sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Membaca politik Nasdem dan Surya Paloh yang usung Anies di Pilpres 2024

Pemilihan cawapres oleh Anies Baswedan juga akan menentukan peta politik nantinya.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Kamis, 06 Okt 2022 12:16 WIB
Membaca politik Nasdem dan Surya Paloh yang usung Anies di Pilpres 2024

Tiga bulan setelah Rakernas Partai Nasdem, Surya Paloh selaku ketua umum akhirnya mengumumkan secara langsung nama Anies Baswedan sebagai calon presiden (capres) di Pilpres 2024. Gubernur DKI Jakarta itu dipilih dari dua kandidat lainnya, yakni Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa.

Analis Politik sekaligus Direktur Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago mengatakan, Partai Nasdem dan Surya Paloh tentu saja sudah menghitung dan mengkalkulasi secara matematik politik keputusan mengusung Anies sebagai capres. Namun demikian, Pangi mempertanyakan apakah keputusan Partai Nasdem dan Paloh tersebut sudah tepat.

"Melihat kembali jam terbang Surya Paloh dalam konteks "king maker" dan membaca "track recordnya" yang mahir dalam membaca momentum politik, piawai dalam mengambil keputusan strategis baik di level pemilihan presiden maupun kepala daerah, namun apakah keputusan politik beliau selalu tepat?" kata Pangi kepada Alinea.id, Kamis (6/10).

Pangi menjelaskan, dalam konteks basis akar rumput (grassroot), ada yang punya pandangan bahwa ketika Nasdem mengusung Anies, maka basis grassroot Nasdem akan melemah. Selain itu, Nasdem berpotensi ditinggal pemilihnya sendiri karena terjadinya split ticket voting.

"Hal ini terjadi karena ketidak sesuaian antara pilihan elite dengan suara akar rumput," ujarnya.

Menurut Pangi, perilaku pemilih Nasdem ini setidaknya bisa dilihat dari beberapa hasil survei, apakah pemilih Nasdem lebih cenderung memilih Ganjar, Andika atau Anies. Hasil survei Voxpol Center pada Juli lalu menunjukkan untuk Indonesia Timur seperti Papua, NTT, Manado, basis pemilih grassroot Nasdem lebih signifikan memilih Ganjar sebesar 78,8%, Anies sebesar 36,7%.

Sebaliknya, Anies Baswedan justru unggul di DKI Jakata 81,3%, Jawa Barat dan Banten. Namun, kata Pangi, ada potensi Nasdem melakukan penetrasi melebarkan wilayah basis pemilihnya.

Menurut dia, semua partai punya kepentingan yang sama mengusung kandidat capres dalam rangka menyelamatkan elektabilitas partai, dalam konteks kandidat yang diusung membawa berkah elektoral untuk partai. Dengan kata lain, kunci kemenangan pemilu legislatif sangat ditentukan seberapa besar efek kandidasi capres ikut mendongkrak elektabilitas partai.

Sponsored

Memahami logika ini, kata dia, Partai Nasdem akan berupaya sekeras mungkin untuk membangun identity Nasdem yang seolah kongruen dan sebangun dengan Anies.

"Semakin tinggi identity bahwa Anies adalah Nasdem dan Nasdem identik dengan Anies maka peluang Nasdem untuk mendapatkan insentif efek ekor jas pada kelender pemilu serentak nanti akan semakin besar," ujarnya.

Namun sebaliknya, lanjut Ipang, panggilan Pangi Syarwi, jika Nasdem gagal dalam stempel identity Anies, maka tidak akan memberikan dampak elektoral yang signifikan terhadap pertumbuhan elektoral Nasdem. Malah, kata dia, akan berpotensi sebagai pemantik konflik di internal partai.

Dengan demikian, menurut Ipang, Nasdem tinggal menyakinkan Partai Demokrat dan PKS, apakah nanti salah satu dari kader Demokrat dan PKS menjadi cawapres pasangan Anies. Atau nanti koalisi yang dibangun klik pada persamaan kepentingan, misalnya koalisi bersyarat Partai Demokrat, siap bergabung berkoalisi mengusung Anies dengan syarat membawa nama kandidasi AHY sebagai cawapres pasangan Anies

"Begitu juga PKS misalnya klik pada persamaan kepentingan dengan tawaran yang lebih praktis dengan meminta jatah menteri yang lebih banyak karena tidak memaksakan memasang kadernya untuk diajukan sebagai capres dan cawapres. Itu sah-sah saja. Partai ikut kontestasi pemilu, kemudian ketika menang, power sharing mengambil alih kekuasaan lewat kursi menteri," ujar dia.

Selanjutnya, Anies juga diberikan keleluasaan oleh Nasdem untuk mencari pasangan cawares yang ideal. Pangi menyebut, bagaimanapun, karena pilpres 2024 ibarat lapangan datar alias tidak ada capres incumbent, dengan demikian cawapres menjadi faktor kunci yang sangat menentukan peta pilpres 2024.

"Salah menggandeng cawapres, kartu mati dan bunuh diri politik. Sebab sejauh ini, racikan elektoral calon presiden masih sangat kompetitif dan dinamis, tidak ada capres yang leading tanpa tanding elektabilitasnya," ujarnya.

Dari paparan di atas, Ipang lantas menyimpulkan bahwa setidaknya masyarakat sudah punya gambaran sementara peta koalisi. Kemungkinan juga bakal ada yang mengalami perpecahan, makin mengerucut mendekati injuretime/lastminute batas pendaftaran pencalonan capres/cawapres.

Poros pertama yang terdiri dari partai Nasdem-Demokarat dan PKS yang akan mengusung Anies-AHY atau Anies Khofifah atau Anies-Ahmad Heryawan yang direncanakan akan deklarasi capres/cawapres dan parpol koalisi pengusung pada 10 November 2022.

Poros kedua, koalisi Golkar-PPP-PAN mengusung capres Ganjar- Airlangga. Poros ketiga Gerindra-PKB-PDIP mengusung Prabowo-Puan atau poros keempat PDIP maju sendiri. Artinya akan ada tiga sampai sampai poros koalisi pada Pilpres 2024.

"Setidaknya kita sudah punya 2 gambaran capres, yakni Anies Baswedan dan Prabowo Subianto, dengan pengumuman lebih awal capres dan parpol koalisi pengusung, tentunya masyarakat punya waktu lebih luang untuk mencermati rekam jejak capres/cawapres 2024," kata Ipang.

Berita Lainnya
×
tekid