sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Covid-19: Kala kepala daerah 'memunggungi' pemerintah pusat

Kebijakan ini berdampak terhadap reputasi Jokowi di "mata publik".

Fatah Hidayat Sidiq
Fatah Hidayat Sidiq Jumat, 27 Mar 2020 08:52 WIB
Covid-19: Kala kepala daerah 'memunggungi' pemerintah pusat

Pemerintah pusat menetapkan kasus coronavirus baru (Covid-19) sebagai bencana nonalam. Berstatus keadaan tertentu darurat bencana per 28 Januari-29 Mei 2020. Sementara, Badan Kesehatan Dunia (WHO) memberlakukan status pandemi per 12 Maret.

Sayangnya, penyebarannya di Indonesia berkembang pesat. Sejak kali pertama diumumkan, 2 Maret, hingga Kamis (26/3), pukul 15.30 WIB, tercatat ada 893 kasus positif. Dari Selasa (24/3), peningkatannya 100 kasus lebih per hari.

Wilayah yang terpapar pun kian meluas. Semenjak kemarin, pasien yang terinfeksi virus SARS-CoV-2 ini tersebar di 27 dari 34 provinsi senasional.

Gayung bersambut, kata berjawab. Sejumlah pemerintah daerah (pemda) mengambil langkah strategis dalam membendung penyebarannya. Kebijakannya lebih ketat daripada pusat.

Provinsi Papua, misalnya. "Bumi Cenderawasih" menutup akses keluar-masuk orang di wilayahnya pada 26 Maret-9 April 2020. Keputusan diambil dua hari sebelumnya―saat terkonfrimasi tiga kasus positif Covid-19.

 

Warga diperkenankan memenuhi kebutuhan pokok dan melakukan aktivitas penting lain pada pukul 06.00-14.00 WIT. "Khusus pasar mama-mama Papua, mulai jam empat sore hingga delapan malam," demikian petikan salah satu keputusan tersebut.

Sponsored

Langkah serupa ditempuh Pemerintah Kota (Pemkot) Tegal, Jawa Tengah (Jateng). Penutupan wilayah diterapkan 30 Maret-31 Juli 2020.

"Seluruh perbatasan akan kita tutup. Tidak lagi menggunakan water barrier, tetapi MBC (moisture barrier coat) beton untuk memagar pintu-pintu masuk," tutur Wali Kota Tegal, Dedy Yon Supriyono, Rabu (25/3).

 

Keputusan diumumkan setelah ada seorang warga yang dinyatakan tertular Covid-19. Namun, penutupan hanya mencakup wilayah kota. Jalan provinsi dan nasional masih dapat dilalui.

Wacana tersebut juga menguat di Kepulauan Bangka Belitung (Babel). Wali Kota Pangkalpinang, Maulan Aklil, sempat meminta gubernur menutup seluruh pintu masuk-keluar Babel dalam meminimalkan penyebaran coronavirus. Selama dua pekan per hari ini (Jumat, 27/3).

Sampai berita ini ditulis, "Bumi Serumpun Sebalai" belum secara resmi menutup akses wilayahnya. Sebab, Gubernur Babel, Erzaldi Rosman, meminta izin dahulu ke pusat melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Keputusan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua memantik emosi Mendagri, Tito Karnavian. "Sama sekali tidak menyetujui," ucapnya melalui keterangan tertulis kepada wartawan, Selasa (24/3).

Dua hari berselang, Kepala Pusat Penerangan Kemendagri, Bahtiar, mengklaim sebaliknya. Tito disebut tidak pernah merespons kebijakan Papua tersebut

Terlepas dari itu, langkah Papua dan Kota Tegal "memunggungi Istana". Pangkalnya, kewenangan penutupan/pembukaan pintu masuk―bagian dari pelaksanaan karantina wilayah atau kuncitara (lockdown)―dipegang pemerintah pusat. Ini diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Pintu masuk, merujuk Pasal 1 angka 3, "Adalah tempat masuk dan keluarnya alat angkut, orang, dan/atau barang, baik berbentuk pelabuhan, bandar udara, maupun pos lintas batas darat negara."

Sayangnya, ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaannya hingga kini belum ditetapkan pemerintah pusat. Padahal, dimandatkan dalam Pasal 14 ayat (2).

Hingga kini, pusat kekeh takkan melakukan kuncitara. Pernyataan disampaikan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sekaligus Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Letjen TNI Doni Monardo.

 

Meski demikian, seruan-seruan kuncitara kian intens. Belakangan, diutarakan Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Masinton Pasaribu.

Dirinya mendorong Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, mempertimbangkan karantina wilayah. "Tidak ada salahnya," katanya, Kamis (26/3).

Anggota Komisi III DPR ini mengungkapkan, penyebaran Covid-19 di sejumlah negara berhasil ditekan usai menempuh kuncitara. Namun, penerapannya butuh kerja sama apik.

"Jangan ada egoisme kebijakan. Antara pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, DKI Jakarta. Keselamatan dan kesehatan rakyat, adalah yang utama. Singkirkan egoisme. Bangun sinergitas dan solidaritas antarpemerintahan," tuturnya.

Gerus Reputasi
Peneliti Voxpol Center Research & Consulting, Ade Reza Hariadi, menilai, langkah kuncitara di beberapa daerah berdampak terhadap kredibilitas pusat. Reputasi Jokowi di "mata publik", salah satunya.

"Kebijakan di Papua dan Tegal itu, akan semakin menggerus trust publik kepada Pak Jokowi. Sebelumnya, tergerus karena statement-statement para menteri yang cenderung menganggap remeh," ujarnya saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, Kamis (26/3) malam.

Doktor Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) ini berkeyakinan, keputusan Pemprov Papua dan Pemerintah Kota (Pemkot) Tegal bukan atas pertimbangan politik. Namun, dampak buruk di kemudian hari.

"Papua dan Tegal merasa menanti keputusan pemerintah (pusat) seperti (drama) Menunggu Godot. Selalu dibicarakan, tetapi enggak pernah muncul. Karena mereka cemas terhadap snow ball effect-nya nanti, sehingga diputuskan lockdown," paparnya.

Reza pun mendorong pusat segera mengambil keputusan strategis dalam menanggulangi Covid-19. "Kalau lama, kasus naik signifikan, kekecewaan publik semakin menumpuk," tutupnya.

Berita Lainnya
×
tekid