close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi gula pasir dan gula batu./Foto Bru-nO/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi gula pasir dan gula batu./Foto Bru-nO/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup - Kesehatan
Rabu, 30 Juli 2025 15:05

Gula bisa buat kecanduan seperti narkoba?

Tubuh kita dirancang untuk bereaksi terhadap gula.
swipe

Selama ini kita sering menyebut diri “kecanduan gula” secara bercanda, tapi sebuah tinjauan ilmiah terbaru menunjukkan bahwa istilah itu mungkin bukan sekadar metafora. Studi yang dipublikasikan jurnal Brain and Behavior baru-baru ini, menyimpulkan  gula bisa memicu pola kerja otak dan perilaku yang serupa dengan kecanduan narkoba. Gula, menurut para peneliti, dapat membajak sistem penghargaan otak, mengganggu fungsi emosi dan kognitif, serta mendorong konsumsi kompulsif.

Penelitian itu dikerjakan Di Qin dari Rumah Sakit Persatuan China-Jepang Universitas Jilin bersama tim peneliti dari Universitas Teknologi Changchun. Mereka meneliti bukti dari sisi neurologis, perilaku, dan klinis untuk melihat apakah gula layak digolongkan sebagai bentuk kecanduan perilaku, sejajar dengan kecanduan judi atau gim yang kini diakui secara resmi oleh pedoman psikiatri internasional.

Ketika kita mengonsumsi gula, otak melepaskan dopamin—zat kimia yang memunculkan perasaan senang. Dalam jangka panjang, aktivasi berulang sistem ini bisa menurunkan sensitivitas otak, memicu toleransi, dan membuat kita membutuhkan lebih banyak gula untuk mendapatkan efek yang sama. Di sinilah pola kecanduan mulai terbentuk.

Percobaan pada tikus menunjukkan, konsumsi gula berlebihan menghasilkan perilaku mirip kecanduan narkoba: keinginan yang kuat, konsumsi kompulsif, kesulitan berhenti, bahkan gejala mirip putus zat. Tikus-tikus ini juga lebih peka terhadap obat-obatan seperti kokain dan amfetamin, yang menunjukkan konsumsi gula bisa meningkatkan sensitivitas otak terhadap zat adiktif lainnya.

Tubuh kita dirancang untuk bereaksi terhadap gula. Reseptor manis di lidah dan usus langsung memberi sinyal ke otak, lalu gula dalam darah mendorong pelepasan insulin. Pergeseran ini memengaruhi energi dan suasana hati. Saat kadar gula turun, kita terdorong untuk mencari lebih banyak gula, menciptakan siklus keinginan yang sulit diputus.

Paparan gula yang terus-menerus juga bisa mengubah keseimbangan neurotransmiter lain seperti serotonin dan endorfin, serta hormon pengatur rasa lapar dan kenyang seperti ghrelin dan leptin. Hasilnya, makin sulit mengendalikan keinginan, terutama saat stres atau cemas.

Konsumsi gula berlebihan tidak hanya memengaruhi suasana hati, tetapi juga dapat mengubah struktur dan fungsi otak. Diet tinggi gula dikaitkan dengan peradangan pada area penting seperti hipokampus (pusat memori dan pembelajaran), yang bisa memicu penurunan fungsi kognitif dan impulsivitas.

Anak-anak dan remaja bahkan lebih rentan. Penelitian pada tikus menunjukkan, konsumsi gula sejak usia dini bisa menyebabkan hiperaktif, penurunan kemampuan belajar, dan kontrol impuls yang buruk—efek yang bisa menetap hingga dewasa.

Kecanduan gula juga berdampak besar pada kesehatan fisik: obesitas, diabetes, dan penyakit jantung menjadi konsekuensinya. Selain itu, gula dapat memicu peradangan sistemik ringan, yang berkontribusi terhadap berbagai penyakit kronis seperti artritis dan gangguan jantung.

Meskipun temuan ini kuat, penting untuk dicatat, kecanduan gula belum diakui secara resmi sebagai gangguan klinis. PsyPost menulis, beberapa ilmuwan bahkan menolak gagasan tersebut. Sebuah studi tahun 2016 dari European Journal of Nutrition berargumen, tidak ada bukti kuat yang menunjukkan gula bersifat adiktif seperti kokain atau heroin, terutama pada manusia.

Menurut mereka, perilaku mirip kecanduan yang diamati pada tikus hanya terjadi saat mereka diberi akses gula secara terbatas setelah puasa. Saat gula tersedia bebas, perilaku kompulsif itu menghilang. Ini menunjukkan, stres karena pembatasan makanan bisa jadi penyebab, bukan gula itu sendiri.

“Selain itu, pada manusia, gula jarang dikonsumsi sendiri—biasanya hadir bersama lemak, garam, dan zat lain yang juga memengaruhi selera,” tulis PsyPost.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan