sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Bijak berbisnis dengan mengenali pentingnya hak kekayaan intelektual

Kesadaran pebisnis UMKM untuk mengurus HKI masih rendah.

Kartika Runiasari
Kartika Runiasari Rabu, 22 Feb 2023 07:22 WIB
Bijak berbisnis dengan mengenali pentingnya hak kekayaan intelektual

Sejak mengawali usaha kulinernya pada 2015 silam, Yeni Suryasusanti sadar betul pada legalitas usaha, standar higienitas pangan, dan Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Segera setelah brand a la Nie miliknya launching, Yeni langsung mengikuti Penyuluhan Keamanan Pangan (PKP).

Mengusung produk penyedap masakan alami dan non-MSG (Monosodium Glutamat), Yeni pun giat mengikuti pelatihan meski produk kala itu belum mendapat sertifikat PIRT (Produksi Pangan Industri Rumah Tangga). Wanita yang juga menjabat sebagai bendahara di komunitas Natural Cooking Club (NCC) ini ingin produknya benar-benar higienis sebelum masuk ke pasar.

Selain PKP, Yeni juga langsung mengurus HKI demi melindungi mereknya agar tak menjadi sengketa di kemudian hari. “Jadi belum PIRT dan lain-lain, HKI dulu yang saya urus, kebetulan dapat fasilitasi dari Kementerian Koperasi dan UKM. Dari sekian ribu UMKM terpilih hanya 600 pelaku usaha termasuk saya yang dapat fasilitasi,” ungkapnya kepada Alinea.id, Jumat (17/2) .

Mengapa HKI menjadi sedemikian penting untuk UMKM? Yeni menilai merek dan logo adalah tampilan depan dari sebuah bisnis. Tidak hanya brand-brand besar yang membutuhkan HKI namun juga usaha kecil. Karena sengketa merek ini kerap terjadi dan akan merugikan UMKM di kemudian hari. 

Ia mencontohkan kasus anggota NCC yang bergerak di industri kuliner. Anggota NCC tersebut berkeluh kesah produknya diduplikasi oleh orang yang semula menjadi pelanggan. “Si orang baru ini memakai nama dan berjualan produk yang persis sama. Dengan lokasi yang berdekatan,” kisahnya.

Hal ini membuat pelanggan setia pemilik merek lama terkecoh dan membuat mereknya ‘kalah’. “Dia enggak bisa berbuat apa-apa, nuntut itu karena dia enggak punya HKI,” tambahnya.

Untuk diketahui, aturan main di Indonesia adalah, siapa yang lebih dulu mendaftar HKI akan memiliki merek meskipun bukan yang pertama memulai usaha. Karenanya, jika sudah memulai usaha namun belum mendaftar HKI bisa jadi mereknya diambil pihak lain. Padahal, jika sudah dikenal maka merek adalah etalase utama yang menjadi brand awareness.

Ilustrasi Pixabay.com.

Sponsored

“Waktu itu saya sarankan dia untuk segera daftarkan HKI, cuma itu yang dia bisa lakukan jangan sampai kompetitor yang daftar duluan nanti dia bisa kehilangan merek, karena orang kan udah kenal duluan,” ujarnya yang kerap menggelar edukasi UMKM Naik Kelas ini.

Yeni juga sering membagikan saran agar sebelum memulai usaha dan memilih nama, UMKM mencari terlebih dahulu apakah nama brand yang diinginkan sudah ada yang punya. Selain itu, ia juga meminta UMKM mengecek di website HKI apakah merek yang diinginkan sudah terdaftar atau belum.

“Tapi enggak banyak yang berpikir melakukan itu padahal edukasi saya terbatas di kelas-kelas,” ujarnya yang kini juga menjadi penyelia halal ini.

Bukan prioritas

Banyak UMKM yang akhirnya ‘keterusan’ tidak menjadikan HKI sebagai prioritas. Padahal risiko yang paling basic adalah merek bisa direbut dan pemilik bisnis harus mulai dari nol. “Bangun brand itu kan enggak gampang, nama, logo, maka keduanya jadi kaya wajahnya,” tegas Yeni. 

Nama dan logo sebuah brand juga menjadi identitas yang jika diubah maka menjadi kerugian besar bagi pemilik bisnis. Karena itu, seperti Yeni, pengamat pemasaran Yuswohady juga menyarankan UMKM segera mendaftarkan HKI saat memulai usaha karena memang memakan waktu yang lama. 

Hal ini terkait dengan proses verifikasi apakah merek yang didaftarkan sudah milik pihak lain sehingga membutuhkan masa sanggah yang cukup lama. Bagi sebagian UMKM, mengurus pendaftaran HKI dilakukan ketika bisnis sudah mulai sustain dan memiliki prospek cerah. 

Saat ini pemerintah dalam hal ini Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sudah melempar wacana HKI menjadi jaminan untuk mendapatkan pembiayaan dari lembaga jasa keuangan. Misalnya, konten kreator yang punya program acara rutin di Youtube dan memiliki potensi pasar besar. 

Ilustrasi Tokopedia.

Namun, kendalanya adalah bank akan lebih sulit mengukur valuasi dari sebuah konten atau karya. Apalagi bisnis kreatif dan UMKM kerap tidak memiliki kepastian sementara bank membutuhkan jaminan keberlanjutan. Meskipun sulit, Yuswohady menilai opsi ini seharusnya bisa menjadi pemicu UMKM mengurus HKI demi keberlanjutan usahanya. 

“Idenya dari tahun kemarin, mudah-mudahan tahun ini bisa realisasi cuma sulitnya apakah bank mau karena sulit menentukan valuasinya,” ungkapnya.

Menjaga kekayaan intelektual 

Sebelumnya, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno bilang, pemerintah menerbitkan beleid untuk memudahkan para pelaku ekonomi kreatif dalam memperoleh pembiayaan atau kredit dari lembaga keuangan, baik bank maupun non bank dengan agunan atau jaminan berbasis kekayaan intelektual (intellectual property/IP). 

Bentuknya bisa berupa jaminan fidusia (kredit) atas kekayaan intelektual, kontrak dalam kegiatan ekonomi kreatif, dan/atau hak tagih dalam kegiatan ekonomi kreatif. Adapun kekayaan intelektual yang dimaksud dalam PP 24/2022 adalah kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia melalui daya cipta, rasa, dan karsanya yang dapat berupa karya di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. 

Sedangkan kekayaan intelektual yang dapat dijadikan jaminan utang adalah royalti dari subsektor-subsektor ekraf, seperti kuliner, fesyen, kriya, arsitektur, desain produk, desain interior, musik, seni rupa, periklanan, penerbitan, film animasi dan video, fotografi, desain komunikasi visual, aplikasi, pengembangan permainan, TV dan radio, serta seni pertunjukan.

Adapun mengutip situs Kemenperin, HKI adalah hak atas kekayaan yang timbul/lahir karena kemampuan intelektual manusia. Karya intelektual–di bidang ilmu pengetahuan, seni, sastra ataupun teknologi- dilahirkan dengan pengorbanan tenaga, waktu bahkan biaya.

Karenanya, Tokopedia sebagai ekosistem pada perdagangan di era digital memiliki perhatian besar pada kepemilikan HKI. Salah satunya dengan menerapkan aturan main yang jelas bagi para seller, terutama yang belum mendaftarkan mereknya pada HKI. Tokopedia juga menerapkan moderasi toko bagi yang melanggar HKI. Tercatat, ada lebih dari 2,5 kali lipat moderasi toko yang melanggar HKI di Tokopedia.

“Sangat penting bagi para pelaku usaha untuk menaati aturan terkait HKI agar tidak mengalami penghapusan produk, pelarangan penjualan hingga moderasi toko oleh Tokopedia,” jelas AVP of Risk Management Tokopedia, Bagas Dhanurendra. 

Selain itu, sejak Oktober 2022 lalu, Tokopedia juga bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) dalam hal perlindungan kekayaan intelektual (KI). Penandatanganan kerja sama itu menjadikan Tokopedia sebagai marketplace pertama di Indonesia yang berkomitmen mendukung perlindungan KI. Apalagi, marketplace dalam ekosistem Go To Group ini merupakan ‘rumah’ bagi sekitar 12 juta penjual.

Ilustrasi Tokopedia.

Karena itu, Tokopedia pun membagikan tips bagi para pelaku usaha agar bisa berjualan dengan aman dan nyaman, tanpa melanggar HKI. Pertama, penjual harus menghindari menjual produk palsu atau bajakan. Pelaku usaha sebaiknya memastikan keaslian produk yang dijual karena menjual produk palsu/bajakan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HKI. Para pelaku usaha, khususnya pemegang HKI, dapat bergabung dengan Tokopedia Brand Alliance Program untuk memperkuat perlindungan HKI di Tokopedia sekaligus memerangi pemalsuan produk.

Lewat program tersebut, pelaku usaha bisa mendapatkan sederet manfaat. Mulai dari meninjau laporan pemalsuan produk secara langsung di dashboard khusus, jangka waktu proses penghapusan produk palsu lebih cepat, mengakses fitur khusus untuk menganalisis laporan hingga terlibat dalam diskusi HKI yang konstruktif.

Kedua, seller jangan memakai foto atau gambar dari brand lain tanpa izin. Sebaiknya, gunakan foto atau gambar asli dari produk yang dijual, atau yang memiliki izin dari pemilik hak cipta dan merek. “Tokopedia pun memiliki Tim Perlindungan HKI yang melakukan pemantauan terhadap pelanggaran HKI guna memastikan produk yang beredar sesuai dengan ketentuan HKI,” jelas Bagas.

Ketiga, seller tidak boleh menggunakan merek pada judul dan deskripsi produk tanpa izin. Pasalnya, hal ini bisa meningkatkan kepercayaan dan membuat pembeli merasa aman dan nyaman berbelanja di toko para pelaku usaha. Tokopedia pun terus meninjau para penjual, khususnya Official Store, mulai dari pendaftaran akun dan produk guna menghindari pelanggaran HKI.

Tidak hanya itu, Tokopedia juga terus berupaya meningkatkan kemampuan mendeteksi pelanggaran HKI. Sistem Tokopedia akan secara proaktif memblokir daftar produk yang melanggar sekaligus menandai kasus yang dicurigai untuk diselidiki lebih lanjut.

“Tokopedia mencatat tindakan proaktif terhadap produk yang melanggar HKI meningkat sebesar hampir 5 kali lipat,” ungkap Bagas.

Keempat, seller bisa melaporkan bila menemukan pelanggaran HKI lewat Portal Pelaporan HKI dan meninjau status serta respon terhadap laporannya. “Di Tokopedia, hampir 100% laporan pelanggaran HKI yang diterima berhasil ditangani,” tambah Bagas.

Terakhir yang tak kalah penting adalah seller harus mengenali regulasi perlindungan HKI. “Agar dapat melakukan aktivitas jual-beli dengan aman tanpa melanggar HKI, pelaku usaha bisa mengakses Pusat Edukasi Seller untuk memperoleh informasi seputar HKI sekaligus konsekuensi ketika melakukan pelanggaran,” ungkap Bagas.
Ilustrasi Alinea.id/Marzuki Darmawan.

Berita Lainnya
×
tekid