sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pilah-pilih calon menteri

Partai politik hingga pendukung telah menyetorkan nama-nama calon menteri untuk membantu Jokowi-Ma'ruf Amin pada 2019-2024.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Senin, 29 Jul 2019 20:04 WIB
Pilah-pilih calon menteri

Partai politik hingga pendukung telah menyetorkan nama-nama calon menteri untuk membantu Jokowi-Ma'ruf Amin pada 2019-2024.

Pakar komunikasi politik Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing menyarankan agar Presiden Joko Widodo memetakan kursi kementerian yang akan diisi oleh profesional maupun politisi.

Pemetaan itu menurut Emrus penting dilakukan untuk mencegah penguasaan kabinet dari unsur politis. Apalagi, tak sedikit parpol pendukung yang telah menuntut jatah kursi menteri kepada Jokowi sebagai presiden terpilih.

Tidak hanya itu, Emrus juga menilai pemetaan tersebut juga berguna untuk mengerem hasrat parpol yang mengincar posisi kursi kementerian tertentu. Padahal, kursi kementerian tertentu itu justru tidak tepat ditempati oleh politisi.

"Pak Jokowi harus mengkategorikan dulu mana kementerian yang harus diduduki profesional murni non partai, dan mana kementerian yang boleh diduduki dari profesional partai, dan mana yang bisa digabung," kata dia di Gedung DPR/MPR Senayan, Jakarta, Senin (29/7).

Dia menjelaskan, ada tiga kategori kursi kementerian. Pemetaannya, kursi kementerian yang bisa diduduki oleh profesional murni, kader parpol, dan ada juga yang profesional parpol. 

"Kalau dibuat mapping seperti itu, maka akan lebih gampang menempatkan orang. Jadi, kalau ada usulan yang memaksa, Pak Jokowi bisa bilang 'oh sorry bos'," kata dia.

Emrus berpandangan, ada baiknya Jokowi memberi posisi kursi pimpinan lembaga negara yang berkaitan dengan hukum dan ekonomi ke profesional murni, untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan.

Sponsored

"Seperti Jaksa Agung itu mestinya dari profesional murni, bisa dari LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), bisa dari wartawan yang memiliki gelar doktor hukum atau dari kalangan akademisi. Dan untuk posisi Menteri ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) juga jangan berikan ke partai politik," saran dia.

Meski sepakat jika kalangan profesional murni banyak dilibatkan dalam kabinet, Emrus menyarankan Presiden Jokowi untuk selektif memilih kalangan profesional murni yang bakal dijadikan menteri. Sebab bukan tidak mungkin setelah diangkat, kalangan profesional juga berhasrat untuk memperkaya diri.

Untuk mencegah hal itu terjadi, Emrus mengatakan, ada baiknya Presiden Jokowi melakukan lelang jabatan dalam memilih menteri dari kalangan profesional murni, seperti halnya saat mengangkat pejabat di Pemprov DKI Jakarta kala dirinya menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.

"Buka saja dileleng jabatan saja, tetapi juga di-fit and proper lagi agar qualified,"ujarnya.

Ia menyarankan, agar Jokowi membentuk Panitia Seleksi (Pansel) untuk menyeleleksi kalangan profesional murni yang bakal jadi menteri. Namun, Emrus menyarankan  Pansel tak langsung dipilih presiden, tapi diundi agar tak terkesan ada kepentingan di baliknya.

"Panitia seleksi itu ditunjuk, itu misalnya gini ada kementerian tertentu dibutuhkannya misalnya background-nya hukum. Nah itu panselnya diundi, kalau tidak artinya ada kepentingan. Jadi panselnya itu supaya tercapai itu tujuannya itu nama-nama yang punya kemampuan seluruh profesor di Indonesia dari perguruan tinggi manapun ada 100 orang butuh lima orang, ya diundi saja," ujarnya.

Sedangkan untuk menjamin hak prerogatif presiden tetap ada, Emrus mengusulkan, agar Pansel cukup menyeleksi sampai 3 orang terbaik, dan selebihnya biar menjadi wewenang presiden untuk memilih mana yang cocok dijadikan menteri. 

"Tetapi keputusan pansel harus diikuti keputusan presiden, tapi presiden berhak memilih yang harus dipilih. Jadi beliau sampaikan ke pansel, 1-3 saja,  supaya tetap ada hak prerogatif beliau, keempat tidak dipakai. Tapi ini harus disampaikan di awal. Jadi ketika pansel menghasilkan 1, 2, dan 3  maka yang beliau pilih dari salah satu dari tiga ini. Keempat dan kelima saya enggak mau. Tapi disampaikan di awal ke Pansel," ujarnya.

Emrus menganggap, cara itu lebih efektif menjaring menteri yang memiliki kapabilitas, dibandingkan dengan melakukan uji publik. "Sebab jika dilakukan dengan cara uji publik maka, itu bisa saja ada mobilisasi dan penggiringan opini, seakan-akan dirinya pantas jadi menteri," ujarnya.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid