sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Nasdem: Kehadiran Gerindra di kabinet bikin Jokowi otoriter

Nasdem berpendapat keberadaan Gerindra sebagai penyeimbang di parlemen sangat diperlukan untuk mengakomodir kepentingan masyarakat.

Achmad Al Fiqri Marselinus Gual
Achmad Al Fiqri | Marselinus Gual Minggu, 13 Okt 2019 01:49 WIB
Nasdem: Kehadiran Gerindra di kabinet bikin Jokowi otoriter

Ketua DPP Partai Nasional Demokrat atau NasDem, Irma S. Chaniago menanggapi wacana Partai Gerindra masuk di kabinet Presiden Joko Widodo Jilid II. Menurut dia, bergabungnya Partai Gerindra ke koalisi pemerintahan fungsi penyeimbang di parlemen menjadi lemah. Irma khawatir, gabungnya Gerindra justru membuat pemerintahan Jokowi menjadi otoriter.

"Partai oposisi yang masuk silakan, tapi chek and balance (penyemibang) itu penting. Kenapa, karena pemerintah yang kuat, yang bijak dan bermanfaat untuk rakyat adalah pemerintah yang tidak zalim. Agar tak zalim, pemerintah harus didampingi oposisi. Pemerintah tidak boleh absolut. Kalau absolut akan otoriter. Ini yang kami khawatirkan," kata Irma usai dikusi di kawasan Jakarta Pusat, Sabtu (12/10).

Menurut Irma, keberadaan Gerindra sebagai penyeimbang di parlemen sangat diperlukan untuk mengakomodir kepentingan masyarakat. Dia menilai, jika keberadaan oposisi di parlemen lemah, maka tidak mungkin dalam waktu dekat akan muncul adanya kebangkitan gerakan massa karena ketiadaan oposisi di parlemen.

"Kalau semua partai politik berada dalam satu kubu yang namanya koalisi pemerintah, siapa yang akan melakukan chek and balance. Ini akan menjadi parlemen jalanan," tutur Irma.

Lebih lanjut, Irma mengklaim, Partai Nasdem tetap berkomitmen menjalankan fungsi penyeimbang di parlemen meski masuk dalam jajaran kabinet Jokowi. "Tentu ada kontrol, kami ada kontrol internal namanya, yaitu kritis dan solutif untuk pemerintah" ujar dia.

Sementara pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, mengatakan fungsi penyeimbang di parlemen harus tetap ada. Jika Gerindra masuk dalam cabinet, koalisi akan semakin besar. Bukan tak mungkin akan ada kebangkitan masyarakat (civil society) yang memposisikan diri sebagai oposisi bagi pemerintah.

“Situasi ini tidak sehat bagi iklim demokrasi, terutama pemerintahan Jokowi. Jadi jangan salah, ketidaan oposisi itu membangkitkan civil society," kata Siti.

Ketua DPP Partai Gerindra, Ahmad Riza Patria, mengatakan partainya tak masalah jika berada di luar atau di dalam koalisi pemerintahan Jokowi. Menurut Riza, yang terpenting adalah dapat berkontribusi membangun bangsa.

Sponsored

"Kami siap membantu pemerintah jika diperlukan. Tapi jika tidak, kami akan tetap membantu pemerintah dengan jadi partai penyeimbang," kata Riza.

Riza mengatakan, komitmen Gerindra masuk kabinet ialah membantu menyukseskan pemerintahan Jokowi lima tahun ke depan. Jika betul-betul bergabung, Gerindra berharap kadernya tidak korupsi dengan menyalahgunakan jabatan dan wewenangnya. 

"Jangan sampai jika berada di dalam jadi masalah korupsi, KKN dan sebagainya. Dan jika di luar, jangan hanya bisa mengkritisi, menggonggong tanpa memberi solusi, enggak baik juga," ucap Riza.

Cinta segitiga

Direktur Eksekutif Indo Barometer, M. Qodari, mengatakan penyusunan Kabinet Kerja jilid II masa pemerintahan Jokowi seoerti cinta segitiga. ITu ditandai dengan adanya poros Gondangdia yang dimotori Surya Paloh dan poros Teuku Umar yang digawangi Megawati Soekarnoputri.

Seperti diketahui, lanjut Qodari, koalisi partai pendukung Jokowi-Ma'ruf melahirkan poros Gondangdia yang diinisiasi Partai NasDem. Namun, di satu pihak juga ada poros Teuku Umar yang diinisiasi oleh PDI Perjuangan.

"Ini bagian dari dinamika politik yang saling tarik menarik. Saya menyebut penyusunan kabinet ini cinta segitiga antara Jokowi dengan poros Gondandia dengan Teuku Umar," kata Qodari. 

Menurutnya, posisi mantan Wali Kota Solo itu sedang menjaga keseimbangan antara dua poros tersebut untuk menentukan komposisi kabinetnya. Pasalnya, kedua poros itu diperlukan Jokowi untuk mewujudkan program politik dalam lima tahun ke depan.

“Tetapi dua-duanya juga punya motivasi. Misalnya dari poros Gondangdia, tidak mau ada partai baru masuk. Karena jatah menteri bisa berkurang. Tetapi dari kacamata Teuku Umar ya mungkin memikirkan (Pilpres) 2024, barangkali bisa koalisi dengan Gerindra," tutur Qodari.

Berita Lainnya
×
tekid