7 poin agar perdagangan karbon tak jadi praktik pencitraan

Pemerintah harus memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam keseluruhan rantai perdagangan karbon.

Ilustrasi Alinea.id/Aisya Kurnia.

Perdagangan karbon adalah satu dari tiga mekanisme Nilai Ekonomi Karbon (NEK) yang disebutkan dalam Peraturan Presiden No. 98 tahun 2021. Perdagangan karbon dapat dilakukan secara langsung maupun melalui bursa karbon.

Ada dua jenis perdagangan karbon, yaitu perdagangan emisi dan offset emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Dalam perdagangan emisi, pihak yang terlalu banyak mengeluarkan emisi GRK dapat membeli izin untuk mempolusi atau batas atas emisi GRK (Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha/PTBAU-PU). Dalam skema offset, pihak yang mengeluarkan emisi GRK dapat mengkompensasi emisi yang dikeluarkannya dengan membeli kredit offset (Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca/SPE-GRK). 

Deputi Direktur MADANI Berkelanjutan Giorgio Budi Indrarto memaparkan, ada tujuh poin yang harus diperhatikan agar perdagangan karbon tidak menjadi praktik pencitraan atau greenwashing.

Yang pertama, semua negara, termasuk Indonesia, harus meningkatkan ambisi kontribusi nasionalnya (NDC) agar selaras dengan jalan menuju 1,5 derajat celsius dan menyelaraskan kebijakan-kebijakan pembangunan dalam negeri di seluruh sektor dengan komitmen iklim tersebut.

Kedua, perlu ada penetapan batas atas emisi GRK yang ketat dan transparan. Saat ini, baru PLTU yang dikenai batas atas emisi. Penetapan kewajiban pengurangan emisi GRK kepada pelaku usaha di sektor kehutanan juga perlu dipertegas karena pelaku usaha menguasai hutan dan lahan dalam jumlah besar.”