Dalih Kemenkeu soal PPN sembako-pendidikan: Demi keadilan

Dalam draf revisi UU 6/1983, pemerintah berencana mengenakan PPN pada jasa pendidikan dan sembako.

Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo. Foto Antara/Puspa Perwitasari

Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo, menerangkan, wacana pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) pada jasa pendidikan dan sembako sesungguhnya bagian kecil dari konsep revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

"Bunyinya terlepas dari maknanya, itu yang terjadi. Jadi, ada satu pasal di dalam draf itu mengatakan, bahan kebutuhan pokok itu bukan lagi barang yang dikecualikan dari objek PPN. Di sisi lain, (ada pasal) bicara tarif pajak, lalu  dicantolkan seolah-olah karena dihapus, makanya akan dikenai PPN 12% gitu," ucapnya dalam diskusi virtual, Sabtu (12/6).

Saat ini, terangnya, pemerintah sedang mendesain suatu UU yang komprehensif dari pajak karbon, rencana kenaikan tarif pajak penghasilan (PPh) orang pribadi, hingga upaya menangkal penghindaran pajak yang masif, terutama oleh perusahaan-perusahaan multinasional.

"Kenapa, kok, jadi polemik? Karena sekarang ini ada distorsi. Saya beri contoh, kalau beli beras premium (di supermarket) satu kilo Rp50.000 itu tidak kena PPN, tetapi beli beras ke pasar tradisional sekilo Rp10.000 itu pun tidak kena PPN," tuturnya.

Dalam pengecualian sembako tidak dipungut PPN, menurutnya, terdapat distorsi yang terlalu luas. Dia menjelaskan, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) masih gagal mengadministrasikan kemungkinan PPN dari sembako yang dikonsumsi masyarakat kalangan atas sehingga belum mampu mengajak kelompok tersebut berkontribusi membayar pajak melalui sembako.