sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

4 alasan darurat sipil tak tepat untuk perangi Covid-19

Menangani Covid-19 dengan darurat sipil dinilai kurang efektif

Fadli Mubarok
Fadli Mubarok Selasa, 31 Mar 2020 10:56 WIB
4 alasan darurat sipil tak tepat untuk perangi Covid-19

Ketua DPP PAN Saleh Partaonan Daulay mendesak agar pemerintah segera menerapkan kebijakan karantina wilayah daripada darurat sipil. Pasalnya jumlah masyarakat yang terpapar Coronavirus atau Covid-19 semakin banyak.

Menurut Saleh, hingga kini kebijakan pemerintah masih belum mampu mengendalikan kecepatan penyebaran cornavirus. Oleh karena itu, ia menyarankan sebaiknya karantina wilayah segera diberlakukan.

"Dengan karantina wilayah, warga masyarakat bisa diatur agar lebih taat dan tertib. Itu adalah kunci dari keberhasilan social dan physical distancing," kata Saleh lewat keterangan tertulisnya, Selasa (31/3).

Anggota Komisi IX DPR ini mengaku bingung pemerintah malah memotret masalah ini dengan status darurat sipil. Padahal, dikatakan Saleh, hal itu tidak tepat dan belum tentu juga efektif.

Darurat sipil, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya tidak begitu tegas. Sebab, pimpinan operasi masih ditangani oleh sipil.

"Dan darurat sipil dipergunakan kemungkinan karena pemerintah menganggap bahwa keadaan darurat yang ada skalanya masih rendah. Karena itu, darurat sipil dikombinasikan dengan pembatasan sosial berskala besar," ujar dia.

Ada beberapa alasan mengapa Saleh menganggap darurat sipil tidak tepat. Pertama, dikarenakan dasar hukumnya adalah Perppu Tentang Keadaan Bahaya. Perppu itu lahir di masa revolusi sebagai respons terhadap situasi pada saat itu yang sifatnya sementara dan temporal. 

Kedua, Perppu itu lahir sebelum diberlakukannya otonomi daerah. Atas dasar itu, jika Perppu diterapkan, belum tentu sesuai dengan situasi dan sistem politik yang ada saat ini. 

Sponsored

Kemudian, tambah Saleh, Perppu itu ditetapkan bilamana keamanan atau tertib hukum terancam. Salah satunya bisa diakibatkan oleh bencana alam.

"Sementara, bencana yang kita hadapi saat ini adalah bencana non-alam. Selain itu, saat ini sudah ada BNPB dan gugus tugas yang bekerjasama dengan kementerian," kata Wakil Ketua Fraksi PAN itu.

Keempat, penggunaan darurat sipil bagi Saleh bertentangan dengan asas hukum lex specialis derogat legi generalis (hukum yang khusus dapat menyampingkan hukum yang umum).

Dikatakannya, UU tentang Kekarantinaan Kesehatan lebih khusus membahas tentang kesehatan dan lebih sesuai dengan bencana yang dihadapi saat ini.

"Daripada pakai darurat sipil, pemerintah mestinya menetapkan darurat kesehatan masyarakat sebagaimana amanat Pasal 10 ayat 1 Undang-undang tentang Kekarantinaan Kesehatan. Saya bukan ahli hukum. Tetapi itu bisa ditanyakan dan diskusikan dengan mereka yang lebih paham. Ini penting diingatkan sebagai bentuk kehati-hatian dalam pengambilan payung hukum," ujar dia.

Menurut Saleh, pemerintah nampak tidak ingin mengeluarkan biaya dengan memilih untuk melakukan karantina wilayah. Termasuk untuk membiayai kebutuan pokok masyarakat yang terdampak akibat kebijakan tersebut, dan itu nilainya tentu tidak sedikit.

Belum lagi, dampak sosial ekonomi yang mengiringinya. Jika karantina wilayah yang diberlakukan, lanjut Saleh, konsekuensinya memang akan banyak perusahaan dan tenaga kerja yang berhenti beroperasi.

Dikatakan dia, dampak sosial ekonominya tentu tidak sedikit. Oleh karena itu, belum tentu semua pihak siap menerimanya.

“Menurut saya, pemerintah harus memikirkan ulang pilihan-pilihan kebijakan yang akan diambil. Kalaupun mau menerapkan darurat sipil, masih memerlukan aturan tambahan lainnya. Ini tentu akan memakan waktu yang lebih lama lagi," tegas dia.

Dengan adanya opsi baru ini, Saleh menilai pemerintah kelihatannya belum siap untuk mengambil keputusan yang cepat dan tegas.

Sementara, masyarakat sedang menunggu kebijakan yang dianggap dapat memutus rantai penyebaran coronavirus di Tanah Air.

Berita Lainnya
×
tekid