Dukungan politik tak wajib diganjar kursi menteri
Parpol dinilai hanya sebagai pendukung atau pengusung kandidat capres-cawapres.
Direktur Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Veri Junaidi menilai elite-elite politik dan publik salah kaprah memandang persoalan jatah menteri. Menurut dia, dukungan politik di Pilpres 2019 tak wajib diganjar jatah menteri di kabinet.
"Kita harus melihat ini sebagai sebuah hak prerogratif dari seorang presiden. Harusnya ini yang lebih mengemuka. Jadi, bagaimana kemudian presiden bisa memiliki keleluasaan untuk memilih orang-orang terbaik, orang-orang yang nanti mungkin akan mampu membantu presiden," kata dia dalam diskusi di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Kalibata, Jakarta, Kamis (15/8).
Pada konteks politik Indonesia, menurut Veri, parpol masih menanggap mereka memiliki hak untuk mengusung kader-kadernya untuk masuk dalam komposisi kabinet pemerintah. Elite-elite parpol cenderung melihat jatah kursi menteri sebagai balas budi atas dukungan yang mereka berikan di pemilu.
Seharusnya, lanjut Veri, peran parpol hanyalah sebagai pendukung atau pun pengusung kandidat capres-cawapres. Urusan menteri sepenuhnya menjadi hak prerogatif presiden.
"Kalau konteks presidensial murni juga tidak ada urusan sebenarnya. Akan tetapi, memang di sini presiden harus menggalang dukungan dalam membuat kebijakan ataupun pembentukan UU. Pengangkatan jabatan tertentu juga harus berelasi antara parpol pendukung di parlemen," ujar dia.
Pada periode kedua pemerintahannya, menurut Veri, seharusnya Jokowi lebih leluasa dalam menentukan sikap dan tidak tersandera oleh tuntutan elite-elite parpol. Di lain sisi, evaluasi terhadap performa menteri juga perlu dilakukan untuk memastikan kinerja kementerian ke depan lebih optimal
"Harusnya sudah ada evaluasi dari Jokowi untuk melihat kementerian mana saja atau pos mana saja yang sudah berjalan dengan baik. Faktor-faktornya juga harus dilihat sehingga dalam 5 tahun ke depan bisa berjalan dengan optimal," ungkap Veri.
Lebih lanjut, menurut Veri, setidaknya ada dua bidang yang harus diperhatikan serius oleh Jokowi. Pertama, aspek penegakan hukum. Kedua, terkait politik.
"Jadi, Presiden mestinya tidak konsen dengan isu ekonomi saja karena itu juga akan terganggu kalau politik tidak stabil. Sehingga, di 2024 nanti proses politik dengan angin segar akan muncul tokoh baru," kata dia.