sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Simalakama Demokrat gabung koalisi Jokowi-Ma'ruf

Jokowi harus mempertimbangkan dengan baik sebelum memutuskan menerima Demokrat ke Koalisi Indonesia Kerja.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Jumat, 28 Jun 2019 21:24 WIB
Simalakama Demokrat gabung koalisi Jokowi-Ma'ruf

Pengamat politik Eksposit Strategic Arief Susanto, menilai Partai Demokrat lebih layak bergabung ke koalisi pemerintah ketimbang Gerindra. Namun keberadaan Demokrat di barisan partai pendukung Jokowi-Ma'ruf memiliki risiko yang harus diwaspadai Jokowi.

Kelayakan Demokrat untuk bergabung dengan kubu pemerintah, didasarkan Arief atas sikap partai yang dinilai tak terlalu frontal mengkritisi Jokowi. Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan PKS dan Gerindra.

Arief juga menilai posisi Demokrat di DPR RI cukup strategis. Demokrat memiliki jumlah kursi lebih banyak ketimbang PKS, sehingga dapat mengamankan dukungan pemerintahan Jokowi di DPR. 

Pada Pileg 2019, Gerindra mendapat 78 kursi di DPR RI. Adapun Demokrat 54 kursi dan PKS 50 kursi. 

"Kalau Jokowi mau berpikir strategis untuk pengamanan kursi di Parlemen, mengajak Demokrat itu menjadi lebih strategis. Di satu sisi jumlah kursinya lebih besar di DPR. Di sisi lain ini partai yang kecenderungannya tidak terlalu frontal, relatif pengalaman SBY dengan PKS tidak terlalu baik, ini akan memberi rasa nyaman," katanya kepada reporter Alinea.id di kawasan Matraman, Jakarta, Jumat(28/6).

Namun membuka pintu bagi Demokrat bukan tanpa risiko. Kehadiran Demokrat bisa menjadi bumerang bagi partai Koalisi Indonesia Kerja, karena membuka jalan bagi Agus Harimurti Yudhoyono untuk maju di kontestasi Pilpres 2024.

"Nah itu tantangan pentingnya, bagaimana kemudian kemungkinan AHY menjadi salah satu protagonis di 2024. Jadi, dilema itu yang mesti diselesaikan," katanya. 

Arief menjelaskan, Jokowi perlu mempertimbangkan risiko itu dengan baik. Bukan tidak mungkin pula, masuknya Demokrat ke gerbong pendukung Jokowi-Ma'ruf justru memicu friksi di internal koalisi yang sejak awal mendungkung pasangan calon nomor urut 01.

Sponsored

"Itu kan berarti bahwa kemungkinan guncangan terhadap kekuasaan bukan semata mata berasal dari luar atau oposan. Bukan tidak mungkin friksi itu datang dari friksi dari dalam," katanya. 

Arief mencontohkan apa yang terjadi saat Pemilihan Gubernur DKI Jakarta, yang menimbulkan friksi antara Jokowi dan Jusuf Kalla. Kedua pimpinan negara ini memiliki pilihan berbeda di Pilgub DKI.

Arief menilai, JK menjadi potret nyata bagaimana friksi internal tak kalah berbahaya bagi stabilitas kekuasaan. Karena itu, Arief mewanti-wanti agar penambahan gerbong koalisi tak justru merusak tatanan yang sudah dibangun sejak awal pilpres.

"Bukan tidak mungkin dari 6,7 atau 8 partai yang di dalam itu terjadi friksi," katanya. 

Arief juga mengingatkan Jokowi agar mewaspadai partai koalisi yang memiliki banyak faksi di internalnya. Menurutnya, partai seperti itu cenderung tidak nyaman dengan kehadiran pendatang baru.

"Partai yang memiliki faksi kayak Golkar itu permintaannya akan lebih dari partai sekaliber Nasdem yang didominasi Surya Paloh. Artinya partai semacam itu lebih banyak kepentingan yang harus diakomodir," katanya.

Saat ini Partai Demokrat belum menentukan sikap politiknya pasca-putusan Mahkamah Konstitusi atas gugatan hasil Pilpres 2019. Sekjen Demokrat Hinca Pandjaitan mengatakan, langkah politik Demokrat akan ditentukan oleh Majelis Tinggi Partai Demokrat.

"Saya akan melaporkan kepada partai, lewat ketua umum dan juga Majelis Tinggi partai. Itu mekanisme di kami," ucap Hinca di kediaman Prabowo, Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta, Jumat (28/6).

Berita Lainnya
×
tekid