sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Mahfud MD: Ada hukum dibeli, pasal-pasalnya dipesan 

Mahfud MD menyebut tata kelola hukum di Indonesia masih berantakan.

Fadli Mubarok Marselinus Gual
Fadli Mubarok | Marselinus Gual Kamis, 19 Des 2019 16:27 WIB
Mahfud MD: Ada hukum dibeli, pasal-pasalnya dipesan 

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, tata kelola hukum di Indonesia masih berantakan. Salah satu penyebabnya ialah masih maraknya praktik jual-beli hukum dan peraturan. 

"Membuat aturan hukum itu sering kacau balau. Ada hukum yang dibeli, pasal-pasalnya dibuat karena pesanan itu ada," kata Mahfud saat membuka acara diskusi bertema 'Merawat Semangat Hidup Berbangsa' yang diselenggarakan Gerakan Suluh Kebangsaan (GKR) di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Kamis (19/12).

Tak hanya di level UU, menurut Mahfud, jual-beli pasal juga terjadi di level peraturan daerah (perda). "Perda juga ada. Disponsori oleh orang-orang tertentu agar ada aturan tertentu," kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu. 

Selain jual-beli hukum, Mahfud mengatakan, pemerintah juga direpotkan aturan yang tumpang tindih. Itulah kenapa akhirnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta pemerintah dan DPR menciptakan omnibus law untuk 'meringkus' aturan-aturan yang bertabrakan ke dalam satu UU. 

"Itu di bidang hukum. Lalu, di bidang penegakan, kita sudah tahu juga rasa keadilan sering ditabrak formalitas-formalitas hukum. Lalu, timbullah rasa ketidakdilan," ujar Mahfud.

Terpisah, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formmapi) Lucius Karus mengatakan, pasal-pasal siluman dalam UU yang dibahas di DPR bukan barang baru. 

"Dibahas dalam waktu singkat dan tidak peduli dengan masukan publik. Harus melaksanakan pesan dari orang yang menginginkan undang-undang itu," kata Lucius di Kantor Formappi, Matraman, Jakarta, Kamis (19/12).

Menurut Lucius, indikasi adanya UU pesanan terlihat dalam pembahasan UU Pertembakauan, beberapa waktu lalu. "Dulu ada UU Pertembakauan. Ada pasal selundupan. Dalam satu malam, satu pasal dihapus. Dan, kemudian (UU)) itu diterima dalam rapat paripurna," jelas dia. 

Sponsored

Lucius mengatakan, UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi juga termasuk dalam kategori UU siluman. Pasalnya, tak ada perencanaan matang dalam perumusan UU tersebut. Proses pembahasannya pun relatif singkat dan mengabaikan masukan publik.

"Tidak pernah jelas perencanaan seperti apa, tiba-tiba dalam waktu singkat, di tengah protes warga yang begitu keras, mereka (DPR) masih mengesahkannya (UU KPK)," kata pria asal Manggarai, Nusa Tenggara Timur itu.

Menurut Lucius, mudah sebenarnya bagi DPR untuk menghindari UU pesanan. Anggota DPR hanya perlu patuh pada mekanisme pembentukan UU sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (5) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019.

"Dan pembahasan harus dilakukan secara terbuka biar publik bisa kontrol. Hanya dengan cara itu DPR bisa menghindari RUU pesanan. Karena bisa jadi RUU itu tidak melaui komisi, tapi melalui perintah ketua partai melalui kadernya di DPR," ujar dia. 

Berita Lainnya
×
tekid