sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Mengurai perjalanan negara bangsa di tangan Muslim

Indonesia Leaders Forum jilid I mengajak warga untuk mengurai kembali pergerakan Islam. Pun meredefinisi sosok pemimpin Muslim di Indonesia.

Purnama Ayu Rizky
Purnama Ayu Rizky Jumat, 27 Apr 2018 17:25 WIB
Mengurai perjalanan negara bangsa di tangan Muslim

Medio 1921 setelah kerusuhan di Garut meletus, Tjokroaminoto ditahan di lapas Kalisosok Surabaya untuk diinterogasi. Saat itu Hindia Belanda tengah berupaya menarik dukungan massa di tanah jajahan, karena terdesak oleh sekutu. Mereka memberlakukan episode gerakan politik etis sebagai balas budi atas penderitaan yang timbul di era tanam paksa. Namun itu tak serta merta melenyapkan kemiskinan dan kesenjangan antar-ras. Tak heran jika letupan kecil maupun skala besar kerap muncul di zaman ini. Adalah Tjokro, tokoh muslim dari Serikat Islam—dulunya Serikat Dagang Islam yang dibuat Haji Samanhudi—yang lantang menentang feodalisme tersebut.

Menurutnya, penderitaan tak akan tumpas jika feodalisme masih bercokok di bumi Nusantara. Kendati dibungkus dengan kemasan paling humanis sekalipun, penjajahan tetap harus dihapuskan. Ia bahkan menolak bentuk feodalisme paling kecil, seperti laku dodok berjalan di muka bangsawan, pun rela meninggalkan gelar radennya. Jika menonton film besutan Garin Nugroho “Guru Bangsa Tjokroaminoto” (2015), sikap kritisnya tampak dari upaya penyelamatannya pada jongos yang disiksa majikannya.

Hingga ia menetap di Surabaya pun, mantan mertua mendiang Soekarno itu, tetap konsisten melagukan nasionalisme melawan penjajah. Gagasan utamanya, membentuk jiwa nasionalisme untuk kedaulatan Indonesia. Langkah pertamanya adalah mengubah Sarekat Dagang Islam (SDI), jadi Sarekat Islam (SI) sebagai wadah politik.

Ia juga Muslim yang memperkenalkan perkawinan Islam dan sosialisme pertama di Indonesia. Mustafa Kemal Pasha (2002) menulis, Tjokroaminoto memandang Islam dan sosialisme sebagai dua kutub beriringan. Menurutnya, sosialisme sempurna jika masing-masing orang tidak hidup untuk dirinya sendiri, laiknya binatang atau burung, namun untuk keperluan bersama. Itulah dasar yang ia pancang tentang gagasan nasionalisme di Indonesia kala itu.

Gagasan nasionalisme ini kemudian direpetisi oleh sejumlah tokoh negara lain yang kebetulan indekos di rumah Tjokro di Peneleh Surabaya. Mereka adalah Soekarno, Semaoen, Musso, Ahmad Dahlan, dan Haji Agus Salim. Tokoh-tokoh Muslim tersebut menjadi segelintir orang yang berperan mengantar Indonesia pada kemerdekaan. Meski belakangan Semaoen dan Musso memerahkan SI lalu pecah menjadi organisasi sendiri bernama Partai Komunis Indonesia (PKI), namun perjuangan mereka, mengutip Soe Hok Gie (1997) laik dicatat.

Bahkan Soekarno yang beragama Muslim bisa menjabat sebagai Presiden Indonesia dan mempertahankannya dari rong-rongan imperialis berikutnya.

Ihwal tokoh Muslim dengan gagasan baru Indonesia atau mereka yang didapuk jadi pemimpin, sebetulnya bukanlah hal baru. Politisi PKB Muhaimin Iskandar menyebut, negara ini tak akan berdiri jika tak ada peranan tokoh Muslim. Dalam dialog bertajuk "Sejarah Pergerakan Islam dan Masa Depan Bangsa" di Jakarta, Kamis (26/4) malam, ia menyebut semangat keislaman dalam pendirian negara bangsa sudah dirintis sejak dulu.

“Kekuatan pemikiran Tjokroaminoto dengan sosialisme religiusnya menjadi pijakan pada keadilan sosial, yang kemudian dijadikan sila kelima dalam Pancasila,” tandasnya. Spirit itulah yang berhasil merontokkan kolonialisme yang bercokol di tanah air selama puluhan dekade. Itu pula yang membangkitkan nasionalisme warga untuk mempertahankan kemerdekaan dengan bersama-sama. Saat-saat itu, menjadi bulan madu indah karena keadilan sosial menjadi pijakan utama.

Sponsored

Saat Soekarno masih berkuasa, Islam dan sosialisme memang tumbuh subur. PKI kala itu bahkan menjadi kekuatan politik penting yang sanggup mempersatukan rakyat, khususnya mereka dari kalangan akar rumput. Nasionalisme, sosialisme, komunisme (nasakom) menjadi benang merah gagasan tokoh-tokoh politik saat itu.

Di sisi lain, tokoh Muslim kanan yang berasal dari berbagai anasir seperti Muhammadiyah, NU, dan PSII yang mendirikan Masyumi, menjadi kekuatan penyeimbang. Tokoh pendirinya seperti Hasyim Asy'arie, Mohammad Natsir, Zainal Abidin Ahmad, Sjafruddin Prawiranegara, Mohamad Roem turut menelurkan gagasan pembaruan Indonesia berbasis keislaman.

Saat Soekarno akhirnya lengser, Islam tak lagi menjadi kekuatan yang berarti. Soeharto yang kemudian memerintah, murni berasal dari kalangan militer yang mendamba stabilitas negara lewat tangan besi. Islam bahkan cenderung dipinggirkan, sehingga saat tumbang pada 1998 akibat reformasi, ia tak mengantongi dukungan dari mereka.

Rezim demi rezim berganti memimpin Indonesia, mulai Habibie, Megawati, Gus Dur, SBY, hingga Jokowi. Naik turun tensi politik kerap mewarnai kepemimpinan mereka. Bagaimana posisi umat Muslim dalam masing-masing rezim?

Cak Imin menggambarkan kondisi rezim itu sebagai absennya sosialisme religius yang berimbas pada tidak adanya keadilan sosial. Lebih ekstrim, politisi Gerindra Fadli Zon yang turut hadir dalam acara diskusi itu berujar, negara kita akhir-akhir ini mengalami apa yang disebut dengan ketercerabutan sejarah dan identitas. Era di mana keadilan sosial hilang, generasinya pun lupa jika Republik tak akan berdiri jika tak ada nasionalisme dan Muslim.

Padahal jika menengok sejarah, ujar Fadli, umat Islam selalu berperan sebagai perekat persatuan nasional sejak zaman kemerdekaan. Dalam diskusi Indonesia Leaders Forum (ILF) jilid I itu, ia menegaskan banyak tokoh Muslim yang berperan dalam kemerdekaan dan penyelenggaraan negara. Tokoh Masyumi M. Natsir misalnya, menggagas perubahan Negara Serikat menjadi Kesatuan pada 1950-an.

"Jadi tidak ada Islam yang bisa menjaga persatuan, justru masalah akan muncul satu per satu,” tukasnya. Tak heran, imbuhnya, dewasa ini kita melihat setumpuk persoalan seperti supremasi hukum yang kurang adil, ketimpangan sosial semakin tinggi, dan penguasaan sumber daya alam untuk kepentingan asing.

Itu sekaligus menjadi penjelasan mengapa masyarakat kita dewasa ini resah dan kebingungan dengan arah negara bangsa. Politisi PKS Anis Matta bahkan menyebut Indonesia bak bus besar yang berjalan di jalur lambat yang harus menerjang polisi tidur di sepanjang titik dan mengalami kemacetan. Kondektur bus yang menjadi personifikasi Presiden Indonesia bingung mau dibawa kemana arah negara. Sementara penumpangnya hanya bisa berdoa, harap-harap cemas, sembari sibuk bertanya.

“Realitas negara bangsa di era kekinian menunjukkan, ada yang hilang dari kehidupan kita. Pemerintah perlu membuktikan keadilan dan kenyamanan sebab seperti kita tahu, keadilan sosial adalah kebutuhan pokok manusia,” tutur Cak Imin lagi.

Lebih lanjut, jika pemerintah gagal mendefinisikan kebutuhan masyarakat, tak ada titik temu dalam dialog, maka masyarakat tak bisa berharap lebih. Solusinya adalah ganti sopir baru dengan gawai yang dilengkapi peta baru.

“Ibarat bus dan penumpang, saat dihadapkan pada perjalanan yang mengganggu di jalur lambat, tentu perlahan satu hingga dua umat bertanya, kita mau kemana ini mobilnya. Sudah jalannya lambat, goyang terus. Kita butuh sopir baru yang tahu mau dibawa kemana arah mobil itu. Pemimpin yang berasal dari anak muda yang lincah,” ujar Anis Matta.

Ujaran Anis memang menuai riuh tepuk tangan dari sejumlah hadirin, mulai persatuan alumni 212, forum antarmasjid, hingga pegiat PKS saat itu. Beberapa bahkan sempat memekikkan “Allahuakbar”. Seperti yang dilakukan Diyati, pegiat forum antarmasjid yang menganggap Indonesia butuh figur Muslim yang bisa merangkul masyarakatnya. Bukan berdiri di atas menara gading atau menyusun program yang jauh dari rasa keadilan sosial.

Menurutnya jika pemimpin sudah menafikan eksistensi umat Islam dalam mengurus negara, maka ia tak bisa diharapkan. “Jangan dikira kekuatan umat Islam tak besar. Saat aksi akbar 212, itu jadi penanda kita masih bertaji jadi kekuatan politik dan sosial yang besar,” ujarnya.

Pemimpin, imbuhnya, selain berasal dari figur Muslim, juga harus dekat dengan umat. Jangan karena ada maunya, baru mendekati warga. “Upaya Jokowi mendekati alumni 212 sebetulnya adalah wujud ketakutan sekaligus pengakuan bahwa Islam masih menjadi kekuatan penting. Namun dia terlambat,” ungkapnya lagi.

Meski sejumlah peserta berambisi ingin melengserkan Jokowi di 2019 nanti, menariknya, diskusi pergerakan Islam yang digelar semalam, tak melulu tendensius. Kendati beberapa kali pesan ganti presiden 2019 terus dilagukan, namun diskusi yang diinisiasi Aksi Cepat Tanggap (ACT) itu fokus menyusun gagasan baru dan tokoh-tokoh muda alternatif.

Bagi Gubernur DKI Anies Baswedan, tak penting siapa yang akan menjadi pemimpin Indonesia, asal dia mengerti tentang arah dan jalan. Di sisi lain, ia menekankan pentingnya para penumpang untuk bisa menyetir atau menjadi pendamping sopir.

“Substansinya adalah kemampuan itu yang harus ditingkatkan. PR kita terbesar adalah membuat sejarah baru bagi umat Islam Indonesia. Paham sejarah penting tetapi PR kita membesarkan yang sekarang kecil,” katanya.

Langkah konkretnya adalah masyarakat perlu bersama-sama membantu pemimpin menghapus ketimpangan yang merata di berbagai sektor kehidupan. Keadilan sosial sebagai spirit harus dikembalikan marwahnya dalam penyelenggaraan negara.

"Republik ini tidak didirikan untuk minoritas, tidak didirikan untuk mayoritas, tapi didirikan untuk setiap anak bangsa Indonesia", kata Anies yang langsung disambut oleh tepuk tangan para hadirin.

Mantan rektor Universitas Paramadina itu juga mengutarakan, peran umat Islam dalam pendirian negara Indonesia. "Semangat dari awal pendirian negara ini adalah umat islam hadir berperan untuk seluruh bangsa Indonesia, bukan hanya untuk umat Islam saja", kata Anies.

Ini mirip seperti yang diamanatkan para bapak pendiri bangsa era penjajahan dan revolusi dulu. Mereka, lanjutnya tak pernah berjuang dengan stempel agama tertentu, namun semangatnya senada, yakni sama-sama ingin “mewujudkan keadilan sosial”.

Tjokroaminoto berjuang untuk bangsa setelah di dadanya berkecamuk penderitaan kaumnya yang ditindas penjajah, baik dari dalam maupun luar. Soekarno yang terkenal dengan gagasan Nasakom itu berjuang dengan membawa bendera keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebuah gagasan yang lekat dengan pandangan Marx dan Engels soal sama rata sama rasa, sehingga tak ada ketimpangan.

Ya, masyarakat memang butuh alternatif pemimpin baru dengan gagasan yang segar. Mengutip Cak Nun dalam kenduri cintanya, esensi dari Muslim secara etimologis adalah yang bisa menyelamatkan kita. Jika dia--apapun agamanya--bisa menyelamatkan warga negara, berjuang tak hanya atas nama mayoritas atau minoritas, maka dialah pemimpin Muslim yang sebenarnya.

Berita Lainnya
×
tekid