Dilema produsen consumer goods: Naikkan harga demi lawan inflasi

Inflasi yang melonjak membuat produsen consumer goods harus menaikkan harga atau memperkecil ukuran produk.

Ilustrasi Alinea.id/Enrico P. W.

Pada September lalu, laju inflasi Indonesia telah menembus level tertinggi sejak Desember 2014. Tercatat, inflasi umum mencapai 1,17% secara bulanan (month to month/mtm) atau 5,95% secara tahunan (year on year/yoy). Laju inflasi ini juga jauh lebih tinggi dari September 2021 yang hanya sebesar 1,60% yoy.

Pada bulan ini, Indonesia diperkirakan masih akan berada pada tren inflasi tinggi. Meski berdasarkan Survei Pemantauan Harga Bank Indonesia (BI), inflasi Oktober 2022 akan lebih melandai dibanding bulan sebelumnya, yakni sebesar 0,05% mtm. Dengan komoditas utama penyumbang inflasi Oktober antara lain, bensin sebesar 0,05% mtm, tarif angkutan dalam kota 0,04% (mtm), serta angkutan antar kota, rokok kretek filter, tahu mentah, tempe, dan beras masing-masing sebesar 0,01% (mtm).

Meski demikian, ada pula komoditas yang mengalami deflasi pada periode minggu ketiga Oktober yaitu cabai merah sebesar -0,10% (mtm), telur ayam ras sebesar -0,08% (mtm), daging ayam ras sebesar -0,04% (mtm), cabai rawit sebesar -0,03% (mtm), serta tomat -0,01% (mtm). 

Bank Indonesia terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah dan otoritas terkait serta mengoptimalkan strategi bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan guna mendukung pemulihan ekonomi lebih lanjut,” kata Direktur Eksekutif, Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono, dalam keterangannya kepada Alinea.id, Jumat (21/10).

Adapun hingga akhir tahun 2022, BI memperkirakan tingkat inflasi nasional akan berada di kisaran 6,3% yoy. Proyeksi ini lebih rendah dari perkiraan BI sebelumnya yang sebesar 6,6%-6,7% yoy.