Gapgindo: Tonggak baru industri gula, akankah berbuah manis?

Gabungan Produsen Gula Indonesia (Gapgindo) resmi terbentuk, bertekad memenuhi kebutuhan gula nasional hingga swasembada.

Ilustrasi Alinea.id/Firgie Saputra.

Sekitar seabad lalu Indonesia yang dulu dikenal sebagai Hindia Belanda menjadi eksportir gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba. Saat itu, persisnya tahun 1930, luas panen tebu mencapai sekitar 200 ribu hektare dan menghasilkan gula 2,2 juta ton. Bahkan, di masa kolonialisme tahun 1860-1865, komoditas gula dari Nusantara menyumbang 56,8% pendapatan Belanda.

Kini kondisi itu berbalik seratus delapan puluh derajat. Indonesia saat ini tercatat menjadi importir gula terbesar kedua setelah China dengan jumlah impor sekitar 5 juta ton. “Penurunan kinerja ini bukan tiba-tiba, tapi lewat pergulatan ekonomi politik selama puluhan tahun,” kata pengamat gula Khudori dalam acara deklarasi dan Munas I Gabungan Produsen Gula Indonesia (Gapgindo), di Jakarta, Kamis (9/6).

Menurutnya, aktivitas ekonomi dari industri gula saat itu sangat advanced dengan jejak yang kasat mata hingga kini. Ini terlihat dari berdirinya pabrik-pabrik gula besar, sebut saja milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN), PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) yang tersebar di Jawa, dan Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) di Pasuruan, Jawa Timur. 

“Di masa lalu, industri gula Nusantara amat efisien hingga mengalahkan industri gula di Eropa,” tambah dia yang juga pegiat Komite Pendayagunaan Pertanian ini.

Hal itu terwujud berkat empat langkah, yakni keberhasilan meningkatkan kualitas produk dan produktivitas perusahaan, konsolidasi perusahaan, mendirikan lembaga riset, hingga meningkatkan produktivitas kebun.