sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

YLBHI ungkap 16 skandal pembentukan UU Ciptaker

Saat disahkan, naskah final UU Cipta Kerja belum ada.

Fathor Rasi
Fathor Rasi Senin, 12 Okt 2020 13:32 WIB
YLBHI ungkap 16 skandal pembentukan UU Ciptaker

Masih 'misteriusnya' naskah Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) yang muncul dalam tiga versi, yakni versi 1052 halaman, 905 dan 1028 halaman, direspons Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI), M. Isnur.

Bukan saja cacat hukum, Isnur menyebut ada skandal di balik UU tersebut berdasarkan cacatan YLBHI.

"Iya ini skandal," ujarnya dihubungi Alinea.id, Senin (12/10).

Dia lantas membeberkan belasan skandal dalam pembentukan UU Omnibuslaw Cipta Kerja itu. Pertama, naskah RUU disembunyikan saat pembahasan di pemerintah.

"Kedua, Naskah omnibus law disusun oleh Satgas Omnibus Law yg berisi 127 orang pengusaha yang memiliki konflik kepentingan dengan pemerintah seperti mantan tim sukses, pengusaha yg terkait kebijakan, prosesnya di satgas ini abnormal dan tertutup," jelasnya.

Ketiga, lanjut dia, digelarnya pembahasan di hotel-hotel mewah. "Bahkan ada yang menggunakan uang pribadi anggota Dewan," bebernya.

Keempat, sambung Isnur, pembahasan tingkat II dibuat saat naskah final RUU belum jelas dan tidak di bagi ke anggota DPR. Kelima, pembahasan tingkat II tidak disebutkan dalam undangan sidang tanggal 6 Oktober.

Kemudian, keenam, menyusupkan klaster pajak di akhir-akhir persidangan tanpa adanya naskah akademik.

Sponsored

"Ketujuh, pembahasan dikebut hingga tengah malam, sangat jarang terjadi sebelumnya," imbuhnya.

Selanjutnya, lanjut Isnur, meski ada yang positif Covid-19 sidang tetap dilanjutkan.

Berikutnya, kesembilan, pembahasan tingkat II dinilai hanya dihadiri oleh 318 dari total 575 anggota dewan yang hadir baik secara fisik maupun virtual. 

"Artinya sebanyak 257 legislator memilih untuk tidak menghadirinya," terangnya.

Ke-10, jelas Isnur, sidang penutupan direncanakan tanggal 8 Oktober, namun setelah ada rencana aksi besar tiba-tiba dimajukan menjadi 5 Oktober.

"Ke-11, Draft RUU dibuat tanpa kajian/naskah akademik terlebih dahulu. Di pengadilan pemerintah mengakui buat draft bersamaan dengan Naskah Akademik padahal UU 12/2011 mengharuskan adanya naskah akademik sebelum ada RUU," katanya.

Ke-12, Anggota dewan yang hadir pada saat pengesahan tidak dinilai memperoleh salinan fisik, bahkan pimpinan sidang mematikan mikrofon anggota dewan yang menolak.

"Ke-13, sidang pada masa reses. Selain melanggar janji kepada massa aksi untuk tidak membahas omnibus law pada masa reses, UU MD3 mewajibkan anggota DPR untuk memberi pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen setiap masa reses," bebernya.

Skandal berikutnya, ke-14, rapat kerja I membentuk panita kerja (Panja) saat belum menuntaskan daftar isian masalah (DIM).

"Ps. 151 (1) Tatib DPR: Panja dibentuk setelah Rapat Kerja membahas seluruh materi RUU sesuai DIM setiap fraksi," ujarnya.

Selanjutnya, Baleg DPR mengatakan Naskah UU Omnibus law masih diperbaiki. "Artinya saat pengesahan naskah UU final belum ada. Hal ini sesuai dengan keterangan anggota dewan yang hadir," ucapnya.

"Ke-16, beredar 3 naskah UU Omnibus law sebagai akibat saat pengesahan belum ada naskah UU final," pungkasnya.

Sebelumnya, melalui akun Twitternya, Ketua DPP Partai Demokrat Jansen Sitindaon menangku menerima tiga versi RUU Cipta Kerja.

"Sekalian melengkapi. Barusan saya terima lagi RUU CK Versi 1052 halaman. Mungkin ini yg terbaru. Jadi yg sdh ditangan saya skrg ada 3 versi. Mana yg benar? Sayapun tidak tahu. Krn anggota DPR saja tidak tahu mana yg disahkan di paripurna. Itu maka harusnya ini paripurna ulang," tulisnya kemarin.

 

Berita Lainnya
×
tekid