Bijak berbisnis dengan mengenali pentingnya hak kekayaan intelektual

Kesadaran pebisnis UMKM untuk mengurus HKI masih rendah.

Ilustrasi Alinea.id/Marzuki Darmawan.

Sejak mengawali usaha kulinernya pada 2015 silam, Yeni Suryasusanti sadar betul pada legalitas usaha, standar higienitas pangan, dan Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Segera setelah brand a la Nie miliknya launching, Yeni langsung mengikuti Penyuluhan Keamanan Pangan (PKP).

Mengusung produk penyedap masakan alami dan non-MSG (Monosodium Glutamat), Yeni pun giat mengikuti pelatihan meski produk kala itu belum mendapat sertifikat PIRT (Produksi Pangan Industri Rumah Tangga). Wanita yang juga menjabat sebagai bendahara di komunitas Natural Cooking Club (NCC) ini ingin produknya benar-benar higienis sebelum masuk ke pasar.

Selain PKP, Yeni juga langsung mengurus HKI demi melindungi mereknya agar tak menjadi sengketa di kemudian hari. “Jadi belum PIRT dan lain-lain, HKI dulu yang saya urus, kebetulan dapat fasilitasi dari Kementerian Koperasi dan UKM. Dari sekian ribu UMKM terpilih hanya 600 pelaku usaha termasuk saya yang dapat fasilitasi,” ungkapnya kepada Alinea.id, Jumat (17/2) .

Mengapa HKI menjadi sedemikian penting untuk UMKM? Yeni menilai merek dan logo adalah tampilan depan dari sebuah bisnis. Tidak hanya brand-brand besar yang membutuhkan HKI namun juga usaha kecil. Karena sengketa merek ini kerap terjadi dan akan merugikan UMKM di kemudian hari. 

Ia mencontohkan kasus anggota NCC yang bergerak di industri kuliner. Anggota NCC tersebut berkeluh kesah produknya diduplikasi oleh orang yang semula menjadi pelanggan. “Si orang baru ini memakai nama dan berjualan produk yang persis sama. Dengan lokasi yang berdekatan,” kisahnya.