sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Senjakala demokrasi: Bagaimana rezim mengatur kebebasan warga

Transisi reformasi yang begitu cepat membuat masyarakat gagap dalam berdemokrasi. Kebebasan perlu dibatasi, tapi bukan via pendekatan hukum.

Purnama Ayu Rizky Ayu mumpuni
Purnama Ayu Rizky | Ayu mumpuni Senin, 17 Sep 2018 18:37 WIB
Senjakala demokrasi: Bagaimana rezim mengatur kebebasan warga

Saya menangkap kegusaran teman, Fajar Zakhri sore itu. Ia berujar, siapa saja yang kelak merebut kursi RI-1, jika kualitasnya sebelas dua belas dengan Donald Trump, maka ia tak berharap banyak. Memang, apa yang salah dengan Donald Trump?

“Ia hanya selebriti berkedok politisi,” tukas anggota Queer Languange Club Jakarta itu segera. Rekam jejaknya memimpin Paman Sam selama satu tahun belakangan, menurutnya diwarnai dengan intoleransi dan gaya politik yang tak demokratis.

Republikan tersebut memang punya catatan relatif gelap. Ia pernah memisahkan 2.300 anak dari orang tua migran Amerika Tengah, demi menjaga wibawa UU Imigrasi yang baru ia teken. Lalu ia memusuhi media yang memuat kritik atas kebijakannya. Bahkan tak ragu melabeli lima media, yakni CNN, New York Times, NBC, ABC, dan CBS sebagai musuh rakyat. Hubungannya dengan kelompok kulit hitam, Islam, LGBT, dan perempuan Amerika Serikat (AS) pun tak pernah akur.

Kendati tak sama persis, Fajar menyebut Trump mirip seperti Prabowo. “Sebagai produk Orde Baru yang berlumuran catatan merah pelanggaran HAM masa lalu, bukan tak mungkin jika terpilih sebagai Presiden, Prabowo bakal meniru Trump. Tak demokratis,” tuturnya.

Pilihannya menjadi queer, membuat alumni Universitas Indonesia itu pun merasa terancam jika Indonesia dipimpin Presiden yang tak berperspektif HAM. Ia membayangkan kondisi Indonesia di bawah Prabowo yang menurutnya bisa berubah drastis: pers dikebiri, kebebasan berpendapat tinggal cerita, dan persoalan pelanggaran HAM yang tak tersentuh. “Belum lagi, potensi kelompok LGBT yang terus dibatasi hak-hak mereka,” tandasnya.

Fajar memang hanya ketakutan. Namun, melihat gejala menguatnya tsunami populisme di AS dan sejumlah negara Eropa, kita perlu mawas diri.

Populisme sendiri menurut Ernest Gellner dalam “Saints of Atlas” (1969) merupakan kritik atas sistem demokrasi representatif yang tak cakap menciptakan keadilan sosial. Populisme yang diibaratkan Ernest seperti hantu ini, biasanya ditandai dengan sikap anti elitisme dan antipluralisme.

Terkait menguatnya populisme, David Runciman, jurnalis Inggris dari Guardian menganalisis, Trump adalah awal dan akhir yang pas dijadikan contoh ikon yang lekat dengan agenda tersebut. Ia juga salah satu yang andil menggiring demokrasi menuju kebangkrutan di AS, bahkan bisa saja ditiru di dunia ketiga. Runciman menyitir pendapat dedengkot politik Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt soal itu.

Sponsored

Senjakala demokrasi menurut keduanya sudah dimulai sejak kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) AS. Dikutip dari bukunya “How Democracies Die” (2018), mereka menguraikan empat ciri demokrasi yang berubah menjadi sistem pemerintahan diktator. Serangan atas media, mengancam tidak akan mengakui hasil pemilihan umum (pemilu), menuduh saingan politik sebagai penjahat, dan pembiaran atas kekerasan, menjadi petunjuk terang ciri otoritarisme.

Memang, imbuhnya dalam buku ini, Presiden ke-45 yang punya masalah kejiwaan dan kebingungan ini barangkali hanya alat gebuk saja. Di belakangnya, ada kumpulan orang konservatif yang terus menggodok isu-isu populer dan syak wasangka pada rival politiknya.

Upaya kalangan konservatif itu menemukan momentum sejak populisme terus menguat. Itu ditandai dengan kekalahan pemerintah demokratis lewat pemilu. Sebagai gantinya, demagog akan naik ke puncak kekuasaan, dengan dukungan penuh orang-orang konservatif tersebut. Lalu bersama-sama mereka menghancurkan lembaga politik yang demokratis. Di Indonesia, kita melihat calon Gubernur DKI Basuki Purnama (Ahok) bisa dengan mudah dijungkalkan, dan dengan segera Anies Baswedan dan Sandiaga yang didukung massa 212, memenangkan pemilu.

“Sejarah di AS sekarang, sama seperti di Italia tahun 1920-an dan Venezuela pada 1990-an. Premisnya sama, ada kerinduan akan ilusi kejayaan negara di masa lalu,” ujarnya.

Erosi norma

Di sisi lain, demokrasi yang terancam bangkrut, juga dipengaruhi oleh munculnya erosi norma. Era Trump disebut Levitsky dan Ziblatt sebagai puncak erosi atas norma-norma yang sudah ada sebelumnya. Norma, dikutip Guardian, adalah aturan dan konvensi tak tertulis yang menyangga demokrasi bersama. Dua norma yang dimaksud Runciman, yakni toleransi dan kesabaran institusional.

Ilustrasi demokrasi./ Pixabay

Di masa kepemimpinan Trump, menurutnya, norma tak terlalu jadi persoalan. “Kita menyaksikan sendiri betapa sejarah AS dijejali dengan contoh perilaku politik, yang meski tak melanggar hukum, tapi di belakang ada premanisme, fitnah, dan intimidasi brutal,” ujarnya. Contoh, saat Trump menjelekkan orang yang tak disukainya Hilllary Clinton, saat kampanye Pilpres 2016 lalu.

Senada, dilansir Guardian, erosi norma juga tampak dari pemerintahan Putin di Rusia yang secara resmi menukar peran presiden untuk perdana Menteri. Erdogan di Turki, Orbán di Hungaria, Maduro di Venezuela, Modi di India, adalah contoh pemimpin yang mencemooh lawan mereka sebagai penjahat, menunjukkan penghinaan terhadap kritik mereka di media, memicu teori konspirasi tentang gerakan oposisi, dan mempertanyakan legitimasi dari setiap suara yang bertentangan dengan mereka.

Menguatnya erosi norma ini memang melahirkan sejumlah perlawanan. Di Eropa, partai-partai arus utama dapat bersekutu melawan otoritarianisme. Seperti yang terjadi di Belgia pada 1930-an, ketika fasisme baru-baru ini dikalahkan oleh kesediaan partai Katolik sayap kanan untuk bergabung dengan kalangan liberal.

“Pasca-perang dunia kedua, partai-partai utama kiri dan kanan di Jerman telah menunjukkan kesiapan untuk bekerja dengan satu sama lain, daripada membiarkan ekstremisme menduduki kekuasaan kembali. Di Chile, Pinochet akhirnya dikalahkan pada 1989 oleh aliansi Demokrat Kristen dan Sosialis, yang secara bersama-sama berkomitmen pada pelestarian demokrasi,” terang Runciman.

Demokrasi di Indonesia

Saat di AS, timbul kecemasan tentang kematian demokrasi, tapi di sisi lain ada optimisme di beberapa negara Eropa. Lantas bagaimana dengan kondisi demokrasi di Indonesia?

Indonesia sejak 1998 memang membuka keran kebebasan lewat reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa dan kelompok masyarakat pro demokrasi lainnya. Selama transisi itu, BJ Habibie otomatis naik menggantikan Soeharto. Namun, sayang, menurut staf pengajar politik Universitas Indonesia Isbodroini Suyanto, proses transisi tak berjalan mulus.

“Semua dilakukan dengan tergesa, tak pelan-pelan. Militer langsung dikembalikan ke rumah, pers dibuka seluas-luasnya, semua orang diberi kebebasan,” ujarnya pada saya.

Hal ini membuat masyarakat Indonesia jadi gagap. Terbelenggu tirani selama 32 tahun, sambung Is, membutuhkan sejumlah penyesuaian. Tak bisa langsung spontan menjadi negara demokratis konstitusional yang paripurna.

Gagapnya warga menghadapi perubahan yang begitu cepat, menurutnya, melahirkan kebingungan akan posisi dalam berdemokrasi. “Orang kebingungan, sehingga anarkisme muncul begitu rupa di ruang-ruang publik. Anarkisme yang saya maksud adalah hoaks yang marak, persekusi, merasa paling benar di media sosial, dan lainnya,” tuturnya.

Apakah demokrasi perlu dibatasi? Alinea.id.

Kondisi chaos ini membuat sebagian orang yang belum move on dari kejayaan tirani yang dibangun Soeharto, berupaya memunculkan kembali konservatisme. Caranya dengan membangkitkan ketakutan, trauma masa lalu, dan penciptaan musuh bersama.

Ketakutan itu, ujar Pemimpin Redaksi Lentera, Bima Satria dalam tulisannya “Kebangkitan Global Fundamentalis dan Ultra-Nasionalis: Bukan Akhir dari Sejarah” (2017), membuat gerakan konservatif dan fundamentalis agama laris manis dan memiliki banyak pendukung garis keras. Mereka antara lain Forum Umat Islam (FUI), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan Front Pembela Islam (FPI).

Khusus FPI, ia dikenal mesra dengan lingkaran Soeharto, khususnya Prabowo Subianto dan Wiranto. Ini dibuktikan dalam kajian Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean (2004), yang menyebutkan FPI diminta memobilisasi 100 ribu massa untuk melindungi Senayan pada 1999. Kedekatan FPI juga tampak dari bantuan mereka dalam pemeriksaan Wiranto terkait kasus Mei 1998. Terakhir dalam aksi 212 yang menggulingkan Ahok ke hotel prodeo pada Pilgub DKI lalu, karena kasus pelecehan agama. Bima juga menyarikan bocoran Wikileaks yang menunjukkan suntikan dana Polri dan BIN pada FPI.

Perlukah demokrasi dibatasi?

Jika panggung demokrasi kita diambil alih oleh sekelompok orang tertentu, khususnya yang berasal dari kalangan populis dan konservatif, maka urusan demokrasi menurut Bima jadi kian runyam.

Aristoteles menuturkan, demokrasi yang berjalan saat ini hanya omong kosong. Sebab, menurutnya demokrasi hanya bisa berjalan di negara yang tingkat pendidikan dan literasinya tinggi, serta sejahtera. Di masyarakat dunia ketiga seperti Indonesia, demokrasi seperti kekhawatiran Aristoteles, tak berjalan dengan baik.

Dalam kovenan internasional, demokrasi ditandai dengan sejumlah indikator, antara lain ada mekanisme distribusi kekuasaan lewat pemilu, terpenuhinya hak-hak dasar untuk berpendapat, berekspresi, dan berserikat. Di Indonesia, seluruh indikator itu memang telah dipenuhi. Namun menurut pengamat politik Universitas Indonesia Amir Santoso, pemenuhan indikator demokrasi di Indonesia justru kebablasan, tanpa aturan baik yang mengikat.

Apalagi di era banjir informasi di internet seperti saat ini, kebebasan berekspresi sebagai salah satu turunan demokrasi, di samping pemilu, kadang bisa jadi bumerang. Banyak peselancar di jagat maya sibuk menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, hingga melakukan aktivitas yang bertujuan merugikan orang lain, seperti bullying, doxing, hingga pencemaran nama baik.

Pakar demokrasi Haryono Wibowo menuturkan, pendapat yang bersifat mengritisi belakang ini sudah di luar batas atau kebablasan. Namun ia tak menyalahkan sepenuhnya, sebab marwah demokrasi memang ditengarai dari kebebasan berpendapat.

“Demokrasi kalau tidak diatur akan memakan anak kandungnya sendiri, karena sebenarnya demokrasi itu membawa cacat bawaan. Kebebasan (berpendapat) merupakan cacat bawaan yang dibawa pada demokrasi,” jelasnya.

Menurutnya, sebuah kritik seharusnya disertakan dengan data agar ilmiah, akurat, dan tak hanya jadi pepesan kosong. Tidak hanya data, seseorang yang memberikan kritik seharusnya tidak hanya mengomentari atau melempar bola panas, tetapi juga memberikan solusi.

Di sisi lain, Amir Santoso pernah berkelakar, demokrasi yang terjadi di Indonesia tak lagi sehat. Pasalnya, semua orang merasa paling berhak mengatur orang lain di ruang publik. Tak hanya ruang publik dalam kerangka fisik, tapi juga public sphere atau internet. "Semua merasa punya kuasa untuk melontarkan pendapat, untuk memutuskan, dan seterusnya," ujarnya.

Tanggung jawab di media sosial perlu dikawal, mengingat kini makin marak UU yang tak berperspektif pada kebebasan berekspresi. Kasus pelaporan Jonru, Amien Rais, Sukmawati, Guntur Romli beberapa waktu lalu menjadi contoh betapa kebebasan berpendapat bisa memakan si empunya sendiri, seiring dengan kondisi mental warga yang pemarah dan begitu reaksioner.

Terakhir kasus pelanggaran kebebasan berpendapat yang menyeret seorang dosen di salah satu universitas Ternate, Maluku. Ia menjadi tersangka karena cuitannya di media sosial berisi kritik pada kebijakan Presiden Joko Widodo. Dosen tersebut dikenakan Pasal 28 UU ITE mengenai ujaran kebencian.

Menurut Deputi Direktur Riset Elsam Wahyudi Djafar, beberapa kasus seperti itu terkadang dikarenakan adanya salah tafsir aparat untuk memilah mana yang termasuk ke dalam pencemaran nama baik.

“Ada problem karena tadi regulasinya terlalu bisa memberikan pemilahan antara satu tindakan, satu peristiwa, satu dengan yang lain oleh penegak hukum maupun pemerintah,” katanya.

Faktor kedua menurut Wahyudi terletak pada masyarakat yang belum bisa memisahkan kehidupan nyata dan kehidupan maya. Padahal kemajuan teknologi begitu cepat pertumbuhannya. Oleh sebab itu, masyarakat belum bisa berkomunikasi dengan baik di dunia maya.

Sependapat dengan Wahyudi, Haryono pun meminta agar aparat penegak hukum tidak hanya mengedepankan pendekatan hukum untuk mengatasi kebablasan berpendapat yang tak bertanggung jawab. Menurutnya, perlu ada pendekatan edukatif kepada masyarakat untuk memberikan kritik di media sosial.

“Menurut saya pendekatannya tidak harus mengedepankan pendekatan hukum, tapi lebih kepada pendekatan edukasi. Membangun kesadaran pada masyarakat, bagaimana memberikan kritik yang baik, bagaimana berdemokrasi yang baik,” jelasnya.

Berita Lainnya
×
tekid