sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pengamat: Potensi kerawanan Pemilu 2019 sangat terasa

Wilayah dengan jumlah pemilih yang banyak perlu mendapat perhatian khusus, untuk mendeteksi potensi terjadinya gesekan dalam proses pemilu.

Valerie Dante
Valerie Dante Sabtu, 23 Feb 2019 17:22 WIB
 Pengamat: Potensi kerawanan Pemilu 2019 sangat terasa

Pengamat politik dari Universitas Negeri Islam (UIN) Syarif Hidayatullah Adi Prayitno mengatakan bahwa masyarakat perlu turun tangan untuk mengatasi permasalahan potensi ancaman dan kerawanan Pemilu Serentak 2019. 

"Masyarakat harus sadar, pemilu itu bukan hanya milik Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) saja, tetapi milik bersama dan perlu dijaga bersama-sama juga," kata Adi dalam diskusi publik 'Potensi Ancaman dan Kerawanan Pemilu Serentak 2019' di Cikini, Jakarta, Sabtu (23/2). 

Menurutnya, potensi kerawanan pemilu kali ini sangat terasa karena adanya Pilpres 2019 yang merupakan tanding ulang dua calon presiden yakni calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo, dengan calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto. 

Oleh karenanya, ada asumsi yang dibangun bahwa semua hal akan dikapitalisasi demi memenangkan pertarungan perebutan kursi Presiden RI. 

"Muncul opini yang menyatakan bahwa Pemilu 2019 akan lebih brutal ketimbang pemilu-pemilu sebelumnya karena dititikberatkan pada pilpres itu," lanjutnya. 

Adi menyebut, potensi kerawanan pemilu ini disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu faktor terbesar adalah adanya disparitas pengetahuan antara penyelenggara, kontestan, dan rakyat umum terkait hal-hal mengenai penyelenggaraan pemilu. 

Contohnya, masih banyak masyarakat yang tidak mengerti adanya larangan hoaks, fitnah, ataupun isu SARA dalam kampanye. 

"Terlihat dari banyaknya kasus pidana pemilu yang terjadi karena banyak orang yang tidak mengerti, mereka pikir kampanye itu bebas dan bisa berorasi seenaknya, padahal kan ada larangan dan aturan. Nah, masyarakat kurang sadar akan hal itu," jelas Adi. 

Sponsored

Masyarakat, lanjutnya, harus lebih mengambil peran dan aktif dalam menjaga keberlangsungan pemilu. Paling tidak masyarakat dapat berperan untuk mengantisipasi potensi kecurangan, intimidasi, maupun kerusuhan. 

Jika tidak dihentikan dan perpecahan terjadi, Adi mengungkapkan bahwa hal tersebut dapat melahirkan mentalitas bigot di kalangan pemilih. 

Maksudnya, pemilih akan membenturkan opini mereka dengan kubu berseberangan. Mereka mencoba menarasikan keyakinan mereka dan membenturkan dengan narasi berseberangan dari kelompok lain. 

Kebenaran dari kubu lain dianggap hoaks dan tidak rela menerima perbedaan pendapat sehingga objektivitas akan sulit ditemukan. 

"Di tengah mental bigot itu, potensial brutalitas semakin besar," kata dia. 

Wilayah yang berpotensi rawan dalam Pilpres 2019 

Adi berpendapat bahwa jumlah pemilih di masing-masing daerah akan menjadi kotak kunci kemenangan pilpres. Sebab, para kontestan pasti menyasar daerah dengan pemilih yang banyak, berusaha meraih suara mayoritas. 

"Contohnya Jawa Barat dengan jumlah pemilih sampai 31 juta, itu akan jadi wilayah primadona semua kontestan untuk mencari suara yang maksimal. Di daerah itu pasti pertempuran akan meningkat," ungkapnya. 

Selain Jawa Barat, ada pula Jawa Timur dengan 29 juta pemilih dan Jawa Tengah dengan 28 juta pemilih yang dapat berpotensi menjadi "medan tempur" dan menciptakan konflik selama perebutan suara Pilpres 2019. 

Wilayah dengan jumlah pemilih yang banyak perlu mendapatkan perhatian khusus, untuk mendeteksi potensi terjadinya gesekan atau kerawanan dalam proses pemilu. 

"Daerah dengan jumlah pemilih banyak, saya duga, akan menjadi ladang subur pertarungan dari dua kandidat. Apa pun akan dilakukan sebagai upaya kapitalisasi kemenangan pilpres," jelas dia. 

Berita Lainnya
×
tekid