sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Berkaca pada sejarah, yang belum selesai di debat kedua

Revolusi Tak Kunjung Selesai (2017) bisa menjadi referensi paling komprehensif untuk menelisik lebih jauh tema debat kedua Pilpres 2019.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Senin, 18 Feb 2019 19:42 WIB
Berkaca pada sejarah, yang belum selesai di debat kedua

Sengkarut agraria

Isu lain yang masih kontekstual, namun tak dibahas detail dalam debat kedua adalah permasalahan agraria. Pada 1959, pemerintah mengesahkan undang-undang bagi hasil panen, yang menjamin pembagian pendapatan setara antara penggarap dan pemilik lahan.

Berselang setahun kemudian, dikeluarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960, yang menetapkan batas maksimal sawah pemilik lahan, tak kurang dari 5 hektare.

Akan tetapi, dalam eksekusinya, penegak hukum tak membela penggarap lahan alias petani miskin. Mereka justru berpihak kepada pemilik lahan alias petani kaya, dari aksi-aksi perampasan sepihak aktivis Barisan Tani Indoniesa (BTI), yang terafiliasi Partai Komunis Indonesia (PKI).

“Aparat pemerintah sangat tidak efisien, dan otoritas pemilik tanah terlalu mapan di banyak daerah, sehingga undang-undang itu tidak dijalankan. Namun, sepanjang 1964, BTI menjalankan program aksi sepihak untuk memaksakan penerapan land reform dengan merampas tanah dari petani-petani kaya,” tulis Anthony Reid dalam bukunya Indonesia, Revolusi, dan Sejumlah Isu Penting (2018).

Akibatnya, bentrokan berdarah antara tentara dan aktivis BTI tak terhindari. Bila dibandingkan dengan sekarang, barangkali kebetulan, bentrok antara tentara dengan aktivis BTI pada 1965-1965 itu terjadi di Jawa Tengah, mirip kasus penangkapan dan bentrok para aktivis penentang pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulon Progo, Jawa Tengah.

Petani beraktivitas di lahan pertanian di Bogor, Jawa Barat, Jumat (4/1). (Antara Foto).

Sebuah kasus congkaknya rezim merampas tanah, demi pembangunan infrastruktur, yang tak pernah dibahas dalam debat kedua Pilpres 2019.

Sponsored

Aktivis agraris Noer Fauzi Rachman, dengan bantuan sejarawan agraria Ahmad Nashih Luthfi, memaparkan lebih lengkap terkait sejarah perjalanan kebijakan pertanahan di Indonesia dalam tulisan “Land Reformasi dari Masa ke Masa; Perjalanan Kebijakan Pertanahan Indonesia, 1945-2009” di buku Revolusi Tak Kunjung Selesai.

Noer Fauzi menarik kesimpulan, dari zaman ke zaman, kebijakan pertanahan di Indonesia masih hanya manis di undang-undang, tapi kecut di pelaksanaan.

Di masa rezim Orde Baru, pemerintah menggunakan wewenangnya untuk memberikan konsesi kehutanan, pertambangan, perkebunan, infrastruktur, dan perumahan untuk proyek-proyek pembangunan kawasan industri.

Hal itu memicu protes dari rakyat dan para aktivis. Kebijakan pertanahan malah dibungkam, dibabat habis dengan aksi militeristik.

“Rezim Soeharto membuat perundang-undangan agraria dan sumber daya alam yang baru, seperti UU No.2/1967 tentang Penanaman Modal Asing, UU No.5/1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan, UU No.6/1968 tentang Penanaman Modal dalam Negeri, UU No.11/1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan, dan lain-lain perundang-undangan yang bertentangan dengan prinsip UUPA 1960,” tulis Noer Fauzi Rachman dalam buku Revolusi Tak Kunjung Selesai.

Berkaca pada sejarah, kenyataannya memang masih banyak pekerjaan rumah untuk pemimpin Indonesia di masa mendatang. Pekerjaan rumah yang tak pernah selesai, seiring rezim berganti.

Berita Lainnya
×
tekid