sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pilpres dinilai rawan isu SARA, PAN membantahnya

Undang-Undang Pemilu juga perlu direvisi dan mengakomodir aturan mengenai sanksi pidana bagi mereka yang mempergunakan isu SARA 

Robi Ardianto
Robi Ardianto Minggu, 13 Mei 2018 00:34 WIB
Pilpres dinilai rawan isu SARA, PAN membantahnya

Pilkada Jakarta dinilai memberikan efek negatif, terutama karena mencuatnya politik identitas yang dijadikan komoditas politik. Ada indikasi politik identitas akan kembali dimunculkan pada Pilpres 2019.

"Nah ini terus dimainkan sampai Pilpres 2019, karena dilihat kelemahan terbesar Jokowi adalah relasinya dengan kelompok Islam politik. Jokowi dianggap tidak mempunyai kekuatan dalam masa Islam," jelasnya di UP2YU Resto n Cafe, Cikini, Jakarta, (12/5).

Padahal fakta sebenarnya, mayoritas Islam di Indonesia adalah moderat, Islam Indonesia justru mendukung Jokowi. Sebagai contoh Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.  Namun, ada segelintir oknum yang merasa tidak nyaman dengan kepemimpinan Jokowi. 

Boni mengklaim telah melakukan analisa dan evaluasi serta kajian yang cukup mendalam selama dua tahun terakhir. Hasilnya, ternyata ada korelasi yang cukup kuat antara kelompok ideologis yang memperjuangkan syariat Islam dan kelompok politik di parlemen dan ormas. Hal itu tidak secara formal, melainkan secara emosional

Terbukti, saat gerakan '411' dan '212', terjadi pengumpulan masa yang di luar dugaan. Ada dugaan, gerakan tersebut tidak hanya untuk mengambil alih kekuasaan pemerintahan saat ini, akan tetapi juga ingin mengganti dasar negara. Terlihat dari wacana yang dibangun adalah ketidakadilan, demokrasi pancasila dan sebagainya.

Untuk meredam perkembangan isu tersebut, sebaiknya parpol melakukan sosialisasi politik serta melakukan kampanye positif. Dengan begitu, kampanye negatif atau kampanye hitam bisa terhindari. 

Jka diperlukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) perlu membuat aturan tentang itu.  Undang-Undang Pemilu juga perlu direvisi dan mengakomodir aturan mengenai sanksi pidana bagi mereka yang mempergunakan isu SARA sebagai komoditas politik.

 Sementara, Sekretaris Jendral Partai Amanat Nasional (PAN), Eddy Suparno, membantah isu SARA telah dijadikan komoditas oleh beberapa kalangan. "Sejauh ini, tidak ada nuansa politisasi SARA, baik dalam pilkada maupun pemilu," kata dia.

Sponsored

Buktinya, hasil lembaga survey nasional pada Januari lalu, menyebutkan, permasalahan yang terjadi di Indonesia saat ini adalah kemiskinan, harga kebutuhan pokok yang meningkat 17%, korupsi merajalela dan kesulitan mendapatkan pekerjan. Sedangkan isu SARA hanya mendapatkan perhatian sekitar 3,7%. 

Oleh karena itu, Eddy Suparno meyakini, Jokowi nantinya tidak akan bertempur dengan kekuatan radikal. Isu yang akan dihadapi terkait dengan masalah lapangan pekerjaan dan ekonomi. "Parpol yang maju lebih banyak membicarakan isu ekonomi di masyarakat. Bukan isu radikalisme. Isu radikalisme gagal dan tidak akan diterima dimasyarakat," terangnya. 

Dia menyatakan gagal paham terhadap analisa dari Boni, karena Memiliki isu sara Mendapatkan perhatian yang cukup rendah dimasyarakat. 

Masyarakat, saat ini melihat lebih melihat  seperti isu tersedianya lapangan pekerjaan yang tengah terjadi dimasyarakat. 

"Penurunan penjualan dan daya beli di masyarakat, isu-isu ini yang memiliki prioritas lebih tinggi untuk ditangani, ketimbang dengan isu sara yang lebih bisa ditangani masalahnya," katanya.

Selain itu, Ketua TPS, Arif Susanto, tidak mengatakan tidak boleh bicara SARA dalam berpolitik. Menjadi persoalan ketika ada seruan untuk memilih identitas tertentu dengan menjelekkan identitas lain. Sehingga berdampak pada penistaan identitas lain dan menimbulkan kebencian, sekaligus mendegradasi politik dan menjadi kering gagasan.

Berita Lainnya
×
tekid