalu. Nah, penegakkan etik soal ini penting," papar dia.

Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan Puspa Dewi pun mengingatkan masyarakat agar tidak terjebak secara simbolik soal Puan adalah perempuan pertama yang menjadi Ketua DPR. Paling utama adalah sejauhmana perspektif keberpihakannya terhadap kaum perempuan.
 

Sisterhood

Dalam rangka memenuhi agenda politiknya, Puan disarankan konsisten dalam mengisi alat kelengkapan dewan (AKD) yang memang memperjuangkan kaum perempuan. Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan dengan perannya yang strategi, seharusnya kebijakan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak harus lebih baik.

Titi merujuk pada keterisian alat kelengkapan dewan (AKD), seperti ketua fraksi dan juga badan lain yang ada di parlemen. Termasuk pimpinan MPR dan juga DPD yang mewakili suara perempuan, apabila kehadiran perempuan di pimpinan parlemen dan AKD terpenuhi maka akan menjadi pendidikan politik yang sangat baik bagi masyarakat. 

"Harapan saya bukan berhenti pada posisi pimpinan oleh figur perempuan yang hanya memiliki keahlian politik, tetapi juga kemampuan untuk berkiprah dan memberi kontribusi bagi perubahan wajah dan juga kinerja parlemen," kata Titi. 

Perempuan, lanjut Titi, identitik dengan praktik politik yang etis. Maka dari itu diharapkan kehadiran perempuan sebagai pimpinan parlemen akan membuat DPR RI bisa berbenah dalam sisi legislasi, penganggaran, maupun pengawasan.

Puan, kata Titi, harus membuktikan mampu mengkonsolidasi anggota DPR RI perempuan dalam memperjuangkan isu perempuan, anak dan kemanusiaan. Sebenarnya perempuan telah memperjuangkan ketiga isu tersebut lewat agenda legislasi hanya saja, lantaran anggota DPR RI perempuan yang memiliki agenda tersebut tidak memiliki kedudukan apapun, suara mereka pada akhirnya tidak tertampung dengan baik.

"Dukungan Puan bagaikan sisterhood mendukung politis kelompok anggota DPR RI perempuan. Di dalam politik itu akan lebih memudahkan mereka berhadapan dengan pihak-pihak di luar mereka (fraksi atau parpol)," 

Direktur Eksekutif Konstitusi Demokrasi Inisiatif (KoDe Inisiatif) Veri Junaidi tidak yakin hak-hak dan suara perempuan dapat terealisasikan. Pasalnya, hingga sekarang anggota legislatif perempuan hanya ditempatkan pada posisi bawah dalam struktur parlemen. 

"Untuk mengejar itu sebetulnya satu yang harus dilakukan caleg perempuan terpilih, yakni mereka harus memenuhi hak untuk dapat menduduki pimpinan dan alat kelengkapan dewan. Itu dulu hak yang terlihat yang real," tukas Veri. 

Berita Lainnya
×
tekid