sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pertumbuhan ekonomi daerah buruk imbas dinasti politik

Masa depan demokrasi Indonesia terancam semakin suram jika dinasti politik tumbuh subur.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Selasa, 25 Agst 2020 17:21 WIB
Pertumbuhan ekonomi daerah buruk imbas dinasti politik

Pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun, mengatakan, tiada provinsi maupun kabupaten/kota yang pertumbuhan ekonominya mengalami kemajuan di bawah cengkraman dinasti politik.

"Angka pertumbuhan ekonominya coba cek di provinsi dinasti politik itu. Jauh angkanya di bawah angka nasional. Ini, kan, problem serius. Ini belum dicek kala angka pertumbuhan ekonomi secara nasional -5,32%. Coba cek saja, angka pertumbuhan ekonomi Banten dan Cilegon seperti apa?” ujarnya saat webinar, Selasa (25/8).

Kolaborasi politik dinasti dengan oligarki ekonomi, sambung dia, memiliki daya rusak demokrasi yang luar biasa. Dicontohkannya dengan tatanan masyarakat lantaran hak pilihnya bisa dibeli dengan uang.

"Kalau itu (terus) terjadi, saya menyakini, masa depan demokrasi di Indonesia akan semakin suram. Akan mengalami situasi yang semakin memburuk," tegas Ubed, sapaan Direktur Eksekutif Puspol Indonesia ini.

Pernyataan senada diutarakan peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini. Menurutnya, politik dinasti menghambat pembangunan daerah lantaran kecenderungan calon dari politik dinasti diragukan kapasitas dan kompetensi kepemimpinannya.

"Politik dinasti menjadi sorotan, terutama menyangkut presiden kita, karena tidak ditopang oleh track record. Akan sulit untuk dipersoalan kalau track record itu muncul. Ini, kan, yang tidak hadir. Baru jadi kader (partai politik), tiba-tiba menjadi kandidat," paparnya.

Pernyataan tersebut menyinggung pencalonan putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka, yang maju di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Surakarta 2020. Juga menantu Jokowi, Bobby Nasution, di Pilkada Medan.

Selain itu, rentan memicu praktik koruptif. Banyak perilaku korupsi yang melibatkan calon berlatar keluarga politik. Di Banten, Cimahi, Kutai Kertanegara, Klaten, Bangkalan, Malang, Banyuasin, hingga Kendari, misalnya.

Sponsored

Ironisnya, kata Titi, politik dinasti justru semakin menggeliat ketika Indonesia berhadapan dengan tingginya kasus korupsi. Berdasarkan laporan The International Institute for Electoral Assistance and Democracy (IDEA) dalam Global State of Democracy (GSOD) pada 2019, selain keterwakilan perempuan, tingginya angka korupsi adalah tantangan Indonesia dalam mewujudkan demokrasi.

Dia menyebut, politik dinasti dalam kompetisi pilkada bisa langgeng karena berkelindan dengan praktik-praktik curang. Petahana menyalahgunakan otoritasnya untuk memfasilitasi proyek tersebut.

"Biasanya ada politisasi birokrasi karena melibatkan petahana, kan? Lalu, penyalahgunaan fasilitas jabatan dan kewenangan negara. (Misalnya) terkait anggaran negara yang bisa memuluskan langkahnya karena penegakan hukum yang belum efektif," tandas Titi.

Berita Lainnya
×
tekid