Ekspor kodok, potensial namun menuai protes

Ekspor kodok Indonesia ke Uni Eropa menuai protes karena dianggap dibunuh secara tidak manusiawi.

Ilustrasi aktivitas ekspor. Foto Freepik.

Ekspor kodok Indonesia ke Uni Eropa menuai protes karena dianggap dibunuh secara tidak manusiawi. Salah satunya oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional PETA. 

PETA menyebut telah melakukan investigasi. Berdasarkan penelusurannya, menurut PETA, kodok diambil dari habitat alaminya dan mati lemas atau dipenggal sebelum dikuliti—seringkali saat masih hidup— sehingga kaki dan bagian tubuh lainnya dapat dijual di supermarket Eropa, termasuk raksasa ritel Prancis Carrefour.

"Kami meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menindak fasilitas yang melanggar undang-undang terkait lingkungan dan kesejahteraan hewan Indonesia," ujar Senior Vice President PETA, Jason Baker, dikutip Senin (18/12).

PETA mengatakan telah mengunjungi tujuh fasilitas operasional daging kodok dan menemukan kodok hidup dijejalkan dalam karung, terkadang sampai dua hari lamanya. Laporan investigasi menyebut seorang pekerja yang sedang menyortir kodok tangkapan membanting kodok hidup ke lantai dan mengakui ia tidak ingin meluangkan waktu memisahkan kodok hidup dan yang mati. Pekerja lain membacok kaki dan kepala kodok dengan pisau—beberapa dilakukan berkali-kali, sementara kodok lainnya dikuliti dalam kondisi kepala tidak putus sempurna. Penyidik juga merekam mulut kodok yang terus membuka dan menutup setelah dipenggal, dan tubuh-tubuh tanpa kepala yang masih berlompatan bermenit-menit setelahnya.

Menurut PETA, dua spesies katak yang ditangkap oleh pekerja, yaitu kodok sawah dan kodok batu tengah mengalami penurunan populasi. Data Eurostat menunjukkan, Uni Eropa mengimpor sekitar 35.000 metrik ton kaki katak antara 2010 dan 2022, setara dengan sekitar 703 juta hingga 1,75 miliar katak.