Asosiasi Gula Indonesia sebut pabrik gula di Jawa sudah terlalu banyak

AGI ingin pasar gula baru diarahkan untuk mampu menghasilkan gula kualitas industri sebagai pengganti pasar gula rafinasi.

Pabrik gula PT Rejoso Manis Indo di Kabupaten Blitar, Jatim, September 2019. Google Maps/Joko Purwo Setyohadi

Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia (AGI) Budi Hidayat menegaskan, Indonesia harus mempunyai industri gula sendiri yang kuat dan tidak bergantung impor, baik untuk konsumsi maupun industri. Budi Hidayat juga menjelaskan dalam hal ini, pabrik gula baru hendaknya dibangun di luar Jawa, karena di daerah Jawa sudah terlalu banyak pabrik gula (over capacity), dibandingkan dengan perkembangan areal tanaman tebu yang tidak seimbang.

Makanya, AGI ingin pasar gula baru diarahkan untuk mampu menghasilkan gula kualitas industri sebagai pengganti pasar gula rafinasi, yang sepenuhnya tergantung pada raw sugar impor. “Harapan kami industri gula nasional harus tetap eksis, dan swasembada gula konsumsi dan industri harus tercapai,” tutur Budi Hidayat dalam webinar virtual (22/9).

Dengan demikian, menurut Budi, BUMN harus melakukan fungsi penyanggaan harga dengan melakukan pembelian gula petani lagi, lalu memperbaiki cash flow pabrik gula (untuk petani lebih baik), dan terakhir sistem pembelian tebu (SPT). Jika ketiganya berjalan, semua akan berjalan lancar.

Selain itu, AGI sendiri akan terus mendukung kebijakan apapun yang diambil pemerintah agar tetap memperhatikan kelangsungan hidup para pelaku usaha yang terkait, misalnya dalam pengendalian stok, harga, dan distribusi gula oleh Badan Pangan Nasional (Bapanas), tidak boleh mengorbankan petani tebu, industri gula, ataupun para pedagang gula.

AGI juga memberikan pandangannya terkait dengan perhitungan neraca gula, sebagai dasar kebijakan awal harus dibuat secara akuntabel bersama-sama oleh pihak yang berwenang terkait dengan, perhitungan kebutuhan konsumsi yang sehat, perhitungan produksi yang akurat, serta penetapan impor yang berkeadilan.