close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan ikut serta dalam acara PAN Run 2025 di Jakarta, Februari 2025. /Foto Instagram @zul.hasan
icon caption
Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan ikut serta dalam acara PAN Run 2025 di Jakarta, Februari 2025. /Foto Instagram @zul.hasan
Politik
Sabtu, 26 April 2025 12:29

Yang tersirat dari "keluarganisasi" di PAN

PAN semakin jauh dari citra sebagai partai reformasi.
swipe

Pola politik kekerabatan terasa kuat di struktur kepengurusan Partai Amanat Nasional (PAN) perioda 2024-2029 yang baru saja diumumkan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan (Zulhas). Dalam struktur kepengurusan, saat ini tercatat ada dua putri Zulhas yang mengemban jabatan strategis. 

Zita Anjani, putri sulung Zulhas, diangkat sebagai Wakil Ketua Umum (Waketum) PAN. Selain Waketum, Zita juga didapuk sebagai Ketua Badan Strategis dan Komunikasi Partai. Di pemerintahan Prabowo-Gibran, Zita saat ini mengemban tugas sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Pariwisata. 

Zulhas juga menunjuk putri keduanya, Putri Zulkifli Hasan sebagai Ketua Badan Pengawas dan Disiplin Partai. Di luar partai, istri mantan Gubernur Jambi Zumi Zola itu menjabat sebagai anggota DPR RI. 

Analis politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Kholidul Adib mengatakan kentalnya politik kekerabatan di struktur kepengurusan PAN tak lagi aneh. PDI-Perjuangan dan Partai Demokrat juga menjalankan pola serupa. 

Partai keluarga, kata Kholidul, lahir karena posisi ketua umum terlalu kuat di internal parpol. Karena tak punya saingan dan kontrol yang lemah dari para kader, ketua umum bisa mudah membangun dinasti politik di parpol. 

"Tiap keputusannya adalah perintah yang harus dilaksanakan anak buah. Dengan kata lain, partai yang dipimpin oleh pemimpin seperti ini hanya bungkusnya saja yang seolah demokratis dan reformis, tetapi isinya monarki. Ini demokrasi dengan cita rasa monarki," kata Kholidul kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini. 

Kholidul menilai tren parpol bercita rasa monarki bisa marak lantaran tak ada pembatasan terhadap masa jabatan ketua umum. Di bawah pemimpin yang sama selama beberapa periode, karakter parpol yang kolektif kolegial pun perlahan meredup. 

"Jika ia lama-lama menjadi ketua dan begitu partai sudah kuat dan mapan serta mampu menyingkirkan para pesaingnya, dia juga akan menjelma sebagai pemimpin single fighter. Dia juga akan membangun dinasti politik," kata Kholidul.

Dari sisi antropologi politik, menurut Kholidul, bangsa Indonesia juga belum bisa lepas dari sistem feodal kerajaan. Dalam sistem ini, pemimpin diposisikan sebagai raja yang harus dipatuhi segala titahnya.  "Sementara bawahan atau rakyat adalah kawulo atau abdi yang tugasnya hanya menjalankan titah," jelas dia. 
 
Analis politik dari Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT) Ahmad Chumaedy menilai "keluarganisasi" telah lama berjalan di tubuh PAN. Situasi itu tak lepas dari dinamika internal yang terjadi di PAN, terlebih setelah Zulhas pecah kongsi dengan Amien Rais pasca-Kongres V PAN di Kendari, Sulawesi Tenggara pada 2020. 
 
"PAN semakin mengarah menjadi partai keluarga. Fenomena ini juga terjadi di partai lain, seperti PDI-P dengan trah Soekarno serta Demokrat dengan Susilo Bambang Yudhoyono dan Agus Harimurti Yudhoyono. Bahkan Golkar dan NasDem pun tidak imun terhadap logika loyalitas personal," kata Memed, sapaan akrab Chumaedy, kepada Alinea.id, Kamis (24/4).

Apa yang terjadi di PAN dan sejumlah parpol lainnya, kata Memed, menunjukkan bahwa parpol di Indonesia belum sepenuhnya terinstitusionalisasi secara modern. Ikatan keluarga sering dianggap lebih bisa dipercaya ketimbang relasi antarkader biasa. 
 
Parpol dengan cita rasa dinasti politik cenderung lebih stabil, menurut Memed, cenderung lebih aman dari konflik. Dalam jangka panjang, politik kekerabatan bisa menghambat regenerasi dan mempersempit demokrasi internal partai. 

'Kader-kader potensial dari luar klan mungkin merasa tidak punya peluang. Ini berisiko menimbulkan stagnasi atau perpecahan. Jadi, sementara partai keluarga bisa stabil secara internal, ia cenderung tidak adaptif terhadap dinamika sosial-politik yang lebih luas," kata Memed. 
 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan