sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

RKUHP ancam profesi wartawan 

Koalisi meminta DPR mengkaji ulang RKUHP dan membuang pasal-pasal bermasalah.

Akbar Ridwan
Akbar Ridwan Minggu, 01 Sep 2019 18:47 WIB
RKUHP ancam profesi wartawan 

Ketua harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengkritik substansi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pindana (RKUHP) yang mengatur penghinaan terhadap lembaga peradilan atau contempt of court (CoC).

Menurut Dio, Pasal 281 RKUHP yang megatur CoC merupakan pasal karet yang potensial megancam kerja jurnalis dan aktivis yang bertugas memantau atau meliput sidang-sidang di pengadilan. 

"Ketika kita baca ini. (Draf RKUHP) bisa potensi ke mana-mana, misalnya sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan atau menyerang integritas. Ini kan batasannya seperti apa, (tidak jelas)," ujar dia dalam konferensi pers di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Kalibata, Jakarta, Minggu (1/9).

Mappi FH UI merupakan anggota Koalisi Pemantau Peradilan. Selain MAPPI, Koalisi beranggotakan sejumlah LSM, di antaranya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), ICW, Lembaga Independensi Peradilan (LeIP), Indonesian Legal Rauntable (ILR), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). 

Ada tiga butir dalam Pasal 281 yang dikritik Koalisi. Di butir (a) pasal tersebut, disebutkan CoC bisa diberlakukan bagi mereka yang 'tidak mematuhi perintah pengadilan atau penetapan hakim yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan.'

Pada butir (b), CoC diberlakukan untuk yang 'bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan'.

Adapun pada butir (c), CoC diberlakukan kepada mereka yang 'secara melawan hukum merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.'

Dio mengatakan, butir-butir dalam pasal tersebut potensial multitafsir karena tidak jelas parameternya. Butir (c) pada Pasal 281 bahkan berpotensi mengkriminalisasi wartawan yang meliput persidangan tanpa tendensi menyudutkan hakim.

Sponsored

"Bisa jadi (wartawan) memberitakan jalannya persidangan terus hakim merasa takut, jadi keganggu, terus bisa dilaporkan dong media tersebut? Atau misalnya akademisi yang memberikan pertanyaan, media mengutip, terus jadi berpengaruh. Padahal, akademisi memiliki kebebasan akademik untuk berpendapat," ujarnya.

Menurut Dio, aturan tersebut berlebihan. Apalagi, kode etik hakim sudah mengatur agar para hakim tetap independen dan tidak terpengaruh pemberitaan media. "Sehingga apabila sedang melakukan proses peradilan, hakim tidak diperkenankan untuk membaca banyak berita yang sedang ditanganinya," kata dia. 

Peneliti ILR Erwin Natosmal Oemar menilai pasal 281 RKUHP merupakan pasal karet yang potensial mengancam kebebasan berpendapat. Ia pun menyarankan agar DPR mengkaji ulang substansi RKUHP dan membuang pasal-pasal bermasalah. 

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid