sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Berkaca pada sejarah, yang belum selesai di debat kedua

Revolusi Tak Kunjung Selesai (2017) bisa menjadi referensi paling komprehensif untuk menelisik lebih jauh tema debat kedua Pilpres 2019.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Senin, 18 Feb 2019 19:42 WIB
Berkaca pada sejarah, yang belum selesai di debat kedua

Buku kumpulan tulisan 18 peneliti Prancis dan 9 peneliti Indonesia berjudul Revolusi Tak Kunjung Selesai; Potret Indonesia Masa Kini (2017) yang disunting periset senior Pusat Nasional Bidang Penelitian Ilmiah (Centre national de la recheche scientifique/CNRS) Prancis Remy Madinier bisa menjadi referensi paling komprehensif untuk menelisik lebih jauh tema debat kedua Pilpres 2019, yang sudah berlangsung Minggu (17/2) malam.

Lewat aneka metodologi kajian akademis, buku bunga rampai yang ditulis ilmuwan multidisiplin ini, menghadirkan data dan analisis mutakhir, yang cocok digunakan untuk mempertimbangkan argumen dua calon presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto, terkait tema debat kedua—infrastruktur, pangan, energi, sumber daya alam, dan lingkungan hidup.

Namun, dari tema tersebut, ada sejumlah hal yang rupanya luput dari argumentasi dan pembahasan debat kedua.

Buku Revolusi Tak Kunjung Selesai (2017). (legaleraindonesia.com).

Kekayaan laut

Revolusi Tak Kunjung Selesai dibuka dengan pembahasan terkait infrastruktur pelabuhan dan konektivitas antarpulau. Indonesia, sebagai negara kepulauan yang punya lautan luas, mendeklarasikan laut sebagai alat pemersatu bangsa.

Sayangnya, pertikaian politik dan peralihan dari masa pemerintahan Sukarno ke Orde Baru, mengakibatkan perjuangan Deklarasi Djuanda impoten. Deklarasi Djuanda merupakan pernyataan kepada dunia, jika laut Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI. Deklarasi ini muncul dari Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja pada 13 Desember 1957.

Nelayan memindahkan hasil tangkapan kapal bagan mereka, di Pantai Gaung, Padang, Sumatera Barat, Kamis (17/1). /Antara Foto.

“Luas wilayah laut dan letak geografis Indonesia seharusnya menakdirkan Indonesia menjadi negara maritim paling terkemuka, namun kenyataannya tidak,” tulis pakar geografi dari Universitas Paris, Nathalie Fau, dalam tulisannya “Penyatuan Rumit Tanah Air; Antara Daratan dan Lautan, Rumitnya Pengendalian Bentang Wilayah Indonesia” di buku Revolusi Tak Kunjung Selesai.

Fau menulis, Presiden Jokowi dalam pidato pelantikannya pada Oktober 2014 berniat menempatkan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Menurut Fau, ambisi itu diwujudkan dengan strategi peningkatan nilai sumber daya laut.

Rentang 2014 hingga 2015, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) produksi perikanan tangkap Indonesia naik, dari 6,35 juta ton menjadi 6,67 juta ton. Namun, menurun pada 2016 menjadi 6,58 juta ton. Fau menyindir masalah kelautan Indonesia.

“Di negeri seluas dan semajemuk Indonesia, fungsi dan peran kelautan terbilang jauh dari homogen,” tulis Fau.

Bukan tanpa argumen Fau berkomentar pedas seperti itu. Alasannya, tak ada koordinasi antarjajaran di pemerintahan, eksploitasi berlebih di zona garis pantai, cara penangkapan ikan yang berpotensi merusak ekosistem laut, pembukaan area budidaya kelapa sawit yang mengorbankan hutan bakau, serta pencemaran limbah pabrik, masih saja terjadi.

Ekosistem hutan

Potensi Indonesia lainnya adalah kekayaan ekosistem hutan. Pada 1869, naturalis, penjelajah, dan antropolog asal Britania Raya Alfred Russel Wallace pernah menjejakan kaki di Nusantara. Ia kagum dan terpana menyaksikan panorama keanekaragaman hayati.

Di hari pertama di Pulau Jawa, Wallace terpesona melihat burung luntur gunung (Harpactes reinwardti), yang punya bulu kuning dan hijau; burung sepah gunung (Percrocotus miniatus), yang sayapnya seperti nyala api ketika dikipas-kipaskan; dan kepondang (Analcipus sanguinolentus), yang berwarna agak hitam dan merah tua.

“Semua jenis burung tersebut hanya hidup di Jawa, dan sepertinya hanya terbatas di wilayah barat. Dalam waktu seminggu, saya memperoleh tidak kurang dari 24 jenis burung. Dalam dua minggu, jumlah tersebut meningkat sampai 40 jenis. Semua bukan fauna Jawa yang umum ditemui. Kupu-kupu yang besar dan indah juga banyak saya lihat di sini,” tulis Alferd Russel Wallace di catatannya, The Malay Archipelago dalam James R. Rush (ed.), Jawa Tempo Doeloe; 659 Tahun Bertemu Dunia Barat, 1330-1985 (2013). Wallace pun menyebut, Nusantara sebagai pulau tropis terbaik di dunia.

Sejumlah petugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Babinsa, dan kepolisian berupaya memadamkan kebakaran hutan dan lahan dekat pemukiman warga, di kecamatan Dumai Barat, kota Dumai, Dumai, Riau, Selasa (12/2). (Antara Foto).

Pada 1997, Indonesia ditetapkan menjadi negara megabiodiversitas kedua setelah Brasil, dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia. Sepertiga spesies serangga dan reptil, seperempat spesies jamur dan amfibi, 15% spesies burung, dan 12% spesies mamalia di muka bumi, menghuni kepulauan Indonesia.

Meski begitu, menurut dosen Universitas Toulouse Prancis, Frederic Durand, angka-angka tersebut sesungguhnya diklaim untuk menyembunyikan ketidaktahuan kita terhadap jumlah detailnya.

“Dengan itu, maka hanya kurang dari 5% spesies tumbuhan dan hewan yang kiranya sudah ditemukan. Mengingat keanekaragaman hayati jauh lebih banyak terdapat di zona hutan tropis, maka ketidaktahuan kita akan kekayaan Indonesia kiranya jauh lebih besar,” tulis Durand dalam “Hutan dan Lingkungan Hidup; Menuju Kesadaran atas Batas-batas Eksploitasi” di buku Revolusi Tak Kunjung Selesai.

Durand melanjutkan, keanekaragaman hayati di Indonesia nyatanya bukan hanya ditemukan di kawasan hutan yang tergolong primer (perawan), tapi juga hutan yang termasuk sekunder.

Menurutnya, keanekaragaman hayati di hutan yang tergolong sekunder masih bisa ditemukan, asal aksi-aksi pembabatan hutan masih terkendali. Namun, jika pembabatan hutan sudah masuk skala industri, Durand mengatakan pesimis dengan usaha pelestarian keanekaragaman hayati.

Sengkarut agraria

Isu lain yang masih kontekstual, namun tak dibahas detail dalam debat kedua adalah permasalahan agraria. Pada 1959, pemerintah mengesahkan undang-undang bagi hasil panen, yang menjamin pembagian pendapatan setara antara penggarap dan pemilik lahan.

Berselang setahun kemudian, dikeluarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960, yang menetapkan batas maksimal sawah pemilik lahan, tak kurang dari 5 hektare.

Akan tetapi, dalam eksekusinya, penegak hukum tak membela penggarap lahan alias petani miskin. Mereka justru berpihak kepada pemilik lahan alias petani kaya, dari aksi-aksi perampasan sepihak aktivis Barisan Tani Indoniesa (BTI), yang terafiliasi Partai Komunis Indonesia (PKI).

“Aparat pemerintah sangat tidak efisien, dan otoritas pemilik tanah terlalu mapan di banyak daerah, sehingga undang-undang itu tidak dijalankan. Namun, sepanjang 1964, BTI menjalankan program aksi sepihak untuk memaksakan penerapan land reform dengan merampas tanah dari petani-petani kaya,” tulis Anthony Reid dalam bukunya Indonesia, Revolusi, dan Sejumlah Isu Penting (2018).

Akibatnya, bentrokan berdarah antara tentara dan aktivis BTI tak terhindari. Bila dibandingkan dengan sekarang, barangkali kebetulan, bentrok antara tentara dengan aktivis BTI pada 1965-1965 itu terjadi di Jawa Tengah, mirip kasus penangkapan dan bentrok para aktivis penentang pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulon Progo, Jawa Tengah.

Petani beraktivitas di lahan pertanian di Bogor, Jawa Barat, Jumat (4/1). (Antara Foto).

Sebuah kasus congkaknya rezim merampas tanah, demi pembangunan infrastruktur, yang tak pernah dibahas dalam debat kedua Pilpres 2019.

Aktivis agraris Noer Fauzi Rachman, dengan bantuan sejarawan agraria Ahmad Nashih Luthfi, memaparkan lebih lengkap terkait sejarah perjalanan kebijakan pertanahan di Indonesia dalam tulisan “Land Reformasi dari Masa ke Masa; Perjalanan Kebijakan Pertanahan Indonesia, 1945-2009” di buku Revolusi Tak Kunjung Selesai.

Noer Fauzi menarik kesimpulan, dari zaman ke zaman, kebijakan pertanahan di Indonesia masih hanya manis di undang-undang, tapi kecut di pelaksanaan.

Di masa rezim Orde Baru, pemerintah menggunakan wewenangnya untuk memberikan konsesi kehutanan, pertambangan, perkebunan, infrastruktur, dan perumahan untuk proyek-proyek pembangunan kawasan industri.

Hal itu memicu protes dari rakyat dan para aktivis. Kebijakan pertanahan malah dibungkam, dibabat habis dengan aksi militeristik.

“Rezim Soeharto membuat perundang-undangan agraria dan sumber daya alam yang baru, seperti UU No.2/1967 tentang Penanaman Modal Asing, UU No.5/1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan, UU No.6/1968 tentang Penanaman Modal dalam Negeri, UU No.11/1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan, dan lain-lain perundang-undangan yang bertentangan dengan prinsip UUPA 1960,” tulis Noer Fauzi Rachman dalam buku Revolusi Tak Kunjung Selesai.

Berkaca pada sejarah, kenyataannya memang masih banyak pekerjaan rumah untuk pemimpin Indonesia di masa mendatang. Pekerjaan rumah yang tak pernah selesai, seiring rezim berganti.

Berita Lainnya
×
tekid